Oleh: Feaby Handana
Polemik mengenai rencana pendirian pabrik tapioka di Desa Talangjembatan, Abungkunang, Lampung Utara semakin menarik untuk disimak bagaimana akhir ceritanya. Sebab, polemik ini membuat Pemkab dan DPRD Lampung Utara seolah tanding siapa kuat.
Keduanya sama-sama ngotot dengan keyakinannya masing-masing. Sama-sama merasa berdiri di jalan yang benar. Dasar hukum yang digunakan pun sama. Hanya beda di pasalnya saja.
Polemik ini sendiri bermula dari penolakan pihak legislatif Lampung Utara terhadap lahan yang akan dijadikan lokasi berdirinya pabrik tapioka tersebut. Lokasi itu dianggap mereka bukanlah termasuk kawasan industri.
Sesuai pasal 32 dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 4 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Lampung Utara tahun 2014-2034, kawasan peruntukan industri itu terdiri dari Kecamatan Kotabumi Utara, Abung Selatan, Bungamayang, Sungkai Utara, dan Sungkai Selatan. Dengan demikian, rencana pendirian pabrik di sana layak untuk dibatalkan.
Sayangnya, pendapat pihak legislatif ini sangat terlambat. Sebab, Pemkab Lampung Utara ternyata telah keburu menerbitkan Izin Kesesuaian Pemanfaatan Ruang (IKPR). IKPR ini menjadi dasar yang akan digunakan untuk memroses perizinan selanjutnya.
Terbitnya IKPR ini dikarenakan pihak eksekutif menganggap bahwa lokasi berdirinya pabrik sama sekali tidak bertentangan dengan aturan. Meskipun tidak termasuk kawasan industri, namun berdirinya pabrik di sana dapat dibenarkan. Pabrik di sana dianggap sebagai industri penunjang perkebunan. Hal tersebut diatur dalam Pasal 107 di Perda RTRW yang ada. Kesimpulan ini juga diperkuat dengan pertimbangan dari pendapat ahli dari Unila.
Lantaran telah mengantongi IKPR, pihak perusahaan menganggap bahwa permohonan mereka disetujui. Mereka pun langsung melakukan proses pembersihan lahan yang akan dijadikan sebagai lokasi berdirinya pabrik mereka.
Luas lahan calon lokasi pabrik tapioka itu sendiri dikabarkan mencapai 40 hektare. Total investasi mereka disebut-sebut mencapai Rp20 miliar. Kabarnya, jika mulus berdiri, potensi retribusi dari Persetujuan Bangunan Gedung pabrik itu diperkirakan mencapai Rp500-an juta.
Meskipun pendapatnya dipatahkan oleh pihak eksekutif, namun pihak legislatif tetap teguh dengan pendiriannya. Pabrik tak boleh berdiri di luar kawasan industri yang telah ditetapkan. Keseriusan mereka dibuktikan dengan terbitnya surat rekomendasi di antaranya berisikan permintaan kepada pihak eksekutif untuk segera menghentikan seluruh aktivitas pembersihan lahan yang sedang berlangsung.
Penghentian itu harus dilakukan secepatnya. Selain karena lokasinya tidak sesuai Perda RTRW, pembersihan lahan juga dinilai belum dapat dilakukan karena pihak perusahaan belum mengantongi izin lingkungan.
Sejatinya, pendapat dari pihak legislatif Lampung Utara ini sejalan dengan pendapat anggota DPRD Provinsi Lampung (Imam Syuhada) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Lampung. Menurut mereka, pejabat yang telah menerbitkan IKPR berpotensi terkena sanksi tegas jika pelanggaran itu terbukti benar adanya. Bahkan, WALHI mendesak agar IKPR tersebut ditinjau ulang jika memang melanggar Perda RTRW Lampung Utara.
Di samping itu, WALHI juga beranggapan bahwa proses pembersihan lahan harus segera dihentikan karena belum mengantongi izin lingkungan. Proses pembersihan lahan dikhawatirkan akan memengaruhi lingkungan sekitar, apalagi lokasinya berada di dataran tinggi.
Menariknya, DLH Provinsi Lampung yang memiliki kewenangan dalam mengurusi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) setiap perusahaan industri ternyata memiliki pandangan lain. AMDAL ini sendiri memiliki peranan penting dalam terbitnya izin lingkungan yang wajib dikantongi oleh setiap perusahaan.
Menurut mereka, proses pembersihan lahan yang sedang dilakukan itu tidaklah melanggar aturan. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko memang memperbolehkannya meskipun belum mengantongi izin lingkungan.
Adapun mengenai IKPR, mereka berpendapat bahwa akan tetap memroses permohonan tersebut. Meski begitu, untuk urusan penerbitan izin lingkungan, kewenangannya tak melulu ada dengan mereka. Sebab, semua pihak terkait akan dilibatkan untuk membahas hal tersebut. Pihak terkait itu terdiri dari kabupaten, dan provinsi. Rapat inilah yang akan menjadi penentu apakah pengajuan pemohon dinilai layak atau tidak untuk diberikan izin lingkungan.
Konflik yang terjadi ini sejatinya harus kita apresiasi. Dengan konflik ini, lembaga legislatif telah menjalankan tugas pengawasan yang melekat kepada mereka. Dan memang hal inilah yang seharusnya mereka lakukan jika mendapati ada kebijakan yang berpotensi tidak sesuai aturan.
Sampai ke titik ini, rasanya kita harus percaya dengan itu. Kesampingkan perkataan nyinyir warganet yang menyoal sikap dari wakil rakyat tersebut. Anggap saja motif yang melatarbelakangi penolakan mereka memang murni untuk menegakkan aturan. Tidak ada motif kepentingan pribadi atau golongan di belakangnya. Sebab, berkata yang tidak-tidak tanpa bukti itu sama saja menjurus ke fitnah.
Meski begitu, harus kita akui bahwa polemik tak berujung ini jelas sangat merugikan bagi Kabupaten Lampung Utara di masa mendatang. Kekhawatirannya, para investor akan berpikir seribu kali lagi untuk menanamkan modalnya di kabupaten.
Dampaknya, tingkat pengangguran di Lampung Utara tidak akan berkurang. Padahal, untuk urusan tingkat pengangguran terbuka sejak tahun 2012 silam, Lampung Utara selalu berada di posisi dua atau tiga besar di Provinsi Lampung.
Kalau sudah begini, kondisi Lampung Utara tak ubahnya seperti buah simalakama. Dimakan, mati ayah, tak dimakan, mati ibu. Pabriknya diperbolehkan berdiri salah, tidak diperbolehkan berdiri tambah salah.