“Boarding pas” Trigana Air. (Ikustrasi/ IST) |
JAYAPURA–Sembilan penumpang pesawat Trigana Air yang jatuh di sekitar Oksibil pada 16 Agustus lalu, ternyata namanya tak ada dalam manifest penerbangan pesawat ini. Mereka menggunakan tiket atas nama orang lain. Diduga kuat, sembilan penumpang ini mendapatkan tiket dari calo.Calo tiketnya diduga karyawan Trigana Air.
Direktur Operasional PT Trigana Air, Benny Sumaryanto, menyatakan, perusahaannya akan memecat karyawan yang terlibat dalam percaloan tiket, terkait kejatuhan pesawat terbang ATR 42-400 dengan nomor penerbangan PK YRN, Minggu lalu (16/8), di Oksob, Pegunungan Bintang.
“Kami sudah melakukan penyelidikan secara internal setelah adanya laporan nama penumpang yang menjadi korban tidak sesuai manifes,” tegas Sumaryanto, di Jayapura, Jumat (21/8/2015).
Ia mengatakan karyawan yang diduga terlibat dalam kasus percaloan itu tiga hingga empat orang.
Dari hasil penyelidikan yang dilakukan secara internal memang ditemukan ada oknum yang menggunakan KTP-nya untuk membeli tiket yang nantinya digunakan calon penumpang. Dia menambahkan, KTP-KTP asli tapi palsu itulah dipakai oknum untuk menjual tiket sehingga manifes dan penumpang yang terbang berbeda.
Namun benarkah hanya tiga atau empat orang yang terlibat dalam praktik percaloan tiket maskapai ini?
Praktik percaloon maskapai ini bukan baru terjadi saat pesawat Trigana IL267 terbang dan jatuh. Praktek ini sudah berlangsung lama dan bukan hanya di bandara Sentani saja. Sebagian masyarakat yang pernah menjadi penumpang pesawat milik Trigana mengaku bisa mendapatkan tiket yang sudah ada nama penumpang lain melalui karyawan Trigana di Bandara Sentani. Sebagian lagi bahkan mengaku tak pernah membeli tiket Trigana secara resmi karena pihak Trigana selalu mengaku tiket telah habis.
“Tapi pas kita keluar dari kantor mereka, ada yang bilang masih ada tiket, tapi punya orang,” kata seorang mahasiswa asal Pegunungan Bintang yang ditemui di Bandara Sentani.
Mahasiswa lainnya yang berasal dari Wamena, menyebutkan di Wamena, tiket Trigana malah dijual oleh tukang becak dan tukang ojek yang mangkal di Bandara Wamena.
“Coba tanya saja dari mana mereka dapat tiket-tiket itu, pasti dari orang dalam Trigana sendiri. Harganya juga sampai dua tiga kali dari harga normal,” ujar mahasiswa asal Wamena ini.
Awal tahun lalu, masyarakat yang berniat terbang dari Wamena ke Jayapura bahkan nyaris menduduki runway bandara Wamena sehingga jadwal penerbangan sempat tertunda. Akibatnya penerbangan pertama Trigana dari Jayapura ke Wamena harus kembali ke Sentani, karena situasi yang tidak memungkinkan.
Selain itu, para calon penumpang, hampir tiga jam lamanya mengamuk di kantor Trigana. Sehingga pihak kepolisian dari KP3 udara Bandara Wamena turun tangan untuk mengamankan situasi. Penyebabnya aksi masyarakat ini karena kesal dengan harga tiket maskapai penerbangan Trigana yang melambung tinggi dan beredar di tangan para calo sehingga sulit didapatkan.
Dalam kesempatan yang sama, dikutip Kantor Berita Antara, Direktur Operasional Trigana Air Benny Sumaryanto mengatakan petugas Trigana Air menerima tiket saat penumpang check in beserta identitas yang sudah diterima sesuai dengan data manifest dan KTP.
“Setahu saya, dari kami biasanya para penumpang harus datang dengan tiket dan KTP. Sebab, area Trigana saat check in lewat counter sama dengan maskapai lainnya yang juga lewat counter masing-masing.” kata Benny.
Pernyataan ini berbeda dengan kenyataan yang menimpa sembilan penumpang pesawat naas yang tak ada dalam manifest penerbangan.
“Kakak saya pakai tiket atas nama Petrus Takege. Kalau memang di cek KTP saat lewat counter, kenapa kakak saya bisa lewat. Kan tiketnya atas nama Petrus Takege, bukan John Gasperz,” kata Corry Gasperz, adik dari John Gasperz yang menjadi korban pesawat naas itu.
Victor Mambor/tabloidjubi.com