Catatan Akhir Tahun 2016 AJI: Dalam Tekanan Rezim, Kekerasan terhadap Jurnalis Meningkat

Ketua AJI Indonesia, Suwarjono (kiri) dan Sekjen AJI, Arfi Bambani (Foto: suara.com)
Bagikan/Suka/Tweet:
Sekda Provinsi Lampung, Arinal Djunaidi (baju safari), meminta maaf kepada jurnalis, Rabu (20/4).
Sekda Provinsi Lampung, Arinal Djunaidi (baju safari), meminta maaf kepada jurnalis, Rabu (20/4/2016).

TNI yang selama Orde Baru menuai kritik karena terlibat dalam urusan sipil (juga politik) dan cenderung melakukan security approach sebagai cara menyelesaikan persoalan, menunjukkan kembali gejala serupa. Seperti dalam kasus pengeroyokan di Medan, hal itu gamblang terlihat. Demonstrasi yang dilakukan warga sipil untuk menuntut penyelesaian hak-haknya, direspon dengan “keliru”, dan berakhir dengan bentrokan. Jurnalis yang saat itu ada di lokasi untuk merekam semua kejadian itu, justru menjadi sasaran kemarahan anggota TNI.

Hal yang sama terjadi dalam kasus Madiun dan Malang, Jawa Timur, Palu Sulawesi Tengah dan DKI Jakarta. Di Madiun, Jurnalis Net TV yang mengabadikan momen penertiban lalu lintas (yang disertai dengan pukulan dan tendangan) oleh aparat TNI pada masyarakat sipil setempat, justru berbalik mengeroyok jurnalis .

Begitu juga di Malang, provinsi yang sama. Peristiwa kecelakaan pesawat latih TNI di lingkungan sipil, yang membuat TNI merasa perlu melakukan penjagaan. Ujungnya, hal itu berbuah perampasan alat-alat kerja jurnalis yang melakukan peliputan itu. Dalam kasus ini, TNI AU mengaku bersalah dan sudah bersedia minta maaf. Namun, hal itu jauh panggang dari api. Pengakuan bersalah harusnya diteruskan dengan pengusutan tuntas secara hukum positif Indonesia.

Namun, ketika TNI membawa persoalan ini di muka hukum, problem belum juga berakhir. Dalam kasus Madiun misalnya, AJI menilai ada ketidakseriusan. TNI tidak cukup transparan dalam proses penyidikan kasus-kasus itu. Padahal, transparansi menjadi salah satu cerminan kesungguhan dalam menyelesaikan kasus kekerasan pada jurnalis. Semakin tertutup proses penyelesaian kasus, maka publik semakin kesulitan melakukan proses pemantauan kasus.

Sekjen AJI Indonesia, Arfi Bambani, mengatakan kekerasan terhadap jurnalis terus terulang salah satu penyebabnya tidak ada penegakan hukum terhadap para pelaku.

“Dari 78 kasus yang terjadi sepanjang tahun 2016, tidak ada satupun kasus yang diproses hukum hingga dibawa ke pengadilan. Termasuk kasus-kasus kekerasan yang dilakukan aparat penegak hukum; baik dilakukan oleh TNI, polisi, satpol PP, aparat pemerintah hingga warga,” kata Arfi.

AJI Indonesia menilai kepolisian telah gagal melindungi kebebasan pers, kebebasan berekspresi dan kebebasan berpendapat. Dua tahun berturut-turut polisi menjadi pelaku kekerasan terbanyak kedua setelah warga. AJI pada perayaan Hari Kebebasan Pers Dunia tahun 2016 lalu menetapkan polisi sebagai musuh kebebasan pers 2016 setelah sebelumnya, 2015, penghargaan serupa juga disematkan kepada korps baju coklat ini.