Oleh: Sudjarwo
Pensiunan Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila
Hari Minggu biasa penulis digunakan untuk beres-beres rumah: memperbaiki perabotan yang rusak atau membersihkan semua pernak pernik rumah. Jika ada kekurangan bahan bangunan, penulis biasanya membelinya di toko langganan. Jika toko langganan tutup karena libur, terpaksa mencari toko langganan lama.
Kami sudah akrab. Karena lama tidak jumpa, maka terjadilah dialog yang agak lama. Beliau ini mempunyai anak tiga orang. Ketiganya tidak ada di Indonesia. Mereka masing-masing di Malaysia, Australia, dan di Singapura.
Setelah diadakan wawancara agak mendalam, pemilik toko ini berkata dengan aksen khasnya: “Susah anak-anak tidak suka hidup di sini. Mereka bilang Indonesia bukan rumah kita lagi”.
Saya terkesiap. Untuk kesekian kalinya saya menemukan keluarga yang “ikhlas” meninggalkan Indonesia, untuk hidup di negara lain. Itu bukan hanya pada keluarga keturunan. Sekarang bahkan orang asli Indonesia banyak memiliki anak yang hidup di luar negeri sebagai “diaspora”. Mereka merasa lebih nyaman tinggal di luar neeri daripada di negeri sendiri. Petuah lama “hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri, lebih memilih ada di negeri sendiri” kini menjadi kuno. Menurut mereka hujan emas di negeri orang jauh lebih baik daripada hujan batu (miskin) di negeri sendiri.
Cerita pemilik toko itu berbeda lagi dengan cerita tentang teman pensiunan di salah satu pabrik penghasil gula terbesar di provinsi ini. Beliau seorang ahli di bidangnya. Menurut catatan, orang seperti beliau tidak sampai sepuluh jari jumlahnya di negeri ini. Saat perusahaan memberikan penawaran untuk kerja paro waktu dengan pendapatan penuh, ternyata dengan senyum ramah beliau menolak dengan sangat halus. “Saya ingin istirahat,” katanya.
Pada kesempatan lain, saat berjumpa santai, iseng-iseng ditanya kenapa tidak mau ambil opsi yang ditawarkan pabrik. Beliau menjawab,“Pabrik itu bukan rumah saya lagi”. Jawaban yang memiliki makna bersayap ini sangat dalam artinya.
Memaknai cerita di atas, ternyata pada masanya manusia sampai pada “garis batas” atas (meminjam istilah dalam statistika). Dan ini dapat melanda siapa saja. Pada usia berapa saja. Tidak heran jika ada pendiri suatu partai yang “merasa” partainya tidak lagi menjadikan dirinya at home , karena rasa nyaman untuk dirinya sudah hilang. Oleh sebab itu, mereka akan eksodus meninggalkan partainya, baik secara perseorangan atau beramai-ramai. Dalaam banyak kasus, ketidaksejalanan antargenerasi membuat tumbuhnya rasa ketidaknyamanan, sehingga pilihan “meninggalkan” menjadi opsi utama.
Perasaan seperti ini dalam psikologi disebut languishing, yang memiliki makna sekumpulan emosi yang muncul, yang membuat kita seolah stagnan, jenuh, hampa, tidak tertarik lagi — sekalipun tadinya menyenangkan. Perasaan ini tidak termasuk kategori stres atau depresi. Hanya ada perasaan bahwa hidup “gini-gini aja”, dan perasaan yang ada sedang tidak baik-baik saja. Penyebabnya bisa dari eksternal, atau internal; eksternal, bisa jadi karena iklim yang terbangun dalam atmosfir organisasi (dalam pengertian real atau abstrak) tidak memberikan cukup ruang pada dirinya untuk beraktualisasi diri, sehingga aturan yang ada seolah membelenggu pribadinya.
Sedangkan yang internal, ini lebih pada perasaan dalam diri seseorang yang merasa tidak menemukan kembali “jati diri”-nya dalam berinteraksi dengan anggota lain pada masyarakat selingkung. Bangun sosial yang selama ini dibangun justru mengeliminasi dirinya ketepi, karena ulah segelintir orang yang tidak merasa nyaman jika dirinya ada di dalam sistem. Menjadi lebih parah lagi jika faktor eksternal dan internal berlangsung secara bersamaan melanda seseorang atau sekelompok orang. Tidak salah jika ada pendiri partai politik, anggota eksekutif suatu institusi, atau apapun lagi namanya; mereka mengambil langkah “keluar”. Zona nyaman yang selama ini mereka rasakan, sudah tidak ditemukan lagi. Walaupun untuk orang lain keputusan ini dianggap nyleneh, tetapi itu adalah hak esensi pribadi. Jadi tidak mungkin dapat dibendung atau dicegah.
Apakah ini ada kaitannya dengan lintasan hidup yang menurut sebagian ulama kita berasal dari alam ruh, kemudian menuju alam rahim, selanjutnya lahir ke alam fana, terus ke alam baka, dan seterusnya sampai kembali kea lam ruh lagi? Tulisan ini tidak mengulasnya karena wilayah transedental bukan jadi sudut kaji tulisan ini.
Kita kembali kepada topik semula: demikian halnya dengan banyaknya para diaspora yang merasa at home jika berada di negara lain, tetapi merasa asing di negeri sendiri. Berdasarkan hasil wawancara tak terstruktur dari beberapa sumber, hampir semua responden menjawab: mereka merasa mendapatkan tantangan jika bekerja di luar; sementara jika berada di negeri sendiri, mereka mengalami kebingungan, bahkan cenderung mengarah ke frustrasi. Perlu diingat bahwa responden memiliki latar pendidikan strata dua dan tiga, tidak termasuk mereka yang berkategori tenaga kerja Indonesia.
Tidak begitu aneh sebenarnya jika ada warganegara suatu negara saat mereka ada di negeri orang, menjadi pengkritik paling getol akan keadaan negerinya. Hal ini terjadi karena harapan yang ada dalam imaginasi dengan kenyataan lapangan yang ada kondisinya bertolak belakang. Di sinilah sebenarnya peran rasa nasionalisme harus dikedepankan sebagai benteng pertahanan diri dari gocangan budaya.
Nasionalisme dalam pengertian praksis sebenarnya ada pada wilayah keluarga dalam menginternalisasikan nilai-nilai kebangsaan pada keluarganya. Konsep ini tentu tidak akan ditemukan pafa keluarga yang berbudaya nomaden, karena pola hidupnya hanya mengejar materi dan rasa nyaman serta aman saja. Atau yang hanya mengedepankan kesuksesan yang berukuran pada bidang akademik saja, tidak diimbangan dengan kesuksesan batin. Tidak aneh jika ada seorang tokoh nasional di negeri ini, menjelang usia senjanya menyesali hidupnya yang hanya mengejar kesuksesan akademik keduniawian, sehingga kering jiwanya secara keilahian.***