Bukan Tokoh Muda

Isbedy Stiawan ZS
Bagikan/Suka/Tweet:

Isbedy Stiawan ZS*

Ia masih muda, tapi bukan tokoh muda. Ia belum menoreh banyak sejarah, bahkan sebagai “tokoh” dalam suatu bidang, tergolong absurd alias anomali. Tetapi, tiba-tiba kini ia seperti menjadi tokoh.Tokoh muda. Berada di depan ribuan—mungkin jutaan orang—dalam berbagai kegitan. Anak muda ini, konon ingin menjadi orang yang berpengaruh di antara para muda seusianya. Bahkan, ingin menjadi kepala daerah.

Orang-orang memaklumi kalau ia cepat melejit. Namanya selalu disebut-sebut, baik di warung kopi, obrolan pegawai negeri pagi hari sebelum bos datang, di surat-surat kabar, televisi. Juga di  media sosial Instragam, Facebook, Twitter, Pinterest dan sebagainya. Ia punya uang, bahkan banyak; kata orang awam tidak berseri. Suaranya manis, semanis gula yang mengelimuni tubuhnya. Warna bibirnya seputih gula tebu. Tebu dari ladang-ladang milik rakyat, tanah ulayat, yang dicapolok sambil diam-diam dan pelan-pelan disorongkan ke dekat leher ataupun perut masyarakat.

Begitulah, ia masih muda namun bukan tokoh muda. Namanya menjadi buah bibir jutaan orang. Ia akan bersaing dengan banyak orang agar disebut orang berpengaruh. Agar menang dalam pemilhan raya, dengan modal uang.

Rakyat sekarang sudah pintar. Tetapi akan tunduk pada uang. Pada gambar-gambar yang punya nilai untuk belanja. Masyarakat sudah paham benar, bahwa uang bisa membuat orang untuk menjadi apa saja. Begitu pula media; betapa banyak media pemberitaan juga tak berkutik ketika disodorkan segepok atau setas kresek uang, sampai-sampai mendahulukan berita bohong dan membuang berita-berita nyata.

Orang-orang kemudian merapat padanya. Menjadi juru bicara, meski tak bersertifikat. Siap menjadi pembela, walaupun bukan pengacara. Berusaha mengorek setiap ucapan untuk ‘dimediamassakan’, walaupun tak memegang kartu pers. Terpenting dari kedekatan itu, mereka menangguk uang sebanyak-banyaknya dari anak muda itu. Bahkan, ada yang lebih merapat, meminta sebagian kekayaan anak muda itu, untuk menerbitkan media massa; isinya adalah mengenai sepak terjang sang anak muda; pikiran-pikirannya (yang sebenarnya sudah basi), memasang wajah anak muda, dan tetek-bengek yang amat remehtemeh dari kegiatan sehari-hari sang anak muda.

Sedangkan lainnya, menggotek sang anak muda membuat berbagai kegiatan; dari festival tari kreasi, pertunjukan wayang kulit (dan golek), penerbitan buku profil, dan brosur-brosur berbagai bentuk dan ukuran.

Anak muda itu dikarbit menjadi tokoh muda. Berdiri di antara jutaan orang. Membagi-bagikan uang, melempar kertas-kertas alat jual-beli itu.

Dari mana ia peroleh uang-uang itu? Hanya dia dan Tuhannya yang tahu. Tetapi, ladang-ladang kebun tebu semakin menjerit, sebab telah banjir airmata rakyat jelata si pemiliknya. Ia memainkan peran, karena itu ia menjadi orang berpengaruh (atau setidaknya seakan-akan berpengaruh).

Ia masih muda, tapi bukan tokoh muda. Ia hanya punya uang. Ia kaya raya. Jangankan membeli satu media, jutaan follower di Twitter pun bisa ia rengkuh hanya dalam sekian sentuh. Setiap halaman koran dan layar televise bisa setiap waktu memuat wajahnya.

Ia masih muda. Tapi bukan tokoh muda. Sejarah masa lalunya absurd, bahkan anomali. Dengan uangnya apa pun bisa direngkuhnya…

*Penyair