Opini  

Catatan Hukum Tentang ‘Lockdown’

Bivitri Susanti. Foto: sindonews.com
Bagikan/Suka/Tweet:

Bivitri Susanti

Sejak kemarin, media memberitakan, pemerintah akan segera membuat Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, supaya bisa ada koordinasi yang baik kalau harus lock down. Mungkin timbul pertanyaan: Mengapa perlu peraturan? Mengapa tidak langsung saja ada instruksi untuk lock down?

Lock down  tidak bisa hanya berupa instruksi supaya orang diam di rumah saja. Karena banyak orang yang harus keluar untuk kerja untuk bisa makan, bayar cicilan, juga untuk ongkos ke dokter bila kena gejala terinfeksi virus corona atau Covid-19, bahkan sekadar untuk beli pulsa untuk telepon Dinkes kalau harus dijemput karena gejala yang parah. Kalau kita sekarang ini sudah ada kelonggaran waktu lapor pajak, kelonggaran bayar tagihan, dll, itu sebenarnya bagian dari kebijakan yang dibutuhkan agar masyarakat tetap bisa survive dengan kondisi yang tidak menentu itu.

Lock down merupakan kebijakan yang sebenarnya jauh lebih besar spektrumnya dari yang sudah saya sebut. Karena pemerintah harus bisa menjamin agar hak-hak warga terpenuhi. Kalau kita lihat bagaimana ada paket-paket stimulus sampai jutaan euro di Jerman atau jutaan dollar di Amerika Serikat, atau jangan jauh-jauh, juga di negara tetangga kita, Malaysia, itu tujuannya untuk memenuhi hak-hak warga tadi.

Kenapa? Karena, misalnya, pemerintah tidak bisa langsung memerintahkan semua perusahaan untuk meminta warganya kerja di rumah, karena perusahaan juga pasti tidak mau rugi untuk tetap membayar gaji karyawannya padahal mereka produktivitasnya tidak bisa dikontrol dan bahkan ada pekerjaan yang harusnya tidak di rumah, tetaou mereka  dirumahkan karena diwajibkan pemerintah.

Kalau pemerintah tidak memberi insentif, yang akan terjadi adalah: karyawan-karyawan yang kerja di rumah itu, tidak akan digaji. Ini baru “pekerja kerah putih” alias kantoran. Bayangkan “pekerja kerah biru”, seperti buruh di pabrik atau satpam kantor, dll, yang jenis pekerjaannya memang harus “ada di tempat.”

Perusahaan yang “rasional”, pasti harus memikirkan supaya cost mereka tidak ketinggian dengan tetap membayar “pekerja kerah biru” seperti itu. Akibatnya, mereka bisa dipecat. Coba bayangkan juga, pekerja yang outsourced atau alih daya atau berdasarkan kontrak sementara (mungkin istilah “bukan pegawai tetap” bisa lebih nyambung), sangat rentan akan kehilangan pekerjaannya. Kalau tidak diberi dana oleh pemerintah, akan terjadi PHK besar-besaran dan jutaan orang akan kehilangan pekerjaan. Bayangkan juga misalnya, kelas menengah yang tadinya punya ART (asisten rumah tangga), karena pendapatan berkurang, ART-nya dipecat. Bertambah lagi jumlah pengangguran di negara ini.

Lock down juga akan menyebabkan beberapa bahan pokok yang tadinya kita impor, tidak bisa masuk. Juga, distribusi berbagai bahan pokok ke seluruh pelosok negeri (negeri kita banyak sekali pelosoknya), akan terganggu (distribusi perlu sopir, perlu perusahaan distribusi yang bekerja, dst). Ini juga mesti dipikirkan oleh pemerintah. Belum lagi kesiapan berbagai layanan yang tetap harus ada, seperti perbankan dan asuransi, dan kebutuhan dasar (utilities) seperti listrik dan air. Kalau ini semua tidak dipikirkan, bisa kacau negara ini.

Kalau begitu, apa perlu UU baru (bahkan minggu lalu, sempat ada jurnalis yang bertanya: perlu Perppu? Tidak. Karena kita sebenarnya sudah punya UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. UU itu sudah mengatur jenis-jenis kekarantinaan kesehatan. Menurut UU itu, Kekarantinaan Kesehatan adalah upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat.

Kedaruratan Kesehatan Masyarakat adalah kejadian kesehatan masyarakat yang bersifat luar biasa dengan ditandai penyebaran penyakit menular dan/atau kejadian yang disebabkan oleh radiasi nuklir, pencemaran biologi, kontaminasi kimia, bioterorisme, dan pangan yang menimbulkan bahaya kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah atau lintas negara.

Kalau sudah ada “kedaruratan kesehatan masyarakat”, maka pemerintah bisa menyelenggarakan karantina di pintu masuk (pelabuhan, bandara, dll), karantina wilayah (rumah, rumah sakit, wilayah tertentu), dan Pembatasan Sosial Berskala Besar.

Ada yang bilang lock down itu karantina wilayah. Menurut saya, lock down masuknya ke “Pembatasan Sosial Berskala Besar” (PSBB). Sebab, kalau karantina wilayah hanya berkaitan dengan keluar-masuk orang (dan barang), kalau PSBB, “paling sedikit” (disebut di UU-nya, paling sedikit) meliputi:
a. peliburan sekolah dan tempat kerja;
b. pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau
c. pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitasi umum.

Kenapa harus ada dasar hukumnya? Supaya pemerintah (pusat dan daerah) nanti begitu mau menggunakan sumber-sumber daya (APBN, APBD, fasilitasi umum) dan menggunakan wewenang memerintahkan (memerintahkan warga negara, perusahaan-perusahaan, dll), dasar hukumnya jelas. Jadi tidak ada akibat-akibat seperti tindak pidana korupsi, pelanggaran HAM, dll. Pemerintah harus tunduk kepada hukum juga, tidak bisa “main ngasih perintah.”

Nah,  kuncinya adalah: harus ada dulu situasi “Kedaruratan Kesehatan Masyarakat” ini. UU 6/2018 itu baru memberikan aturan main dasar untuk PSBB, masih harus ada Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur lebih lanjut pelaksanaan UU 6/2018 ini. Kapan situasi “kedaruratan kesehatan masyarakat itu” bisa dikatakan terjadi sehingga pemerintah bisa menetapkan PSBB atau lock down, sehingga wajib membuat kebijakan-kebijakan yang saya sebut di atas? Itu semua belum jelas aturan mainnya, sehingga dikatakan di UU itu (Pasal 10) untuk mengaturnya dalam bentuk PP.

Bukankah sudah ada dengan pernyataan BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) waktu itu? Bukan itu. BNPB itu melaksanakan wewenang berdasarkan UU Penanggulangan Bencana. Supaya cepat tanggap alias responsif, memang bisa saja pakai UU Penanggulangan Bencana (UU 24/2007), karena ini termasuk bencana nonalam, tetapi untuk menanggulanginya secara lebih baik, sesuai dengan kebutuhan teknis karena ini memang soal kesehatan, lebih baik pakai UU yang mengatur kekarantinaan kesehatan.

Bukankah sudah ada Gugus Tugas COVID-19? Ya, betul, tetapi itu masih dalam skala kecil. Pertanyaan kita tadi muncul karena ada kemungkinan lock down. Bila mau lock down, wewenang Gugus Tugas itu masih kurang, karena kebijakannya harus masif seperti yang saya jelaskan di atas.

Apakah lockdown itu harus dalam skala nasional? Tidak harus. PSBB itu bisa dalam skala mana saja. Itu salah satu yang perlu diatur dalam PP nantinya.

PP nanti perlu peraturan pelaksanaan lagi? Saya belum tahu isi PP-nya seperti apa, tapi biasanya memang PP akan mengatur aturan main untuk pelaksanaannya, sedangkan penetapannya akan butuh keputusan, yang sifatnya lebih konkret (menyebutkan tempat, waktu, lembaga, dll). Kok rumit amat perlu aturan macam-macam? Jangan lihat “peraturan” itu sebagai undang-undang yang di benak kita mungkin isinya pasal-pasal larangan, sanksi, dll. Kebijakan itu juga keluarannya dalam bentuk peraturan atau keputusan. Intinya, semua kebijakan pemerintah itu harus bisa dipertanggungjawabkan dan jelas dasar hukumnya.***

*Bivitri Susanti, S.H., LL,M. adalah salah satu pelopor pendirian Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)