Bosan Jadi Rakyat

Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila

Akhir-akhir ini hampir tiap sore terjadi hujan deras. Orang jawa bilang hujan sekarang ini disebut hujan “salah mongso” (hujan salah musim). Dulu periodesasi hujan jelas. Kalau musim kemarau berarti tidak hujan. Begitu juga sebaliknya. Kini datangnya hujan seolah hanya Tuhan yang tahu.

Persoalan turunnya hujan kita serahkan Tuhan, namun dampak hujan yang terus menerus, atau tidak sama sekali turun hujan, manusia  harus mau menanggung semua akibatnya. Bisa jadi menguntungkan, bisa juga merugikan. Tukang bakso  akan selalu berdoa supaya hujan agar peminat bakso berlimpah,  sementara tukang es berharap panas terus agar esnya laku keras. Itulah manusia yang tidak pernah ada cukupnya saat melihat peristiwa dunia; antara nikmat dan musibah sering hanya berpaut selembar rambut dibelah tujuh.

Itulah sebenarnya pergulatan rakyat kecil yang harus mempertahankan periuk nasinya tetap berdiri setiap hari. Mereka berkutat pada “bisa makan hari ini”, sementara banyak di antara kita ada pada posisi “makan apa kita hari ini”. Ada juga pada tingkatan “apa lagi yang akan kita makan hari ini”. Posisi “bisa” dan “apa lagi” pada posisi di atas menjadi luar biasa manakala kita mau memahami esensi keduanya.

Posisi “bisa” memerlukan perjuangan yang tidak mudah, bahkan sering menjadi besar jika tidak disertai dengan dukungan kebijakan yang berpihak dari para pengambil keputusan. Diduga jumlah pada posisi ini di negeri ini cukup besar. Hanya bagai gunung es, mereka tampak sedikit di pemukaan, namun sejatinya jumlah mereka banyak, tetapi ada di bawah sana. Dasar filosofi inilah dahulu Prof. Sayoga,  Guru Besar Sosiologi Pedesaan di Institut Pertanian Bogor membuat perhitungan dengan merumuskan garis kemiskinan. Saat itu banyak yang tidak setuju, namun secara diam-diam mereka menggunakan.

Jumlah mereka yang tidak terdeteksi dengan instrumen yang ada, membuat banyak di antara kita sering terkecoh dengan laporan formal pemerintahan saja. Apa lagi lembaga yang semula memiliki posisi garis depan guna mengetaskan mereka, pada era otonomi ini semua seolah musnah ditelan bumi. Ukuran dilakukan dengan prakiraan saja atas dasar data sekunder. Itu pun masih diragukan kevalidannya. Akibatnya, masih kita jumpai ada kelompok masyarakat yang seharusnya mendapatkan bantuan langsung tunai justru tidak dapat, sementara mereka yang seharusnya tidak memerlukan, karena memiliki hubungan kekerabatan dengan unsur pamong setempat justru mendapatkan bantuan. Sampai-sampai viral di media masa mereka ini berkelakuan aneh sangat mendapatkan bantuan.

Maksud baik yang semula mulia dari para petinggi negeri, namun begitu sampai ditangan para pelaksana, diselewengkan k earah yang menguntungkan diri dan keluarganya. Bisa dibayangkan pegawai negeri dengan pangkat level rendah bisa memiliki kekayaan fantastis, dengan tidak memiliki harta waris dari nenek moyangnya, atau usaha sampingan lain. Dengan otak korengan untuk menutupi kecurangan, harta mewahnya diatasnamakan rakyat kecil yang tinggal di gang sempit. Lagi-lagi rakyat jelata dijadikan “tameng” oleh mereka yang tidak memiliki hati nurani. Hebatnya lagi, laporan harta kekayaan yang seharusnya dilaporkan kepada negara, aturan ini hanya berlaku untuk rakyat, sementara pejabatnya bisa menghindar dengan jurus “bajing loncat”. Padahal jurus itu milik rakyat karena keterpaksaan tidak memiliki pekerjaan, sementara tuntutan perut harus dipenuhi, maka memakai jurus tadi untuk mengambil milik orang lain di atas truk berjalan. Lagi-lagi jurus milik rakyat diambil pejabat karena takut dipecat.

Adakah yang salah dari semua ini ? . sistem sudah bagus, manusia pelaksananya pandai-pandai; tidak ada diantara mereka yang tidak sarjana, pendapatan sudah relatif besar, renumerasi disediakan. Tampaknya ada yang hilang dalam proses perjalanan waktu, yaitu karakter kita sebagai bangsa yang pernah didengungkan oleh Ir.Soekarno. Sebelum terlambat kita harus kembali kepada pendidikan karakter bagi seluruh penyelenggara negara. Bukan hanya pada pendidikan formal, tetapi lebih kepada aplikasi, keteladanan, dan panutan. Hanya perlu didefinisikan ulang model pendidikan karakter seperti apa yang diperlukan; ini perlu kajian yang mendalam, dan itu tidak sulit karena untuk apa banyak lembaga tinggi, perguruan tinggi di negeri ini, jika tidak mampu menghasilkan konsep dan metoda untuk menanamkan karakter.

Terakhir, perlu disadari bahwa apapun jabatan, pangkat, kedudukan, kekayaan; semua itu akan berakhir; sebelum kita masuk keliang lahat, maka kita harus jadi rakyat. Jika kita masih berada pada jabatan apa pun itu saat ini, di ujung sana sudah menunggu kumunitas baru rakyat namanya.

Pertaanyaannya: siapkah Anda, saya, kita untuk jadi rakyat? Mari jawab dengan kejujuran hati nurani yang paling dalam.

Selamat ngopi pagi.