Catatan Akhir Tahun 2016 AJI: Dalam Tekanan Rezim, Kekerasan terhadap Jurnalis Meningkat

Ketua AJI Indonesia, Suwarjono (kiri) dan Sekjen AJI, Arfi Bambani (Foto: suara.com)
Bagikan/Suka/Tweet:

Semua persoalan itu diawali dengan penetapan UU ITE hasil revisi yang sudah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah RI, pada 27 Oktober 2016 dan mulai berlaku pada 28 November 2016. Dalam UU hasil revisi itu, ada 4 (empat) perubahan mendasar. Yakni: Penambahan pasal 26 tentang hak untuk dilupakan atau the right to be forgoten. Penambahan ayat baru di pasal 40 tentang penambahan kewenangan pemerintah menghapus dokumen elektronik, bila dinilai menyebarkan konten informasi yang dinilai melanggar UU. Penegasan tafsir tentang Pasal 5 yang menjelaskan dokumen elektronik bisa menjadi alat bukti yang sah di pengadilan. Dan yang terakhir menyangkut pemotongan masa hukuman dan denda, diturunkan dari paling lama 6 tahun menjadi 4 tahun.

Terkait kebebasan pers dan kebebasan berekspresi, hadirnya poin 2 (dua) revisi UU ITE terbukti menjadi penyebab ditutupnya media mainstream, SuaraPapua.com. Website berita itu dinilai menyebarkan informasi yang dianggap melanggar undang-undang, pornografi, SARA, terorisme, pencemaran nama baik, dan lainnya. AJI mengecam keras kebijakan Kemenkominfo ini. Bagi kami, pemblokiran itu merupakan tindakan bredel terhadap media pers, dan melanggar ketentuan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

AJI secara terbuka mempertanyakan dasar penilaian Ditjen Apinfo untuk memblokir ataupun meminta pemulihan akses sebuah situs. Apalagi, SuaraPapua.com adalah situs yang dikelola para jurnalis profesional, yang memang kritis menyuarakan ketimpangan pembangunan, berikut kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia di Papua. Apakah itu menjadi dasar untuk bredel dengan cara pemblokiran akses? Pemblokiran SuaraPapua.com membuktikan pelaksanaan wewenang Ditjen Apinfo untuk menilai kandungan sebuah situs telah menyimpang dari prinsip perlindungan kebebasan berekspresi maupun pembatasan yang diatur Konvenan Sipil dan Politik, sesuai pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).

AJI menyadari, karakter medium internet yang bersifat seketika dan tanpa batas, maka pembatasan sebagai pelaksanaan aturan Konvenan Sipil dan Politik memang boleh diberlakukan seketika. Namun, harus ada mekanisme pengadilan untuk sesegera mungkin menguji, apakah penilaian pemerintah terkait sebuah situs menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan itu obyektif. Mekanisme uji oleh pengadilan penting, agar kewenangan negara untuk memastikan pelaksanaan kebebasan berekspresi mengikuti aturan Konvenan Sipil dan Politik tidak disalah-gunakan untuk kepentingan penguasa.