BOS dan Pendidikan Dasar Murah

Ilustrasi
Bagikan/Suka/Tweet:
Oleh Muhammad
Yunus
  
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
tahun 1945 mengamanatkan agar Pemerintah Negara Republik Indonesia wajib untuk
melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia. Selanjutnya, Pasal
31 UUD 1945 mengamanatkan bahwa pendidikan merupakan hak bagi setiap warga
Negara. Pendidikan dasar merupakan kewajiban yang harus diikuti oleh setiap
warga negara dan pemerintah wajib membiayai kegiatan tersebut. Lebih lanjut
dalam Pasal 31 ayat (4) disebutkan bahwa negara memprioritaskan anggaran
pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen (20%) dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) serta dari
anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan nasional.
Dalam
sejarah perjalanan UUD 1945 yang telah mengalami 4 (empat) kali amandemen,
hanya bidang pendidikan saja yang ditetapkan alokasi anggarannya yaitu sebesar
20% dari anggaran dalam APBN/APBD. Hal tersebut menunjukkan bahwa bangsa
Indonesia telah bertekad untuk memajukan dunia pendidikan, terutama pendidikan
dasar (SD dan SMP). 
Pada tahun 1994 pemerintah telah mencanangkan Program Wajib
Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun sebagaimana tercantum dalam Inpres No.1
Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar, dan pada tahun
2006 tekad tersebut diperkuat dengan diterbitkan Inpres No.5 Tahun 2006 tentang
Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan
Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara.
Dalam
konteks anggaran Pendidikan 20%, Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor: 013/PUU-VI/2007 tanggal 13 Agustus 2008 merupakan putusan yang
terpenting dan menjadi tonggak bersejarah yang menandai pemenuhan alokasi
anggaran pendidikan 20% di Indonesia. MK dalam pendapat hukumnya menyatakan : ”Apabila dalam UU
APBN yang akan datang, ternyata anggaran pendidikan tidak juga 20% dari APBN
dan APBD maka MK cukup menunjuk putusan ini untuk membuktikan inkonstitusional
ketentuan UU dimaksud, dan mengingatkan kepada pembentuk UU untuk
selambat-lambatnya dalam UU APBN Tahun 2009 harus telah
memenuhi kewajiban konstitusionalnya menyediakan anggaran minimal 20% untuk
pendidikan”.
Fakta konstitusional tersebut, secara ideal menjamin
terpenuhinya  hak dasar warga Negara
untuk mengenyam pendidikan sebesar-besarnya, tanpa membedakan strata sosial
maupun kapasitas intelektual setiap warga negara. Untuk itulah, masyarakat
secara luas harus mendapatkan akses pendidikan yang sebesar-besarnya untuk
memperoleh jaminan atas pendidikan yang layak dan berkualitas.
 Bantuan
Operasional Sekolah (BOS)
Program
BOS dapat dikatakan sebagai salah satu instrumen dalam rangka merespon amanat
yang terekam dalam konstitusi perihal kewajiban pemerintah untuk memajukan
pendidikan, terutama Pendidikan Dasar (Wajib Belajar 9 Tahun). Program BOS
sendiri lahir di Tahun 2005 sebagai bentuk dari pengalihan subsidi bahan bakar
minyak (BBM). Waktu itu, sektor pendidikan merupakan salah satu sektor yang mendapat
pengalihan subsidi BBM, salah satunya dalam bentuk Bantuan Operasional Sekolah
(BOS). Semangat awalnya, Dana BOS merupakan salah satu program pemerintah guna
mewujudkan wajib belajar (wajar) 9 tahun.
Menteri
Pendidikan Nasional (Mendiknas) pada waktu itu, Bambang Sudibyo,  mengatakan bahwa alokasi dana Program
Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM) akan dimanfaatkan
untuk meningkatkan angka partisipasi pemerintah dalam pendidikan untuk penduduk
miskin di Indonesia yang jumlahnya relatif besar.
Program
BOS pada mulanya bertujuan untuk membebaskan biaya pendidikan bagi siswa tidak
mampu  dan meringankan bagi siswa lain,
agar mereka memperoleh layanan pendidikan dasar yang lebih bermutu sampai
tamat  dalam rangka penuntasan Wajib
Belajar (Wajar)  Sembilan Tahun.  Salah satu indikator penuntasan program  Wajar 
9 Tahun diukur dengan Angka Partisipasi Kasar (APK) tingkat SMP.  Pada tahun 2008 APK SMP telah mencapai
96,18%,  sehingga dapat dikatakan bahwa
program Wajar 9 tahun telah tuntas sesuai dengan waktu yang telah ditargetkan.
Program
Bantuan Operasional Sekolah (BOS), diklaim oleh pemerintah (kemendiknas), telah
berperan besar dalam percepatan pencapaian program wajar 9 tahun tersebut. Oleh
karena itu, sejak tahun 2009 pemerintah telah melakukan perubahan  tujuan, pendekatan dan orientasi dari
program. 
Dalam
Buku Panduan Program BOS 2009 disebutkan bahwa Selain untuk mendukung
terwujudnya wajib belajar 9 tahun, kegunaan program BOS juga berhubungan dengan
program-program pendidikan yang dikelompokkan menjadi 3 (tiga) hal utama, yaitu
pemerataan dan perluasan akses; peningkatan mutu, relevansi , dan daya saing;
serta tata kelola, akuntabilitas, dan pencitraan publik. Meskipun tujuan utama
program BOS adalah untuk pemerataan dan perluasan akses, program BOS juga
merupakan program untuk peningkatan mutu, relevansi dan daya saing serta untuk
tata kelola, akuntabilitas dan pencitraan publik.
Dari
berbagai uraian ideal perihal Program BOS di atas, pertanyaan berikutnya
adalah: Apakah sejak digulirkan, Program BOS benar-benar telah mampu membangun
pemerataan dan perluasan akses serta peningkatan mutu pendidikan? Pertanyaan
ini merupakan pertanyaan yang paling signifikan dan subtansial yang wajib
dijawab dan diaktualisasi oleh para pemangku kebijakan sektor pendidikan di
negeri ini.
Pendidikan
Murah dan Bermutu:
Jauh
Panggang dari Api
Setelah
bergulirnya Program BOS, apakah pendidikan dasar (SD/SMP) semakin murah dan
semakin meningkat mutunya? Secara serampangan, berdasar berbagai pemberitaan di
media massa dan keluhan dari orang tua murid (yang tidak mampu), dapat dijawab
bahwa di negeri ini: untuk mendapatkan pendidikan murah dan bermutu adalah jauh panggang dari api  atawa “tidak mungkin terjadi”.
Pernyataan
“pendidikan murah dan bermutu”, di negeri ini sepertinya telah dianggap anomali dan melanggar logika umum yang menyatakan pendidikan bermutu pararel dengan pendidikan berbiaya mahal
atawa “ada rupa ada harga”. Maraknya
kemunculan Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) dan Sekolah
Berstandar Internasional (SBI), adalah sebentuk respon atas logika umum tersebut. Walau pada faktanya, RSBI
dan SBI lebih menjurus pada sekolah berbiaya internasional, dibanding sekolah
bermutu internasional.
Program
BOS, secara aktual belumlah mampu untuk memperluas akses dan meningkatkan mutu
pendidikan. Bahkan program BOS justru banyak melahirkan  berbagai fakta negatif dan cenderung massif
atas pengelolaannya, yang dapat dirujuk antara lain (dirangkum dari berbagai
sumber):
Sebanyak 62.85% sekolah tidak
mencantumkan penerimaan BOS dan Dana Pendidikan Lainnya  (indikasi korupsi)
. Sebanyak 62,84% sekolah yang disamping tidak mencantumkan seluruh
penerimaan dana BOS dan Dana Pendidikan Lainnya (DPL) dalam RAPBS dengan nilai
Rp 479,96 miliar (TA 2007) dan Rp 144, 23 miliar (TA 2008 semester I), padahal
salah satu media perencanaan yang dipakai sekolah dalam pengelolaan keuangannya
adalah Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS).
Kepala sekolah tidak transparan
dalam mengelola dana sekolah
.
Sebanyak 4.12% sekolah tidak menggratiskan biaya operasional sekolah pada siswa
didiknya. Dari 4.127 sekolah di 62 kabupaten/kota, diperoleh 47 SD (27 SD
Negeri dan 20 SD Swasta) dan 123 SMP (95 SMP Negeri dan 28 SMP Swasta) di 15
kabupaten/kota belum membebaskan biaya/iuran bagi siswa tidak mampu di sekolah
dan tetap memungut iuran/biaya pendidikan seperti iuran ekstra kurikuler,
sumbangan pengembangan sekolah, dan iuran komputer kepada siswa.
Seorang
kepala sekolah dasar (SD) di Kabupaten Serang, Banten, menuturkan, pungli
berkedok untuk memuluskan pengucuran dana BOS seolah sudah menjadi “kewajiban”
bagi setiap sekolah. Pungli itu, katanya, hampir terjadi di semua SD di
Kabupaten Serang (juga di Lampung). “Sangat sulit dihentikan. Mungkin ini sudah
menjadi simbiosis mutualistis antara sekolah dan dinas pendidikan,” tuturnya,
ketika ditemui SP, di Serang, belum lama ini. Dia mencontohkan, para
kepala sekolah diharuskan menyetor uang sebesar Rp 300.000 ke Dinas Pendidikan
dengan berbagai alasan. “Upeti” itu disetorkan untuk rehabilitasi bangunan.
“Kalau tidak menyetor, bantuan untuk rehabilitasi pasti terganggu,” katanya.
Menurut
Manajer Divisi Monitoring dan Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW)
Ade Irawan, beban biaya pendidikan yang ditanggung orangtua makin bertambah di
tengah kenaikan anggaran untuk sektor pendidikan dan adanya dana BOS. Dia
mengatakan, beragam pungutan yang dibebankan kepada orang tua murid sebagian
besar tidak ada laporan pertanggungjawabannya. Hasil penelitian ICW pada
orangtua murid di lima daerah, yakni DKI Jakarta, Kabupaten Tangerang,
Kabupaten Garut, Kota Padang, dan Kota Banjarmasin selama 2007, menunjukkan,
orangtua murid tingkat SD menanggung biaya pendidikan anaknya yang rata-rata
sebesar Rp 4,7 juta. 
Dana sebesar itu, katanya, untuk biaya tidak langsung
sebesar Rp 3,2 juta, seperti untuk biaya membeli buku, alat-alat tulis, serta
les privat di luar. “Padahal anggaran dana untuk BOS buku itu Rp 900 miliar,
yang berarti setiap siswa mendapatkan Rp 254.000 per tahun, tapi kenyataannya
biaya yang dikeluarkan orangtua untuk sekolah terus meningkat,” katanya.
Epilog
Dari
sekian banyak carut-marut pengelolaan Program BOS, masihkah kita mampu untuk
merawat harapan tentang adanya “pendidikan murah dan bermutu” di negeri ini?
Pertanyaan ini memang cenderung skeptis dan pesimis namun faktuil, karena bila
amanat konstitusi saja sudah tak hirau untuk dijadikan panduan bagi pemerintah,
maka apatah lagi hanya sekedar harapan dari rakyat yang dhoif.

* Direktur Komite Anti Korupsi (KoAK) Lampung