Oleh Syarief Makhya
Tahun 2023 dan 2024 di Indonesia akan dipenuhi dengan berbagai kegiatan politik yang krusial, mulai dari suksesi kepemimpinan di tingkat nasional dan daerah, pelaksanaan pemilu 2024, hingga penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2024-2045. Pilpres, pilkada, pergantian anggota Dewan, dan penyusunan RPJP adalah serangkaian kegiatan yang saling terkait dan akan berperan penting dalam menentukan masa depan Indonesiat
Masa depan Indonesia akan sangat dipengaruhi oleh kualitas dan integritas para pemimpinnya serta kapasitas serta integritas anggota Dewan dalam mengawasi kebijakan pemerintah. Kualitas ini tidak hanya berdampak pada kemajuan dan daya saing negara, tetapi juga pada keberlangsungan moral, penurunan ketimpangan pembangunan, pengurangan kemiskinan, dan pencegahan potensi disintegrasi negara. Kita menghadapi pilihan antara perbaikan yang berkelanjutan atau risiko kemunduran yang meluas.
Jadi, Indonesia akan lebih baik atau lebih buruk di masa depan salah satunya ditentukan dari kualitas pemilu; apakah pemilu legistatif, pilpres dan pilkada akan menghasilkan kualitas pemimpin yang memiliki karakter integritas yang kuat, memiliki visi untuk melakukan perubahan yang mendasar yaitu mengurango ketimpangan pembangunan, dan bisa mengatasi problema urusan-urusan publik yang mendasar; ataukah pemilu legistatif, pilpres, dan pilkada hanya sekedar agenda lima tahunan untuk memenuhi persyaratan formal berdemokrasi, dan memenuhi ambisi ambisi politik kepentingan elit kekuasaan, atau untuk kepentingan pragmatis sekedar memanfaatkan momentum politik dan kekuasaan untuk kepentingan memperkayan elte dan menduduki jabatan strategis.
Dalam cara pandang demikian, kegiatan politik seperti pemilu atau pilpress dan pilkada akan menentukan arah dan kebijakan pembangunan ke depan. Di sinilah esensi penting hubungan politik pembangunan, bahwa proses politik akan mempengaruhi masa depan pembangunan, baik di tingkat nasional maupun tingkat daerah.
Momentum pemilu legistatif, pilpres dan pilkada serentak yang akan berlangsung di tahun 2024 idealnya harus bisa mengantarkan kemajuan yang bermakna untuk mewujudkan Indonesia Emas di tahun 2045.
Meskipun harapan tetap ada, terlihat gambaran pesimisme karena faktor-faktor ketidakberhasilan yang berpotensi memengaruhi masa depan Indonesia, mengarah pada kondisi stagnan. Dalam studi masa depan, fenomena ini digambarkan dalam skenario pesimistis yang dapat diamati dari perkembangan kemajuan suatu negara.
Sebagai contoh, Indonesia, Korea Selatan, Singapura, dan Taiwan menggunakan model pembangunan yang serupa yaitu bergantung pada sumber pendanaan dari pinjaman luar negri. Namun, dalam kurun waktu 25 tahun Korea Selatan, Taiwan dan Singapur memiliki ekonomi yang kuat, infrastruktur yang berkembang, standar hidup yang tinggi, dan sektor teknologi yang maju. Selain itu, ketiga negara ini juga memiliki indeks pembangunan manusia (IPM) yang tinggi, menunjukkan tingkat pendidikan, kesehatan, dan standar hidup yang baik bagi warganya.
Sementara itu, Indonesia dalam periode yang sama masih menghadapi tantangan sebagai negara yang belum mencapai pertumbuhan ekonomi yang kuat. Masih ada kendala dalam menangani persoalan korupsi serta kesenjangan dalam pembangunan
Pesimisme Masa Depan
Skenario pesimis dalam studi masa depan merupakan pendekatan yang mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang dapat terjadi di masa mendatang. Namun, perlu dicatat bahwa skenario pesimis bukanlah ramalan pasti tentang masa depan; melainkan, merupakan alat untuk membantu dalam perencanaan dan antisipasi. Tujuannya bukanlah untuk menghapus kemungkinan-kemungkinan positif.
Beberapa peristiwa yang dapat terulang di masa depan, dilihat dari sudut pandang politik pembangunan, yaitu dominasi kontrol politik oleh kelompok oligarki. Hal ini berpotensi memengaruhi partai politik, pemerintah, aparat negara, dan lembaga penegak hukum, yang kehilangan kemandirian politiknya. Fenomena ini menjelaskan mengapa ketimpangan pembangunan terus berlangsung, sulitnya pencegahan korupsi dan nepotisme, kurangnya proses perdebatan dalam memutuskan kebijakan proyek-proyek strategis, ketidakmampuan anggota Dewan dalam mengontrol kekuasaan, dan lumpuhnya kekuatan masyarakat sipil. Semua ini terjadi karena sumber daya politik tidak merata dan dikuasai oleh para pemilik modal yang didukung oleh pemegang kekuasaan yang pragmatis.
Dampak dari pola hubungan ekonomi politik ini akan terus memperkuat model politik pembangunan yang timpang di masa depan. Memangkas politik pembangunan yang timpang adalah tantangan kompleks yang memerlukan pendekatan menyeluruh. Beberapa langkah yang bisa dipertimbangkan untuk mengurangi ketimpangan tersebut antara lain: transparansi dan akuntabilitas pemerintahan, penegakkan hukum, kesetaraan akses, partisipasi masyarakat sipil dalam pengambilan kebijakan , pengendalian kekuasaan yang efektif dan pembangunan ekonomi yang inkusif sangat relevan untuk diimplementasikan ke depan.
Langkah-langkah tersebut dapat membantu merampingkan ketimpangan politik pembangunan yang ada. Namun, perubahan ini memerlukan komitmen dan perjuangan yang kuat khususnya bagi kekuatan masyarakat sipil, kelompok masyarakat kritis dan akademisi untuk secara terus menerus melakukan kontrol terhadap jalanya kekuasaan Negara dan menawarkan gagasan-gagasan alternatif kebijakan. .
*) Dr. Syarief Makya, M.Si, Analis Pemerintahan, FISIP Universitas Lampung