Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu Ilmu Sosial di FKIP Unila
Tulisan ini dihimpun dari bahan hasil penelitian yang tidak terpakai pada laporan utama, karena tidak termasuk dalam konteks penelitian. Oleh karena itu dari pada dibuang; maka dilakukan rekonstruksi data, disajikan dengan bahasa sederhana untuk dapat ditangkap makna yang terkandung didalamnya. Asal muasal penelitian ini bertemakan kemiskinan di perkotaan, akan tetapi penekanan analisis lebih pada kelompok populasi; bukan atas dasar responden; sementara data penunjang banyak berkaiatan dengan responden, maka jadilah bangun tulisan ini.
Dengan tetap mengacu kepada kaidah kaidah ilmiah di antaranya merahasiakan nama responden dan tempat penelitian, hal yang sama juga dilakukan oleh Clifford Geertz pada waktu penelitian di Jawa Timur dengan menyamarkan daerah penelitian menjadi nama Mojokuto. Narasi pun dibangun dengan menggunakan bahasa kesetaraan dialogis; bisa antarpelaku, bisa juga dengan pembaca. Oleh sebab itu, mohon membacanya bukan dengan komat kamit bibir, tetapi lebih kepada jendela rasa, sebagai pintu masuk.
Berikut ini pengakuan para responden:
Saya bekerja sebagai pemulung, setiap subuh, karena saat itu banyak orang menuju masjid, saya sudah bergegas mencari botol plastik, kardus bekas, yang berserak entah dimana. Pada umumnya saya menelusuri pasar, kemudian jalan jalan besar, atau jalan perumahan. Ini saya kerjakan dengan membawa karung yang selalu saya sandang. Kebetulan saya tidur di gerobak yang saya jadikan pengangkut menuju pool rongsokan milik pemilik uang yang selalu membeli barang kumpulan saya.
Saya hidup bersama istri dan seorang anak yang baru berumur lima tahun. Bagaimana proses perkawinan kami saya malu menceritakan di sini. Hasil uang jualan rongsokan setiap hari rata rata seratus sampai seratus limapuluh ribu. Uang itulah untuk makan kami bertiga, dan uang itu merupakan kumpulan dari istri dan saya; karena kami berdua sama-sama pemulung.
Saya senang kalau ada ramai ramai, kata orang demo demo, karena bekas botol plastik minum berserakan, maka kami para pemulung mendapat rezeki yang lebih. Tapi, pada masa covid saya tidak pernah mendapatkan penghasilan sebaik dahulu. Sekarang saya lebih banyak puasa makan; kalau tidak ya menjadi pengemis dengan istri saya dan teman teman senasib, minta minta di lampu merah. Terus kalau sampeyan bagaimana ?
Kalau saya pegawai kontrak di suatu instansi pemerintah sebagai tukang sapu. Saya sudah lima belas tahun bekerja dengan gaji satu juta tujuhratus ribu rupiah, karena saya tamat Sekolah Menengah Pertama, dan kemudian ikut persamaan Sekolah Menengah Atas, atau sering disebut Paket C; yang itu sebenarnya saya hanya bayar saja besarannya saya sudah lupa, hanya ingat kalau uang itu dari pinjam kiri kanan, dan uniknya tidak pernah sekolah kemudian ujian dan lulus. Ujian pun saya tinggal memindahkan isian yang sudah disiapkan. Saya sangat berharap diangkat jadi pegawai negeri; tetapi entah kapan, saya sendiri tidak tahu. Istri saya membantu ekonomi saya dengan menjadi tukang cuci di beberapa rumah.
Gaji saya untuk mengkredit motor butut agar saya lebih cepat pergi ke kantor; karena atasan saya sering pagi pagi menghardik saya jika saya sedikit terlambat. Sementara sisanya untuk biaya sekolah dua orang anak saya, semua di SD Negeri. Gaji istri untuk makan kami berempat, kadang istri membawa nasi dan lauk pauk dari pemberian orang orang baik tempat dia bekerja. Sementara saya sering mengumpulkan kertas bekas untuk saya kilo, dan uangnya untuk tambahan beli beras. Namun akhir akhir ini saya agak bermasalah dengan pimpinan karena saya dikatakan sering bolos, padahal saya sudah memberitau bahwa saya sakit.
Akhirnya saya sekarang mendapat peringatan keras yang bisa bisa saya di pecat. Saya sudah pasrah kepada Tuhan tentang nasib saya; yang penting anak istri saya bisa makan, itu sudah senang sekali rasanya, apalagi saat pandemi Covid-19 seperti sekarang ini saya banyak nganggur, karena tidak ada job membersihkan rumah dan halaman rumah para bos. Terus kalau kisah sampeyan bagaimana ?
Saya tukang sayur. Jualan keliling dengan sepeda ontel butut. Pagi pagi buta saya sudah kulakan di Pasar Jatimulyo; kemudian sayuran dan bumbu dapur saya pilah kecil kecil supaya harganya terjangkau dan banyak, sehingga saya dapat keuntungan dari harga dan jumlah barang. Sayur mayur tadi setelah saya beli dan saya susun ulang di pinggir jalan pasar, kemudian saya keliling, masuk kampung keluar kampung, keluar masuk perumahan.
Setiap hari saya dapat uang keuntungan seratus limapuluh ribu rupiah jika sedang nasib baik, yaitu dagangan habis. Tetapi jika musim hujan, tanggal tua, atau masa covid seperti sekarang ini; saya hanya membawa uang pulang lima puluh ribu. Kadang kadang tujup uluh lima ribu bersih, setelah dipotong modal. Jika nasib sedang sial, dagangan tidak laku dan sayuran saya berikan kambing peliharaan suami saya.
Suami saya buruh serabutan jika ada orang membutuhkan tenaga kerja apa saja, yang penting dapat uang halal. Di samping itu kami punya kambing memelihara punya orang lain dengan cara bagi hasil. Itulah modal untuk anak saya yang dua orang satu di SMP satu di SMA. Mudah-mudah mereka bisa jadi orang, biarkan kami yang susah payah. Untuk kami yang penting bisa makan tiap hari saja sudah baik, terutama anak anak, sementara kami berdua dengan bapaknya makan jika anak dua itu sudah makan. Terus kalau panjenengan bagaimana kisahnya ?
Wah, aku iki sopir angkot, yang sudah sulit saat sekarang cari penumpang. Angkot yang saya bawapun milik orang lain. Sebenarnya majikan saya sudah ingin menjual Angkotnya karena tidak menghasilkan, akan tetapi karena kasihan dengan saya; maka niat itu diurungkan. Saya setor seberapa saja, pemilik tidak mempersoalkan, yang penting angkot dipelihara jangan sampai mogok. Saya beruntung punya bos seperti ini, beliau paham penumpang sekarang sudah kalah dengan gojek, karena gojek bisa mengantar sampai depan pintu, sedangkan angkot tidak mungkin. Langganan saya ibu ibu tukang sayur, atau pegawai rendahan kantoran, itu pun mereka sudah jarang naik karena mereka ke Kantor katanya pakai shift-shift-an atau giliran akibat covid.
Penghasilan saya setiap hari membawa pulang uang bersih duapuluh lima ribu bersih setelah dipotong pengeluaran minyak dan lain lain; itu sudah bagus sekali, dengan catatan tidak ada pecah ban atau kerusakan lain. Jika ada kerusakan berarti saya harus berhutang dan itu harus saya bayar besok. Saya tidak punya keahlian lain kecuali sopir angkot, dan untuk menambah penghasilan guna mencukupkan uang dapur, terpaksa istri saya menjadi buruh apa saja, dari mencuci, mengasuh anak orang sampai apapun. Untungnya kami punya anak hanya satu, berusia sepuluh tahun dan bersekolah di SD negeri.
Saya merasa kerepotan harus membelikan HP anak guna belakar katanya. Untung bos pemilik angkot baik hati mau memberikan HP bekas milik anaknya. Bebas makan sehari hari, menurut kami sekeluarga adalah keberuntungan tersendiri.
***
Data seperti di atas jika dirangkai, sekalipun sudah disingkat, masih banyak lagi yang bisa ditampilkan dari sejumlah responden; karena keterbatasan ruang, maka hal itu tidak mungkin dilakukan. Hanya simpul yang dapat kita tarik, ternyata di bawah sana, pada strata sosial lapis bawah; banyak persoalan sosial yang perlu kita tangani bersama.
Tepatlah jika kita mengatakan bila ada yang mendholimi mereka; hukuman berat layak diterimakan kepada mereka yang melakukan. Mereka hanya ingin bebas makan sehari hari, itu saja, tidak lebih. Lalu bantuan untuk mereka kita kadali, atau disimpangkan kepada yang tidak patut menerima; bagaimana luka perasaan orang orang yang bernasib seperti di atas. Mereka tidak butuh yang muluk muluk; mereka tidak butuh Baliho, Spanduk atau gambar gambar lain yang serimonial. Mereka membutuhkan sesuatu yang real tentang nasib mereka, yaitu uluran tangan dari kita semua.
Sebelum mereka mengatakan “Bosan Jadi Rakyat”; maka dengan perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan 17 Agustus 2021 ini, kita melakukan tindakan nyata untk mengentaskan saudara saudara kita dari kepapaan. Selamat Ulang Tahun Negeriku, semoga kau tetap jaya sepanjang masa.
Salam Merah Putih!