Catatan Lara dari Sumatera

Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh Raudal Tanjung Banua*

Judul: Merobek Sumatra
Penulis: Fatris MF
Tebal: vii + 202 halaman
Penerbit: Serambi, Jakarta
Terbit: cetakan 1, 2015
ISBN: 978-602-290-038-2

Buku “Merobek Sumatera” karya Fatris MF (ilustrasi/Raudal Tanjung Banua)

Dalam perjalanan melintasi Sumatera,dari Medan ke Barus, lewat tengah malam saya terhantar di sebuah rumah makan kota kecil Dolok Sanggul, ibukota Kabupaten Humbang Hasandutan. Hal pertama yang membuat saya takjub bukanlah hidangan khas kota itu, sate dan gulai kuda, melainkan sebuah papan iklan rokok di tepi jalan. Tulisannya mencolok, menohok dada. “Jangankan Sumatera, Lima Benua pun Kami Tundukkan.”

Ketakjuban lantas berubah jadi antipati. Entah kenapa. Saya duga, karena nada meremehkan. Sumatera bukan medan ringan, Bung! Di Dolok Sanggul itu saja misalnya, orang masih mengandalkan kuda sebagai alat transportasi ke banyak huta (kampung) di pedalaman. Sejatinya itu tak bisa dipandang ringan, meski memang terlalu naif mengharap kesadaran itu tumbuh dari papan iklan.

Saya lupa apakah pernah menceritakan hal ini kepada Fatris MF, pejalan lintas budaya, penyuka puisi dan filologi, ketika beberapa kali bertemu dengannya. Yang jelas, saya cukup kaget menjumpai buku perjalanan perdananya terbit dengan judul menyentak, Merobek Sumatra (Serambi, Jakarta, 2015).
(Tulisan “Sumatera” tanpa huruf “e”—saya sendiri mempertahankan huruf “e”).

Saya senang tulisan Fatris yang bertebaran di pelbagai majalah dan surat kabar itu, terutama DestianAsia dan Koran Tempo, akhirnya terbit secara utuh, khususnya tentang Sumatera. Judul provokatif juga sah. Namun, ada yang kontradiktif. Semangat tulisan Fatris adalah semangat manusiawi dalam kalimat sastrawi, sesuai “statusnya” sebagai penyuka puisi, linguistik dan filologi.

Ia merangkai khazanah Sumatera dengan tekun, seolah sedang menyambung perca warna-warni menjadi selembar kain. Jadi, mestinya “Menjahit Sumatera”, alih-alih “merobek”. Karena itu, nuwunsewu, mengingatkan saya pada baliho di kota kecil pedalaman sana. Apa boleh buat.
Tentu tidak dengan sendirinya judul menjauhkan saya dari isi. Saya malah berhasrat mendekati buku ini dengan empati. Karena saya tahu sebelas tulisan, plus foto-foto M.Fadli dan Fatris sendiri (8 halaman berwarna), sejatinya sangat menantang, tanpa harus bernada garang.

Laut ke Gunung

Dua tulisan pembuka justru tidak langsung menghunjam jantung Sumatera yang diidentikkan dengan hutan dan gunung. Melainkan wilayah kepulauan, hal yang kerap dilupakan ketika orang bicara Sumatera. Ini lonceng baik buat dunia maritim Sumatera, ada tak ada ketok palu dari pemerintah Jokowi yang menjadikan laut sebagai “jembatan wacana”. Fatris terjun langsung, karena itu ia jeli menangkap detail dan merasakan denyut hidup tempat yang didatangi.

Dimulai dari Mentawai, dalam tajuk “Metamorfosis Bumi Sikerei”, kemudian berlanjut ke kawasan pantai timur. Dari Tumasik (Singapura) hingga pulau-pulau di propinsi Kepri seperti Belakang Padang dan Barelang (Batam-Rempang-Galang) yang terhubung jembatan besi warisan Habibie, dan akhirnya sampai ke penampungan pengungsi Vietnam ( 1979-1995).

Di Mentawai, Fatris mencatat, setidaknya pengunjung bisa dikategorikan dua macam, yakni kaum peselancar yang akan menunggang ombak terbaik di dunia dan pelawat etnograf yang akan menjumpai ikon-ikon klasik Mentawai semacam uma (kampung), titi (tato), sikerei (dukun). Fatris sendiri masuk golongan kedua, tapi dengan nilai bertambah-tambah: menelisik jauh ke balik apa yang dianggap eksotik. Bagaimana misalnya, sikerei, penyambung dunia batin orang Mentawai dengan leluhur—yang tercetak indah di kartu pos dan baju kaos—sesungguhnya terancam. Pewarisnya menyusut, seiring lenyapnya hutan hidup mereka. Begitu pula di Galang, kisah pilu manusia perahu direfleksikannya dengan narasi menyentuh dan pertanyaan kritis. Kisah pun universal, dan karena itu kita bisa memaknai, misalnya, untuk pengungsi Rohingya kini.

Dari pulau-pulau di barat dan timur, Fatris masuk ke jantung Sumatera: Gayo di dataran tinggi Aceh (hal.51), Danau Maninjau (hal.69), Sungai Batanghari (hal.79) dan “genah” (pemukiman) Anak Dalam di Sarolangun-Dharmasaraya (hal.99). Sampai di sini, entah kenapa diselingi satu tulisan yang membawa kita kembali ke laut, tepatnya ke pantai Padang (121). Lalu kembali ke pedalaman, “Lara Tawa Lunto” tentang kota tambang batubara yang dibangun kolonial dan kini berusaha bangkit setelah si emas hitam habis dikeruk.

Barangkali semacam pertalian, sebagaimana pada zaman kolonial jalur kereta pertama dibangun menghubungkan kedua kota itu, demi laju “mak itam” (kereta api pembawa batu bara) ke Emma Haven (kini Teluk Bayur). Dari Sawahlunto, kita dibawa lebih ke pedalaman lagi, yakni ke Danau Gunung Tujuh, di Kerinci, Jambi (hal.157). Lantas ke pantai lagi mengenang tragedi besar kemanusiaan: terbunuhnya Husein dalam Hoyak Tabuik 1 Muharam di Pariaman (hal.157) dan “Tsunami Sunyi Aceh” (hal.181).

Sayang, catatannya ke Pulau Cingkuk, Painan, tidak disertakan. Itu catatan perjalanan pertama Fatris yang saya baca, terkesan murni dan otentik. Lebih dari itu, dalam konstelasi sejarah Sumatera, pulau kecil tersebut tak bisa diluputkan karena pintu masuk kolonial ke Minangkabau.
Secara umum, Sumatera dalam buku ini berkisar pada empat propinsi saja: Kepri, NAD, Jambi, Sumbar. Bahkan separoh tulisan berlokasi di Sumbar, tempat si penulis tinggal. Lalu apa arti “perjalanan”?

Perjalanan, ternyata, tak hanya menyangkut jauh-dekatnya jarak, tapi bagaimana memaknai detil dan gerak. Kadang menulis yang dekat tidak mudah sebab kita merasa sudah akrab. Ini tantangan. Fatris berhasil mengangkat yang dekat-akrab itu seolah mengasah batu akik temuan dari ladang sendiri. Saya teringat Febrianti, jurnalis kota Padang yang rajin membuat catatan perjalanan seputar kampung-halaman, tapi selalu ada hal baru yang ia sajikan.

Dalam buku ini kita tersua hal yang demikian. Kita misalnya diingatkan kembali pada khazanah etnografi semcam titi, uma, sikerei, genah, jerenang, krueng atau urang rantai. Juga istilah kekinian seperti “orang terang” sebutan untuk orang luar di kalangan Anak Dalam, dan mereka percaya bahwa jika dipotret akan mempersingat umur. “Aman” untuk semua laki-laki dewasa di Gayo, “freelancer” untuk perempuan penghibur di Batam.

Di samping mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis dan filosofis, namun retoris , Fatris juga berhasil membuat peristiwa yang ia amati menjadi bernilai dimensional. Contohnya, mlangun, yakni upacara kematian di kalangan Anak Dalam. Mereka “merayakannya” dengan pergi mencari pemukiman baru, kadang butuh waktu selama berbulan-bulan. Tapi kini sudah tak mungkin dilaksanakan karena hutan sudah berganti kebun sawit. Hanya saja Fatris punya cara membangun ironi ke situasi kekinian: mlangun sebagai upacara untuk kematian hutan ulayat!

Yang tak kalah menarik, ada perjalanan Fatris tanpa tujuan, misalnya perjalanan ke Singapur, Batam dan pulau-pulau sekitar. Pun ke Gayo yang terkesan ikut ke mana angin berhembus—petualangan berbau naluriah. Sesekali tentu bagus, sebab bak kata pepatah Minang, jauh berjalan banyak dilihat, lama hidup banyak dirasai. Dan memang akhirnya, jangankan pembaca, si penulis pun berjumpa hal-hal tak diduga, tanpa rencana. Tapi hal yang sama rasanya terlalu lugu ketika ia percaya bahwa Jean dari Jerman, yang mengajaknya masuk hutan TNKS, mengajukan alasan,”Saya tidak tahu apa yang membuat saya begitu ingin ke Indonesia,” ucapnya (halaman 111); ah, kalau tidak ada berada masa’ tempua ‘kan bersarang rendah?

Sidik Jari 


Penulis perjalanan (travel writer) seyogianya punya sidik jari dalam tulisan-tulisannya. Itu membedakannya dengan orang lain yang notabene datang ke destinasi yang sama. Pertaruhannya adalah persfektif atau cara pandang, kemudian cara menceritakan atau mengisahkan. Karena itu, latar, plot, penokohan maupun gaya bahasa hadir memegang peranan.

Fatris berhasil mendayagunakan konvensi “sastrawi” itu sehingga ada sidik jari dalam setiap tulisannya. Bahasanya indah, menghanyutkan, menghantar kita ke lokasi cerita. Cristian Rahadiansyah, Pemimpin Redaksi DestinAsian Indonesia menyebutnya “teleportasi imajinasi”: kemampuan memindahkan imajinasi pembaca ke lokasi kejadian.

Simak misalnya: “Dari tepian Batanghari, perahu-perahu terlihat kecil bagai lalat di atas punggung naga. Tongkang-tongkang penambang pasir telah mulai mengepulkan asap kelabu ke langit sejak fajar bangkit. Sementara di tubir sungai, rumah-rumah panggung berdiri dengan tiang-tiang penyangga dari kayu. Atapnya genting tembikar kusam hampir sewarna dengan Batanghari.”(hal 83).

Dalam banyak bagian, Fatris layak membuat sastrawan cemburu. “Penciuman dan pendengaran mereka sangat tajam—kecuali terhadap bau badan karena mereka hampir tak pernah mandi,” tulisnya tentang Suku Anak Dalam. Lalu,“Kami tertidur di genah, tanpa lampu, tanpa sinetron.”

Narasi seperti ini bertebaran, kadang terasa “kebablasan” juga; terlalu indah untuk perjalanan yang tidak selalu indah! Dalam perjalanan di Kepri, misalnya, sense of prosaic Fatris dominan sekali. Semacam “tamasya bahasa” dalam prosa mutakhir kita.

Tapi plot yang tidak liner mampu mengimbangi. Ada yang lebih dulu menceritakan objek utama, lalu flash-back ke mana-mana. Atau melalui jalur referensi yang ditelusuri secara alamiah. Referensi masuk tanpa paksaan, terutama buku-buku klasik tentang Sumatera oleh Denys Lombard, Antony Reid hingga Cristin Dobin. Atau buku khusus seperti Mentawai oleh Charles Lindsey, Minangkabau (Muhamad Radjab), perdagangan Tionghoa di Jambi (W.P. Groeneveldt) atau Bahasa Tansi Sawahlunto (Esya Putri). Berbeda misalnya ketika membaca Menyusuri Lorong-lorong Dunia Sigit Susanto, kadang referensi tentang sastrawan dunia agak sesak, sesuatu yang bisa dilacak di luar konteks perjalanan. Referensi Fatris saya rasakan lebih menyatu dengan tubuh teks.

Tokoh juga tidak anonim, dari bapak, ibu, hingga anak-anak, semua “berdarah daging”. Bukan figuran atau tempelan. Ini mengingatkan saya pada Karim Raslan yang menghadirkan “tokoh-tokoh kecil” dalam bukunya Ceritalah Indonesia.

Hal yang membuat perjalanan Fatris terkesan romantis adalah kehadiran perempuan atau gadis hampir di semua bab. Strategi literer menjinakkan teks yang sarat duka lara? Boleh jadi. Dalam banyak bagian itu berhasil. Misalnya kehadiran Minarse, putri sekerei di Dusun Sakudei. Ia bercerita tentang “dua agama langit saling bersaing merebut hati penduduk” dan membakar uma. Mungkin karena bicara perkara berat dan disampaikan dengan tatapan nyala, berapi-api, sehingga tak jatuh melankolis.

Kenangannya pada Nguyen, protetipe “manusia perahu” Vietnam, yang ia baca pada sebuah novel, menghidupkan narasi pulau Galang. Atau Rita, perempuan 30-an berkulit coklat terang, menyanggul rambutnya seperti Cut Nyak Din, lalu sibuk dengan peran domestik di Gayo sana. Sementara gadis-gadis “freelance” Batam, yang tiap sebentar lewat di depan kamar kost tempat Fatris numpang nginap, lebih menerbitkan rasa iba ketimbang birahi, atas efek industrial pulau berjuluk
“Kalajengking” itu.

Tapi di bagian lain, pola ini terlalu romantik. Bagaimana misalnya ia dilayani secara istimewa oleh gadis Melayu penjaga warung di Belakang Padang. “Bidadari Melayu” itu mengajaknya naik perahu segala, keliling pulau-pulau kecil di Selat Malaka, bahkan memaksanya menginap di rumah tetangga. Ada nona bule cantik berambut pirang, Jana Harustakova, minta ditemani masuk Taman Nasional Bukit Duabelas. Ada Rara, pelancong dari Jakarta, yang tiba-tiba saja akrab dengannya di “makam” Siti Nurbaya. Ada pula Lia, gadis “kiriman” Tuhan saat malam-malam di sebuah pesta rakyat Sawahlunto. Seromantis itukah? Atau, “seberuntung” itukah?

Nada Dasar 

Nada dasar tulisan Fatris adalah kemurungan, sarat duka-lara, tingkat lanjutannya: kekalahan. Ini terkait nasib orang-orang yang ia jumpai di kawasan-kawasan tersingkir atau dipinggirkan. Sebentuk pertarungan tradisionalitas vs modernitas, yang selalu saja memunculkan industri-kapital sebagai pemenangnya.

“Profesi” sikerei tak lagi diminati anak-anak muda Mentawai seiring rusak binasanya hutan ulyat mereka ditebas pemegang HPH. Setali tiga uang dengan nasib Suku Anak Dalam: hutan sebagai semesta mereka punah digasak kebun sawit. Nasib kaum urban diharu-biru industri Batam. Bumi Jambi diaduk para penambang. Gayo ditinggalkan pelancong, lalu ditinggalkan penghuninya demi ekonomi lebih baik. Nasib sedih Sawahlunto pasca-tambang serta kisah pilu NAD yang dihantam tsunami di tengah konflik GAM-TNI.

Namun selalu ada harapan, senantiasa harapan. Tak hanya dari hal besar seperti damai di NAD, berakhirnya perang Vietnam, Sawahlunto yang berhasil merintis wisata tambang, juga dari modus yang khas—sebagai sidik jari Fatris: gelak-tawa!

Ya, gelak-tawa di mana-mana, dipancarkan tokoh-tokoh kecilnya yang bersahaja. Hampir di setiap bagian selalu ada kata “tawa” atau kalimat yang mengungkapkan laku esensi manusia itu. Ada tawa di dalam gelap uma (hal.14), tawa pascatsunami (hal.53), tawa di warung kopi Gayo (hal.65), tawa di acara barakik-rakik Danau Maninjau (hal.77), tawa anak-anak dan perempuan di genah (hal.103, 105, 113), tawa anak-anak berangkat sekolah dan laki-laki pulang melaut di Muara Padang (hal.125, 129), tawa gadis dan bujang di Danau Gunung Tujuh (hal.167) hingga tawa berderai orang-orang berbagai usia di warung kopi Banda Aceh yang selalu ramai (188).

Tawa yang terbit di tengah rangkaian catatan cerita lara, betapapun sederhananya, saya rasakan sebagai matahari kecil yang terbit di tengah semesta dan derita manusia.

* Sastrawan