Opini  

Catatan Kecil di Sudut Muktamar NU: Dari Cipasung Hingga Lampung (1)

Dr. Najib Azca. Foto: ugm.ac.id
Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: M. Najib Azca*

Menjelang pelaksanaan Muktamar NU ke-34 di Lampung (yang tengah riuh oleh pro-kontra untuk diajukan atau dimundurkan), tiba-tiba saya terpantik untuk membuat catatan kecil tentang Muktamar NU ke-29 di Cipasung, Tasikmalaya, pada bulan Desember 1994. Itu Muktamar yang istimewa karena berlangsung ketika rezim ‘Orba’ memasuki fase ‘hamil tua’: fragmentasi di kalangan elite politik mengeras, muncul desakan politik kuat untuk menggusur Gus Dur dari puncak tampuk kepemimpinan NU karena tingkah politiknya yang tidak mau tunduk kepada Presiden Suharto dan “sulit dijinakkan”.

BACA: Catatan Kecil di Sudut Muktamar NU: Dari Sleman ke Lampung; Lewat Cipasung atau Situbondo?

Secara personal, ini Muktamar NU pertama dan satu-satunya yang kuikuti secara penuh dari awal hingga akhir. Pada Muktamar NU ke-28 di Yogyakarta pada 1989, aku hanya datang dan mengikuti acara sekilas saja. Demikian juga pada Muktamar NU lainnya. Karena itulah kenangan terhadap Muktamar NU Cipasung tergurat kuat dalam memori saya hingga kini.

Hadir sebagai Jurnalis Korban Bredel

Saya hadir dalam Muktamar NU Cipasung dalam status ‘setengah resmi’: sebagai jurnalis yang medianya sudah dibredel oleh pemerintah orba. Bahkan bukan hanya sekali, melainkan dua kali sehingga pangkat saya menjadi : korban bredel dobel!

Pada 21 Juni 1994, tabloid DeTIK tempat sata  bekerja (plus bermain dan bereksperimen, hehe!) bersama dengan Majalah Tempo dan Editor  dibredel oleh Menteri Penerangan Harmoko. Lalu pada 5 Oktober 1994, mingguan Simponi yang kami ambil alih kemudinya dan diterbitkan kembali dalam format baru sebagai tabloid politik di bawah pimpinan Eros Djarot, kembali ‘dibredel’ pada saat edisi perdananya terbit! (Menariknya,  peristiwa kedua ini tidak saya temukan jejaknya saat coba saya mencari lewat Google)

Demikianlah: saya hadir sebagai jurnalis korban bredel. Meski begitu, saya bisa mendapatkan kartu tanda pengenal sebagai “pers” yang berhak meliput penuh kegiatan itu. Tentu ini lantaran hubungan baik dengan panitia Muktamar Cipasung, khususnya dari Kubu Gus Dur.

Seingat saya, kami berangkat ke Cipasung dari Jakarta dalam sebuah rombongan konvoi mobil.  Saya satu mobil bersama dengan Syaifullah Yusuf, sesama mantan jurnalis korban pembredelan yang juga keponakan Gus Dur. Dalam konvoi tersebut juga ada mantan Pemred DeTIK  (Mas Erros Djarot) dan adiknya, Budi Djarot. Di mobil lainnya ada Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum DPP PDI yang baru terpilih dalam Kongres Luar Biasa (KLB) PDI di Asrama Haji Sukolilo Surabaya pada 1993. Terpilihnya Megawati tidak disukai oleh pemerintah dan melalui berbagai upaya hendak dijatuhkan.

Kami menginap di sebuah hotel kecil di dekat lokasi Muktamar NU. Jadi kami bisa berjalan kaki atau naik becak untuk menuju ke tempat acara. Seingat saya, saya menginap sekamar dengan Mas Eros dan Gus Ipul di sebuah kamar cukup besar yang memiliki teras kecil. Selama Muktamar, kamar kami kadang dipinjam untuk rapat aktivis muda NU, termasuk Muhaimin Iskandar dkk. Oh ya, Muhaimin juga sempat bergabung di tabloid DeTIK dan menjadi Kepala Litbang DeTIK, kemudian terpilih sebagai Ketua Umum PB PMII pada Muktamar di Yogyakarta pada tahun 1994.

Kasak-kusuk di kalangan pers cukup keras. Harian Republika yang dianggap sebagai ‘corong’ ICMI dan dan beberapa media lain yang ditengarai dekat dengan pemerintah, acap menurunkan berita bernada miring yang menyudutkan kepemimpinan Gus Dur. Akibatnya, aura ‘ketegangan’ juga merambat di kalangan jurnalis yang meliput selama berjalannya Muktamar Cipasung.

Gonjang-Ganjing Muktamar Cipasung

Apa yang istimewa dari Muktamar NU Cipasung 1994? Greg Fealy, doktor ilmu sejarah politik lulusan dari Universitas Monash yang kemudian menjadi dosen dan guru besar di Australian National University (ANU), membuat tulisan menarik bertajuk “Percikan Api Muktamar NU 1994: Abdurrahman Wahid, Suksesi dan Perlawanan NU atas Kontrol Negara” dalam buku berjudul Tradisionalisme Radikal; Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara (Editor Greg Barton & Greg Fealy, Penerbit LKiS, 1997).

Selama hadir di Muktamar Cipasung saya sering melihat duo Greg ini runtang-runtung di berbagai acara dan persidangan. Bahkan belakangan Greg Barton menjadi peneliti-yang-melekat (embedded-researcher) dengan Gus Dur ketika beliau menjadi Presiden dan menulis buku “authorized biography” tentang Gus Dur.

Menurut Greg Fealy, Muktamar Cipasung 1994 merupakan “muktamar paling kontroversial selama 69 tahun sejarah NU”. Ia menjelaskan aneka kontroversi tersebut sebagai berikut: adanya tuduhan jual-beli suara, ketidakteraturan prosedur, fitnah, laporan media massa yang bias, dan intervensi pihak eksternal dari kalangan pemerintah dan para aktivis NGO (Fealy, 1997, hal. 220).

Detik.com menurunkan sebuah Liputan Khusus mengenai Muktamar NU Cipasung 1994 belum lama ini bertajuk “Operasi Soeharto yang Gagal di Cipasung” (https://news.detik.com/…/Operasi-Soeharto-yang-Gagal…/). Tulisan detik.com menggambarkan suasana dalam Muktamar sebagai berikut: “Suasana tegang pun terlihat di sekeliling arena muktamar yang dijaga ketat sekitar 1.500 personel tentara dan 100-an intel, serta panser. Aparat keamanan tak berseragam bahkan ada yang menyamar memakai seragam Bantuan Ansor Serbaguna (Banser). Selebihnya memonitor aktivitas para delegasi dalam setiap agenda sidang.”

Sebagai organisasi massa Muslim beranggota terbesar di Indonesia, siapa yang bakal menjadi pemimpinan NU dan apa langkah yang akan ditempuhnya dianggap bakal berpengaruh penting dalam peta politik di Indonesia. Kita tahu belum lama berselang lahir organisasi Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) pada Desember 1990 yang diketuai oleh Prof. BJ. Habibie, Menristek dan orang kepercayaan Presiden Soeharto. Jamak diketahui Gus Dur termasuk salah seorang penentang kelahiran ICMI yang dianggapnya sebagai “organisasi sektarian”.

Jadi, demikianlah, menurut Fealy, kisruh politik yang terjadi pada Muktamar Cipasung tidak terlepas dari kebutuhan untuk memperjelas posisi dan peranan politik NU “atas semakin tidak jelasnya masalah suksesi presiden dan masa depan rezim Orde Baru” (hlm. 221). Dalam konteks dan konstelasi politik semacam itulah,  Gus Dur mencalonkan diri kembali sebagai Ketua Umum PB NU untuk ketiga kalinya—sesuatu yang tidak dikehendaki oleh rezim yang berkuasa.

Ihwal pencalonan dirinya yang ketiga sebagai Ketum PBNU yang sempat memantik kontroversi tersebut, Gus Dur sempat berujar kepada Greg Barton, pakar studi politik Islam Indonesia dari Universitas Monash. “Akan ada badai dan laut akan sangat berombak. Dan lebih dari pada sebelumnya, NU akan memerlukan seorang kapten yang berpengalaman,” ucap Gus Dur seperti ditulis Greg Barton dalam bukunya Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid (Equinox Publishing, 2002)

Salah satu bukti ketidaksenangan pemerintah terhadap Gus Dur adalah ‘penyingkiran’ dirinya pada saat acara Pembukaan Muktamar NU yang dilakukan oleh Presiden Soeharto. Meskipun masih menjabat sebagai Ketua Umum PBNU, Gus Dur tidak diberi tempat duduk di baris terdepan melainkan ditempatkan di baris ketiga di antara peserta Muktamar. Jelas sebuah keganjilan.

Seperti akhirnya kita semua tahu, meskipun digempur secara politik baik dari dalam maupun dari luar NU, Gus Dur terpilih kembali menjadi Ketua Umum PBNU periode 1994-1999. Sedang Rais Am kembali diduduki oleh K.H. Ilyas Ruhiyat dengan Wakil Rais Am K.H. Sahal Mahfudh. Dengan dukungan yang meriah dan gegap gempita dari ‘akar rumput’ NU, akhirnya Kubu Gus Dur berhasil menumbangkan Kubu ABG (Asal Bukan Gus Dur) meskipun dengan selisih suara yang relatif tipis dan penuh ketegangan. Bahkan setelah usai Muktamar Cipasung pun upaya untuk melengserkan Gus Dur dari pucuk kepemimpinan terus dilakukan oleh Kubu ABG dengan dukungan dari sebagian kalangan di pemerintahan maupun ABRI.

Oh ya, ada sedikit catatan: salah seorang tokoh kunci dari Kubu ABG adalah Abu Hasan, pengusaha kaya kelahiran Jambi yang memiliki jaringan bisnis luas dan hubungan baik dengan keluarga Soeharto. Meski tergolong pendatang baru, Abu Hasan memiliki pengaruh dan pendukung luas lantaran kiprah bisnisnya dan peranannya yang menonjol di lembaga Mabarrot (Kesejahteraan) NU yang dipimpinnya.
Lalu, apa makna dari drama politik dalam Muktamar NU Cipasung tersebut bagi NU dan Indonesia, khususnya pada periode yang acap disebut sebagai fase menjelang transisi politik demokratis (pre-transition period)?

Greg Fealy menulis berikut: “Dengan terpilihnya Abdurrahman Wahid dan berlanjutnya dukungan terhadap kepemimpinannya, NU telah menunjukkan kembali independensinya yang sekarang jarang dimiliki oleh organisasi social terkemuka di Indonesia. Independensi tersebut akan terus berhadapan dengan pasang surutnya kooptasi pemerintah terhadap Islam, yang ICMI merupakan contoh paling utama” (hlm. 237).

Lalu apa makna dan refleksinya bagi Muktamar NU ke-34 di Lampung mendatang? Apa makna dan refleksinya menjelang usia 100 tahun usia Jamiyah Nahdlatul Ulama yang akan tiba pada masa kepemimpinan NU yang terpilih dalam ajang Muktamar tersebut?

*Dr. Muhammad Najib Azca adalah warga Nahdliyin dan dosen senior di Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM)