Opini  

Bisakah UKW untuk Benar-Benar Mengukur Kompetensi Wartawan?

Bagikan/Suka/Tweet:

Feaby Handana

Pro dan kontra tentang perlu atau tidaknya Uji Kompetensi Wartawan (UKW) sampai saat ini masih terus terjadi. Padahal, sejak diluncurkan pertama kali dan hingga kini, pelaksanaan UKW telah berusia sekitar empat belas tahun. Bahkan, kabarnya jumlah wartawan yang lulus UKW telah mencapai di atas angka 20 ribuan.

Perdebatan ini sejatinya sah-sah saja. Pendapat yang menyatakan bahwa UKW itu penting, dan begitu sebaliknya, semuanya memiliki alasannya tersendiri. Alasan yang mereka yakini bahwa itu benar adanya.

Sertifikasi Kompetensi Wartawan atau SKW diatur dalam Peraturan Dewan Pers Nomor 1 tahun 2010. Dalam perjalanannya, peraturan itu diperbarui dengan Peraturan Dewan Pers Nomor 4 tahun 2017.

Dalam aturan itu disebutkan bahwa SKW memiliki setidaknya enam tujuan. Pertama, meningkatkan kualitas dan profesionalitas wartawan. Kedua, menjaga harkat dan martabat kewartawanan sebagai profesi khusus penghasil karya intelektual.

Ketiga, menjadi acuan sistem evaluasi kinerja wartawan oleh perusahaan pers. Keempat, menempatkan wartawan pada kedudukan strategis dalam industri pers. Kelima, menghindarkan penyalahgunaan profesi wartawan. Terakhir, menegakkan kemerdekaan pers berdasarkan kepentingan publik.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers memang tak mengatur secara tegas tentang perlunya UKW bagi setiap wartawan. Kendati demikian, SKW yang ditetapkan oleh Dewan Pers ini memang sejalan dengan tujuan dan fungsi dari pembentukan mereka yang diatur dalam aturan yang sama.

Dalam Undang-Undang tentang Pers, Dewan Pers dibentuk dengan tujuan untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional. Adapun fungsi Dewan Pers, di antaranya melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers, dan memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers, dan meningkatkan kualitas
profesi kewartawanan.

Dilihat dari fungsi di atas, SKW yang didapat melalui UKW merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan kualitas profesi kewartawanan. Tanpa kualitas yang mumpuni, tugas pokok dan fungsi wartawan tentu tidak akan berjalan sesuai harapan.

Jenjang sertifikasi kompetensi wartawan terdiri dari wartawan muda, wartawan madya, dan wartawan utama. Untuk muda, kompetensi kuncinya adalah melakukan kegiatan, sedangkan madya, dan utama, kompetensi kuncinya adalah mengelola kegiatan (madya), dan mengevaluasi dan memodifikasi kegiatan (utama).

Mengutip Peraturan Dewan Pers Nomor 4 tahun 2017, pekerjaan wartawan sangat berhubungan dengan kepentingan publik karena wartawan adalah bidan sejarah, pengawal kebenaran dan keadilan, pemuka pendapat, pelindung hak-hak pribadi masyarakat, musuh penjahat kemanusiaan seperti koruptor dan politisi busuk. Oleh karena itu, dalam melaksanakan tugasnya wartawan harus memiliki standar kompentensi yang memadai dan disepakati oleh masyarakat pers.

Standar kompetensi ini menjadi alat ukur profesionalitas wartawan. Standar kompetensi wartawan diperlukan untuk melindungi kepentingan publik dan hak pribadi masyarakat. Standar ini juga untuk menjaga kehormatan pekerjaan wartawan dan bukan untuk membatasi hak asasi warga
negara menjadi wartawan.

Kompetensi wartawan sangat berkaitan dengan kemampuan intelektual dan pengetahuan umum. Di dalam kompetensi wartawan melekat pemahaman tentang pentingnya kemerdekaan berkomunikasi, berbangsa, dan bernegara yang demokratis.

Kompetensi wartawan meliputi kemampuan memahami etika dan hukum pers, konsepsi berita, penyusunan dan penyunting berita, serta bahasa. Dalam hal yang terakhir ini juga menyangkut kemahiran melakukannya, seperti juga kemampuan yang bersifat teknis sebagai wartawan profesional, yaitu mencari, memperoleh, menyimpan, memiliki, mengolah, serta membuat dan menyiarkan berita.

Kesadaran etika dan hukum sangat penting bagi wartawan saat bertugas. Dengan ini, wartawan juga akan membuat tulisannya selalu dilandasi pertimbangan yang matang, dan selalu menghindari plagiat, maupun lainnya.

Berkaca dari tujuan dari SKW, agak sulit rasanya untuk tidak setuju dengan pelaksanaan UKW. Sebab, UKW bukanlah hantu  yang menakutkan. Melalui UKW, seorang wartawan, redaktur, pimpinan redaksi dapat menguji kemampuan dan pengalamannya selama berkecimpung dalam dunia jurnalistik selama ini. Kalau belum lulus, berarti masih perlu meningkatkan kembali kemampuannya.

Pun demikian sebaliknya bagi mereka yang lulus uji. Tak perlu jemawa, apalagi kalau lulus dengan nilai pas-pasan. SKW yang mereka kantongi dapat dicabut sewaktu-waktu jika terbukti melanggar rambu-rambu yang ada.***

*Feaby Handana adalah wartawan Teraslampung.com