Cakramanggilingan

Guru Besar FKIP Unila, Prof. Dr. Sudjarwo
Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu Ilmu Sosial FKIP Universitas Lampung

Konsep Cakramanggilingan adalah ajaran budi yang bersumber dari kearifan lokal Jawa yang memiliki makna bebas adalah kehidupan anak manusia di bumi ini berputar sebagaimana mata senjata Cakra; dari semenjak lahir di dunia hingga meninggal dunia. Fase atau tahapan itu bersifat pasti, namun memiliki batasan yang nisbi. Maksudnya ialah semua manusia akan mengalami fase tahapan dimaksud, namun setiap fase memiliki tugas perkembangan yang berbeda antara orang satu dengan lainnya; bahkan kembar sekalipun akan memiliki perbedaan yang sangat kontras.

Manggilingan yang dalam terjemahan bebasnya juga sering dimaknai berputarnya kehidupan. Perputaran itu sendiri juga memiliki ritme atau naik turunnya kehidupan yang berbeda antara manusia satu dengan manusia lainnya. Kadang di atas, atau posisi puncak, terkadang juga di bawah. Semua itu ketetapan itu adalah hak mutlak dari yang memiliki hidup ini, yaitu Sang Maha Pencipta.

Adapun tahapan Cakramanggilingan tersebut memiliki fase sebagai berikut: Konsep mengenai Cakramanggilingan siklus kehidupan manusia sebagaimana terurai dalam Tembang Macapat sejak dilahirkan sampai meninggal dunia. Siklus kehidupan manusia di dunia ada 11 tahap, yaitu : 1. Mijil (fase kelahiran si jabang bayi atau anak manusia di muka bumi, mendudukkan posisi anak secara benar); 2. Sinom (fase remaja, pentingnya akhlak & tranformasi ilmu pengetahuan); 3. Asmarandana (fase yang dipenuhi asmara, filosofi, teologi, dan simbol cinta); 4. Kinanthi ( fase kehidupan perkawinan, bobot-bibit-bebet prasyarat perkawinan) ; 5. Dhandhanggula (fase suka duka kehidupan berumah tangga, manungsa utama menjaga keselarasan lahir batin) ; 6. Maskumambang (fase dimana manusia akan menghadapi keadaan yang pelik dan sulit, mawas kepalsuan di sekitar kita).

Lalu 7. Durma (fase meninggalkan masa kemewahan, antisipasi keraguan dengan mengendalikan nafsu); 8. Pangkur (fase menatap masa depan lebih cerah) ; 9. Gambuh ( fase tua untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, menapaki perjalanan ke puncak spiritual) ; 10. Megatruh (fase terputusnya roh dari jasad manusia, bercita-cita menggapai husnul khotimah) ; 11. Pocung (fase kematian, 3 bekal utama yaitu ilmu, amal jariah dan anak shalih).

Inilah tugas kehidupan manusia di dunia yaitu Memayu Hayuning Bawana (melestarikan dan memakmurkan bumi seisinya) hingga akhir hayat. (diunduh 30 Agustus 2021 Pk. 14.00).

Menyimak kesebelas fase di atas, tampak sekali bahwa semua kita akan mengalami tingkatan fase itu; namun bukan berarti semua manusia hidup semuanya begitu; karena bisa jadi ada yang baru pada fase pertama, kemudian ditutup dengan fase terakhir; demikian juga bisa jadi baru pada fase tertentu, kemudian lompat pada fase terakhir. Tampaknya dari kesebelas fase itu; fase pertama dan terakhir adalah mutlak adanya, yaitu yang pernah lahir pasti akan mengalami mati.

Berdasar pada uraian di atas memunculkan pemahaman bahwa masing masing fase itu memerlukan waktu. Lalu waktu itu sendiri apa ? apakah bermula atau tidak bermula ?. di sana pergulatan filsafat akan muncul dengan sendirinya. Triyono Guntur dalam satu tulisannya (diunduh 30 Agustus 2021 Pk. 14.50); menyatakan: apakah waktu itu bermula atau tidak bermula. Kalau waktu tidak bermula berarti ada sesuatu yang menyaingi atau menyamai Sang Pencipta — dan itu jelas tidak mungkin. Jika waktu itu bermula berarti ada masa kosong sebelum adanya waktu. Dan untuk menjadi ada waktu perlu waktu juga. Dari yang semula tidak ada waktu menjadi ada waktu juga butuh waktu. Dan di situlah paradoks tentang kebermulaan waktu yang menjadi perdebatan filosofis tentang waktu yang membingungkan. Di sini tampak sekali kelemahan manusia dalam menembus waktu dalam pengertian metafisika, karena itu wilayah keilahian yang tidak mampu kita tembus dengan kekuatan berfikir kita.

Oleh karena itu, adanya adagium “sesuatu itu akan indah pada waktunya” merupakan anak berfikir dari segala sesuatu yang ada di dunia ini diciptakan dengan ruang batas waktu masing masing, kapan berawal dan kapan akan berakhir. Ketetapan “akan” itu hanya dimiliki oleh Sang Maha Pencipta sebagai pemilik waktu.

Dalam tulisan yang sama Triyono Guntur menambahkan dalam dunia fisika relativistik, Albert Einstein menjelaskan adanya dilatasi waktu. Karena yang menjadi acuan waktu kita di bumi adalah perputaran bumi terhadap matahari. Maka jika kita bisa lebih cepat dari waktu edar bumi terhadap matahari umur kita akan jauh lebih muda. Akibat adanya lengkungan massa maka waktu juga berbeda-beda tiap planet.

Namun, ternyata hipotesis itu tidak bisa menemukan jawaban dari isi graduaasi waktu dari masing masing mahluk yang ada. Contohnya kapan kita akan kena musibah, kapan kita akan mendapatkan berkah, kapan kita akan bahagia, kapan kita akan susah. Jangkauan ilmu pengetahuan dan filsafat tidak mampu menembus untuk menjelaskannya.

Jadi,  benarlah adanya bahwa tidak ada ulang tahun kelahiran; justru yang ada peringatan bahwa kita setiap waktu akan menuju garis kematian. Kemampuan mengisi antara keduanya; adalah “kecerdasan hidup” yang perlu kita kedepankan.***