Catatan Lengkap Sahabat Munir Menjemput Jenazah Munir di Bandara Schipol

Bagikan/Suka/Tweet:
Munir (dok)

JAKARTA, Teraslampung.com — Sri Rusminingtyas sangat terkejut begitu mengetahui sahabatnya, Munir Said Thalib tewas di pesawat dari Jakarta menuju Belanda. Semula, ia berencana melepas rindu dengan sang sahabat setelah lama tak bertemu. Nyatanya, Sri hanya bisa bertemu dengan jenazah Munir di Bandara Schiphol, Ansterdam.

Munir tewas terbunuh 7 September 2004. Aktivis HAM itu tewas diracun saat terbang ke Belanda menggunakan pesawat Garuda Indonesia GA 974 tujuan Amsterdam. Di Belanda, Munir ingin meneruskan kuliah S2 bidang Hukum Humaniter di Universitas Utrecht.

Sri tahu Munir akan ke Belanda dari Poengky Indarti, yang sekarang adalah Direktur Eksekutif Imparsial, sekaligus sahabat dekat Munir di Jakarta. Dia ‘ngotot’ ingin menjemput Munir di Schiphol, sekaligus ingin memberikan cetakan foto pernikahannya bersama Leo Fontijne, suaminya yang seorang Belanda.

Sri adalah orang yang pertama kali melihat dan mengurusi jenazah Munir di Bandara Schiphol. Bahkan berkat Sri pula, jenazah Munir langsung diotopsi begitu sampai bandara. Dari situ diketahui kalau Munir mati diracun arsenic. Institut Forensik Belanda menemukan jejak-jejak senyawa arsenikum setelah melakukan otopsi.

Butuh waktu 5 tahun untuk Sri bisa menuliskan ceritanya secara runut dalam sebuah tulisan singkat. September 2009, Sri menuliskan detil peristiwa sampai percakapan terakhirnya dengan Munir. Catatan itu lantas disimpan oleh Imparsial.

Berikut cerita lengkap saat-saat Sri menjemput jenazah Munir di Schiphol:

TERIMAKASIH MUNIR, ENGKAU SUDAH MEMBERIKAN LEBIH DARI CUKUP KEPADA BANGSA


KAMIS, 9 SEPTEMBER 2004
Tuna bread itu sudah tidak ada di atas kulkas. Mungkin Leo sudah membuangnya. Tuna bread yang seharusnya dimakan oleh Munir tapi dia tidak sempat memakannya karena dia sudah meninggal saat aku temui di Schiphol…….
Kilas balik…..


JUMAT, 3 SEPTEMBER 2004
Aku dapat informasi dari Poengky kalau Munir akan tiba di Belanda tanggal 7 September. Poengky bilang: “Aku titip Munir yo mbak….tenan lho (bener lho), aku titip dia. Kalau ada apa-apa tolong dibantu ya…” “Yo…jangan khawatir……..”


SENIN, 6 SEPTEMBER 2004 
Pagi hari:
Aku telpon Munir di HPnya (0811990568):  “Cak sampeyan kuwi jan-jané sido opo ora sesuk nang Londo, kok ora ono kabare (Cak, anda ini jadi nggak besok ke Belanda kok nggak ada kabarnya)”


“O….sido…sido….. (O…jadi….jadi….)”


“Terus sidane numpak opo? KLM opo Garuda? (Terus jadinya naik apa? KLM atau Garuda?)”


“Aku sidane numpak Garuda…..(aku jadinya naik Garuda)”


“Nek ngono, aku mbok di-sms, nomor penerbangane, terus jam piro mendarat nang Schiphol….(kalau gitu mbok aku di-sms, nomor penerbangannya dan jam berapa mendarat di Schiphol)”


“Iyo engko tak sms yo…..(Iya, nanti aku sms)”


“Oh yo, ojo lali ijazah ku lho yo……(Oh ya, jangan lupa lho ya ijazahku)” Aku memang titip ijazahku yang ketinggalan di Indonesia supaya dibawa Munir ke Belanda.


“Ora lali aku, wis tak cepakke nang tas….(Aku nggak lupa, sudah aku siapkan di tas)”


“Maturnuwun ya Cak. Sampai ketemu ya…..ati-ati” 


Sekarang aku berpikir kenapa waktu itu (bahkan jauh-jauh hari sebelumnya), Poengky betul-betul pengin memastikan bahwa aku akan menjaga Munir, kenapa dia sampai titip Munir ke aku. Kalau dipikir-pikir, Munir adalah orang yang sangat independent. Blebar-bleber terbang ke luar negeri sendirian, nggak pake acara dijemput segala. Selain itu network dia di Eropa (bahkan juga di Amerika, Australia dan negara-negara lain di dunia ini) jauh lebih banyak daripada aku yang jarang kemana-mana. Lha kok sekarang aku malah dititipi seseorang yang jauh lebih mandiri daripada aku. 


Catatan: ketika aku ketemu Poengky lagi setelah Munir meninggal, Poengky cerita kalau Munir malah ngetawain aku di depan Poengky karena aku akan menjemput dia. Munir bilang ke Poengky:


“Mbak Sri kuwi wis dadi wong Londo ta? Kok ndadak methuk aku barang nang Schiphol…..” (Mbak Sri itu sudah jadi orang Belanda to? Kok pake jemput aku segala di Schiphol…..)


“Pokoke sampeyan kudu dijemput sama mbak Sri. Sampeyan wis tak titipke mbak Sri……Ora usah kakehan omong…..” (Pokoknya kamu harus dijemput mbak Sri. Kamu sudah aku titipkan mbak Sri……ngga usah banyak bicara….).


Munir menganggap itu lucu. Dia cerita kalau dia pernah cuma dikasih peta dan karcis oleh organizer dan berdasarkan peta tersebut dia bisa kemana-mana sendirian, nggak perlu diantar jemput segala waktu dia harus ke Eropa. Lha kok sekarang dia harus dijemput segala. Tapi Poengky tetap ngotot kalau Munir harus aku jemput di Schiphol. Aneh juga kalau dipikir kan? Mungkin ini semua sudah diatur Tuhan. 


Setelah selesai ngomong di telpon dengan Munir, aku kemudian turun ke ruang bawah karena ada pekerjaan yang harus aku selesaikan. Beberapa menit kemudian HPku yang aku letakkan di kamar atas berbunyi. Aku heran, biasanya kalau aku sedang di bawah, aku nggak dengar kalau HPku berbunyi. Maklum HPku tipe ME 45 ini kalau bunyi sangat pelan, jadi sering sekali aku nggak tahu kalau dapat sms. Tapi heran, kenapa pada saat itu aku bisa mendengar bunyi HPku? Apakah Tuhan ingin memastikan bahwa aku menerima pesan Munir? 


Aku kemudian naik ke atas dan membaca sms yang ditulis oleh Munir. Sayang HPku ilang, jadi pesan terakhir Munir tersebut ikut hilang. Isinya adalah bahwa dia akan naik Garuda dan mendarat di Schiphol hari Selasa tanggal 7 September 2004. Dia juga tulis arrival time nya. 


SENIN, 6 SEPTEMBER 2004 


Malam hari:
Leo dan aku melihat foto-foto pernikahan kami yang sudah di-upload oleh Leo di komputer. Salah satu yang kami lihat adalah foto kami bersama Munir sekeluarga beserta teman-teman Kontras yang waktu itu datang ke pernikahan kami. Kebetulan kami menikah bulan Juni tahun yang sama, jadi ingatan kami masih segar dengan kehadiran teman-teman pada waktu pernikahan kami. 


Aku cerita sama Leo kalau Munir adalah seorang human rights activist yang hebat. Aku ceritakan perjuangannya, aku ceritakan sisi manusiawinya Munir seorang manusia dengan kelebihan dan kelemahannya, tapi yang jelas bagiku dia orang yang berani berjuang melawan tindak kekerasan, membela yang lemah, berani untuk berteriak bagi mereka yang voiceless…..


Leo sebetulnya belum begitu mengenal teman-temanku. Banyak yang dia temui pada saat pernikahan kami termasuk Munir. Dari foto tersebut Leo bisa mengamati Munir dengan seksama. 


Aku usul sama Leo, bagaimana kalau nanti sudah di Utrecht (karena dia mau ngambil Masters nya di Utrecht), sekali-sekali kami tengok atau undang dia ke rumah kami mungkin untuk lunch atau dinner. Sokur-sokur kalau dia mau nginep di rumah kami. Leo bilang: 
“That’s a good idea……”


Bagi kami, Munir tidak saja seorang teman tapi juga asset bangsa sehingga harus dijaga. 


SELASA, 7 SEPTEMBER 2004


Pagi-pagi kami sudah bangun. Leo berjanji mengantarkan aku ke Rotterdam Centraal station supaya aku bisa naik kereta dari sana ke Schiphol airport. Sebelum berangkat, aku memanggang baguette dulu untuk aku bawa ke Schiphol. Bagguette itu kemudian aku isi dengan tuna. Aku pikir mendingan bawa sarapan dari rumah daripada beli di Schiphol mahal, selain itu kalau terlalu pagi belum tentu ada toko yang menjual makanan di Schiphol.


Aku bikin 4 tuna bread. Waktu itu aku berpikir, aku akan makan 2 biji dan sisanya akan aku berikan kepada Munir. Siapa tahu Munir males sarapan di pesawat, jadi lumayanlah untuk ngganjel perut sebelum dia meneruskan perjalanan ke tempat tujuan. Kalau dia nggak mau, ya tak emploke (ya aku makan/embat saja…).


Belum jam 6 pagi kami sudah berangkat ke Rotterdam Centraal Station. Leo nge-drop aku di samping stasiun. Dari sana aku beli karcis. Pada waktu itu aku sempat berpikir lebih baik beli tiket pp karena lebih murah. Tapi kemudian aku membatalkan niatku (dan ternyata kalaupun aku akhirnya beli karcis pp juga percuma saja. Baca ceritaku selanjutnya). Akhirnya aku beli karcis sekali jalan. Pikiranku waktu itu adalah siapa tahu aku harus mengantar Munir ke Utrecht atau ke Almere tempat Munir menginap. Baru setelah urusan Munir beres, aku akan langsung pulang dari kota tersebut bukan dari Schiphol. 


Setelah dapat karcis, aku naik ke atas (peron terletak di lantai atas). Waktu itu sudah September, jadi walaupun sudah lebih dari jam 6 pagi tapi masih gelap. Sudah gitu udara sudah mulai dingin. Aku makan tuna bread karena perutku sudah mulai lapar, mungkin karena udara dingin. Aku tetap saja menggigil karena udara dingin. Dalam hati aku bilang:


“Nanti kalau aku ketemu Munir aku akan bilang: “nek ora sampeyan, aku emoh methuk. Lha uadem bianget jé…..” (kalau nggak kamu, aku nggak mau jemput. Lha dingin sekali….”


Saking dinginnya, aku turun ke bawah lagi karena aku pikir nunggu di bawah lebih nyaman terhindar dari rasa dingin yang menusuk. Sambil melihat orang lalu lalang, aku menyeruput teh hangat yang aku bawa. Lumayan buat menghangatkan badan. Setelah beberapa lama aku naik ke atas lagi menuju peron. Kereta datang dan aku langsung lompat masuk kereta. 


Sampai di Schiphol masih terlalu pagi. Pesawat Garuda yang aku tunggu masih belum mendarat. Aku selalu melihat perkembangan pendaratan pesawat di screen. Lebih baik aku ke toilet dulu. Selesai dari toilet, aku lihat di screen kalau Garuda sudah mendarat. Untunglah, artinya aku nggak menunggu terlalu lama. 


Aku tunggu Munir di arrival gate. Waktu itu aku membayangkan dia keluar ndorong trolly sambil cengar-cengir. Kalau nanti dia keluar, aku akan tanya kabarnya, sudah sarapan belum, kalau belum akan kuberikan tuna bread yang aku bawa untuk dia. 


Tunggu….tunggu….tunggu….belum juga keluar penumpang dari Garuda. Aku pikir, mungkin masih jalan ke imigrasi, terus antri di imigrasi, terus ambil bagasi dan sebagainya. Tapi herannya kenapa tak satupun penumpang Garuda keluar. Tapi aku sabar menunggu. Mungkin antrian di imigrasi panjang sekali…..


Tiba-tiba ada pengumuman dalam bahasa Belanda yang menyebutkan kata “Munir”. Aku pikir bodoh banget, wong Munir saja belum keluar kok sudah disuruh ke information centre. Waktu itu Bahasa Belandaku masih belepotan (sekarangpun masih), jadi aku nggak tahu apa yang sebetulnya diumumkan. Ternyata pengumamnya berbunyi: bagi siapa yang menjemput Munir, harap menghubungi Information desk. 


Setelah lama sekali menunggu barulah keluar satu dua penumpang dari Garuda. Aku yakin itu dari Garuda karena mereka orang Indonesia. Tapi kemudian ada jeda lagi yang sangat lama, baru keluar lagi penumpang. Tiba-tiba HPku berbunyi. Ternyata Poengky menelepon HPku. 


“Mbak Sri sampeyan nang endi?” (Mbak Sri, kamu dimana?)


“Lha yo nang Schiphol….” (Lho ya di Schiphol)


“Ngapain?”


“Lho piye to, jarene kon methuk Munir….” (Lho gimana to, katanya disuruh jemput Munir).


Mungkin Poengky waktu itu dalam keadaan bingung, jadi tanpa sadar dia tanya sesuatu yang nggak masuk akal.


“Nang Schiphol e nang endi?” (Di Schiphol nya di sebelah mana?)


“Nang ngarep arrival gate…..” (Di depan arrival gate)


“Wis ketemu Munir?” (Sudah ketemu Munir?)


“Yo durung, aku isih nunggu Munir metu soko gerbang…” (ya belum, aku masih nunggu Munir keluar dari gerbang)


“Di sini kami dapat informasi. Mungkin rumor, jaré né (katanya) Munir meninggal di pesawat….”


Aku nggak percaya berita itu.


“Mosok ah. Mungkin ming (cuma) rumor wae (saja)”


“Tulung golekno informasi yo…..” (tolong carikan informasi ya…)


“OK, mengko tak nggolek informasi. Mau yo ono pengumuman nyebut Munir, tapi ora jelas pengumumane opo” (OK, nanti aku cari informasi. Tadi juga ada pengumuman nyebut nama Munir, tapi ngga jelas isi pengumumannya apa)


Aku tetap tunggu lagi Munir di depan pintu gerbang tersebut. Makin banyak orang yang keluar dari sana. Tapi tidak satupun aku melihat Munir. Ada pengumuman lagi dalam bahasa Inggris yang menyebutkan kata Munir, tapi aku nggak gitu memperhatikan pengumumannya karena aku masih berharap Munir keluar dari gerbang bersama trolly nya. Aku tidak percaya dengan rumor, aku masih yakin Munir tidak meninggal. Akhirnya ada rombongan crew pesawat Garuda yang keluar, aku samperin mereka. 


Aku bilang: “Saya menjemput Munir. Tadi saya dapat informasi kalau Munir meninggal. Apakah informasi tersebut betul?”


Seorang crew (pramugari) menjawab: “Betul memang Munir meninggal, tetapi untuk berita resminya silahkan hubungi Garuda….”


Aku mulai panik tapi masih berusaha menahan tangis. Aku lari mencari information desk. Aku bilang sama mbak di information desk kalau aku penjemput Munir dan aku mendapat informasi kalau Munir meninggal di pesawat. Dimana kantor Garuda. Dia menjawab:


“Please ask three gentlemen standing outside….”


Aku clingukan mencari 3 gentlemen yang disebut dia. Kok nggak ada. Gimana sih, wong aku cuma mau nanya dimana kantor Garuda malah disuruh nanya orang lain. 


Tapi kemudian ada 3 orang laki-laki yang menghampiriku. Satu orang berpakaian pake jas dan 2 orang lagi berpakaian baju seragam polisi warna biru. Yang pake jas hitam tanya aku. Aku kemudian tahu nama blio adalah Wim van Brookhoven dari Luchthaven pastoraat. 


“Kamu menjemput Munir?” Aku mengiyakan. 


“Apakah kamu keluarganya?”


“No….”


“Are you his relative?”


“No….”


“Siapa kamu? Apa hubunganmu dengan Munir?”


“Aku temannya. Aku berjanji untuk menjemput dia di sini. Aku dapat informasi katanya Munir meninggal. Apakah betul?”


Dia mengiyakan. Aku lepas kontrol, aku sudah tidak bisa menahan tangisku. Dia memelukku dan menenangkanku. Mereka kemudian mengajakku ke atas, ke kantornya. Di ruangan tersebut, aku diberi minum. Aku berusaha menenangkan diri. Aku masih tetap tidak percaya kalau Munir meninggal. Rasanya seperti disambar geledek.


Setelah aku tenang, mereka mewawancaraiku. Polisi meminta aku memperlihatkan kartu identitasku. Aku perlihatkan passportku. Alhamdulillah aku waktu itu membawa passport karena verblijfsvergunning (stay permit) ku masih belum jadi. Leo memang mengingatkanku untuk bawa passport siapa tahu berguna. Ternyata betul berguna. 


Mereka tanya siapa Munir, darimana aku kenal Munir, apakah Munir memiliki masalah kesehatan, apakah Munir mempunyai musuh dsb. Nampaknya itu adalah pertanyaan-pertanyaan dasar yang perlu diutarakan dalam kasus-kasus kematian di pesawat. 


Aku ceritakan siapa Munir, bagaimana aku mengenal dia, dan sebagainya. Aku juga ceritakan bagaimana berkali-kali Munir memperoleh teror pembunuhan (karena Munir juga pernah cerita itu padaku). Aku menceritakan Munir memperoleh terror bom yang dipasang di halaman rumah orang tuanya di Malang. 


Polisi pada waktu itu ingin menegaskan:


“Jadi menurutmu, kematian Munir ada hubungannya dengan pekerjaannya?”


“Kemungkinan itu ada mengingat sepak terjangnya”


Setelah wawancara selesai. Aku dipersilahkan untuk menghubungi siapa saja yang ingin aku hubungi menggunakan telpon mereka. Aku hubungi Poengky dan mengabarkan apa yang aku ketahui. Kami kemudian saling bertelpon-telponan untuk saling mengetahui perkembangan.


Aku lihat polisi yang berbaju biru juga menelpon, ngga tahu nelpon siapa. Tapi yang jelas dia beberapa kali menyebut nama Munir. 
Tiba-tiba Leo menelepon di HPku. Dia waktu itu telpon dari kantornya. 


“Kamu dimana? Di Utrecht ya?” Leo membayangkan aku mengantar Munir ke Utrecht. 


“Aku masih di Schiphol. Munir meninggal dunia……” kataku lemah. Tangisku meledak lagi. Leo kaget luar biasa. 


“OK, aku segera ke Schiphol. Tunggu aku disana….”


Selama menunggu Leo, aku masih terus menerus berhubungan dengan Jakarta. 


Aku masih belum diijinkan untuk melihat jenazah Munir di Mortuarium. Meneer Wim van Brookhoven mengatakan lebih baik menunggu Leo supaya bisa bersama-sama ke mortuarium. 


Setelah Leo datang, kami akhirnya bersama-sama ke mortuarium. Disana sudah menunuggu 2 orang detektif dari The Royal Netherlands Marechaussee (http://en.wikipedia.org/wiki/Royal_Marechaussee). Jadi ternyata, polisi berbaju biru yang kami temui sebelumnya menyerahkan kasus ini ke Marechussee karena dianggap kasus penting. Kematian Munir dianggap cukup mencurigakan. 


Kedua detektif tersebut memeriksa identitas kami. 


Salah satu detektif meminta kami untuk mengidentifikasi jenazah. Apa betul itu memang Munir. Tapi dia bilang sama aku: “Tapi yang boleh masuk ruangan duluan adalah suamimu, bukan kamu….”


Aku langsung protes. “Kenapa? Aku kan malah temannya Munir……”


“Karena kamu temannya Munir, maka kamu sebaiknya masuk setelah suamimu. Kalau kamu masuk duluan, dikhawatirkan kamu nanti akan histeris. Jadi biarkan suamimu dulu yang mengidentifikasi jenazah tersebut….”


Akhirnya kami setuju. Leo masuk duluan. Aku menunggu beberapa lama. Setelah itu aku baru dipersilahkan masuk ruangan. 


Aku masih ingat sekali apa yang terjadi pada waktu itu. Aku memasuki ruangan. Jenazah ada di sebelah kiriku. Aku tidak mau menengok ke arah jenazah tersebut karena aku masih tidak mau kalau yang terbaring itu adalah Munir. Pada detik itupun hatiku masih menolak kalau Munir sudah meninggal. 


Jenazah ada di sebelah kiriku. Aku memandang ke depan ke arah Leo. Aku menatap mata Leo dan aku masih berharap Leo menggeleng. Tapi ternyata Leo mengangguk. Aku langsung menengok ke kiri, dan betul yang terbaring kaku di tempat tidur itu adalah Munir yang sudah tak bernyawa. Langsung meledaklah tangisku. Diantara tangisku, aku bilang:


“Muuuniiiiiirrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr…..kamu kok ninggalin aku. Kita kan sudah janji akan ketemu ………..kok sekarang kamu malah pergi……….”


Leo memeluk aku dengan erat. Dia berusaha menahan air mata supaya tidak jatuh. Kami berdiri memandangi jenazahnya yang diam membisu. Untuk menenangkan diri, aku berdoa dan berdoa. Masih terbayang apa yang dia katakan, masih terbayang perjuangannya, masih terbayang dia sekeluarga menghadiri pernikahan kami. 


Ketika aku sudah mulai tenang, kedua detektif itu mewawancarai kami berdua. Kami menceritakan apa yang kami ketahui tentang Munir. Setelah mendengar cerita kami, kedua detektif tersebut bermaksud untuk mengadakan pemeriksaan selanjutnya yaitu autopsy. Mereka betul-betul ingin tahu apakah kematian Munir terjadi secara wajar atau tidak. Mereka akan meminta ijin kepada pihak keluarga. 


Sebagai catatan: Menurut hukum Belanda, otopsi tetap akan dilanjutkan walaupun keluarga tidak setuju. Dasarnya sangat sederhana yaitu bagaimana kalau keluarga yang terlibat. Tapi dalam kasus Munir ini, keluarga dan organisasi justru mendukung adanya otopsi. 


Para detektif tersebut meyakinkan kami bahwa tidak boleh seorangpun akses terhadap jenazah Munir dan barang-barang yang dibawa Munir termasuk dokumen-dokumen yang ada di kopernya. Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa akses ke situ.


Pada hari itu juga kami sudah memperoleh kepastian juga bahwa Suciwati, Poengky, Usman Hamid, dan Ucok serta saudara Munir sudah memperoleh tiket dan akan tiba di Schiphol tanggal 9 September 2004 untuk menjemput jenazah. Marechaussee dan Meneer Wim van Brookhoven mengatur bagaimana kita semua bisa bertemu. Kami semua bersiap-siap menerima kedatangan mereka. 


KAMIS, 9 SEPTEMBER 2004


Jam 3 pagi Leo dan aku berangkat dari rumah ke Schiphol. Tiba di Schiphol jam 4 pagi, sesuai dengan waktu yang kami sepakati. Selain Marechaussee dan Meneer Wim van Brookhoven, di sana juga ada wakil dari ICCO, lembaga yang memberi beasiswa kepada Munir. 


Kebetulan kami masih memiliki foto pernikahan kami yang sebetulnya mau aku berikan kepada Munir. Foto tersebut cukup besar ukurannya (mungkin sebesar kertas folio). Dalam foto itu ada gambar Munir, Suci, Poengky dan Usman atau orang-orang yang akan menjemput jenazah Munir. Kami perlihatkan foto tersebut kepada Marechaussee dan Meneer Wim van Brookhoven supaya mereka tahu siapa yang akan mereka jemput. 


Kami kemudian diajak mereka untuk memasuki ruang tunggu di Schiphol setelah melalui berbagai macam pintu pemeriksaan. Kami tiba di ruang tunggu. Ruang dimana semua penumpang KLM akan menjejakkan kaki begitu mereka keluar dari belalai pesawat. Pihak Marechaussee meminta aku untuk menunggu di depan pintu agar ketika yang kami tunggu sudah kelihatan, mereka harus digiring untuk tidak keluar ruangan. 


Sesuai dengan rencana, kami bisa menggiring teman-teman tersebut untuk masuk ke ruang tunggu. Dari situ kemudian kami digiring ke mortuarium untuk melihat jenazah Munir. Bisa dibayangkan bagaimana suasanya. Ledakan tangis, doa, kesedihan mewarnai suasana waktu itu. 


Setelah selesai dari mortuarium, kami kemudian digiring ke tempat lain. Kemudian tejadilah wawancara marathon sampai berjam-jam. Beberapa dari teman-teman ini diwawancarai satu per satu oleh pihak Marechaussee untuk kepentingan penyidikan 


Tanggal 10 September ternyata teman-teman sudah bisa membawa jenazah ke tanah air. Tapi perjalanan belum berakhir. Masih banyak sekali yang harus dilakukan baik di sini maupun di tanah air. Kami memperoleh informasi kalau hasil otopsi menunjukkan bahwa Munir teracuni arsenik. Tidak mungkin kan Munir dengan sengaja menelan arsenik. Pasti ada pihak yang mau membunuh Munir. 


Tidak saja di Indonesia, kasus ini juga disorot oleh media Belanda beberapa kali. Koran, televisi, radio memberitakan kasus Munir. Bahkan issue ini juga diangkat oleh parlemen Belanda. 


Sudah 5 tahun Munir tiada, tapi kasus ini belum terselesaikan. Keadilan akan terus diperjuangkan. Aku cuma berpikir kalau kasus Munir yang sudah sampai di tingkat internasional saja tidak terselesaikan, bagaimana kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya. Kita berharap keadilan akan datang. 


Menurut informasi yang aku terima, death on board di Schiphol sekitar 200 orang per tahun. Tidak semua ditindak lanjuti seperti kasus Munir karena tidak semua kematian dicurigai sebagai kematian yang tidak wajar. Mungkin saja memang karena sakit.

Ada satu hal yang ada di benakku setelah mengalami kejadian ini yaitu bahwa tangan Tuhan tidak bisa dilawan.Kalau toh Munir harus meninggal dengan cara dibunuh, Allah tidak akan membiarkan dia meninggal begitu saja tanpa ada suatu tindak lanjut. Kalau seandainya waktu itu Poengky tidak memintaku untuk menjemput Munir, aku yakin jenazah akan langsung diserahkan kepada KBRI dan dipulangkan ke Indonesia tanpa adanya suatu otopsi. Tapi Tuhan berkata lain, aku harus menjemput dia di Schiphol. Aku waktu itu berkata sama Tuhan:


“Ya Allah, kalau seandainya Engkau mengutusku untuk melakukan sesuatu, kenapa Engkau memberikan tugas yang begitu mengagetkan seperti ini. Tapi mungkin memang inilah jalan yang harus aku lalui……Terimakasih ya Allah, Engkau percayakan tugas penjemputan ini kepadaku, tapi berikanlah juga kekuatan untuk menerima ujian ini. Amin……” 


EPILOG:


Aku dan Leo memandangi foto pernikahan kami. Munir, doa kami selalu bersamamu. Semoga engkau sudah tenang beristirahat di sana. Semoga Allah menerimamu. Terimakasih Munir, engkau sudah memberikan lebih dari cukup kepada bangsa Indonesia terutama kepada mereka yang lemah dan tak berdaya melawan kekerasan. Semoga kita semua bisa meneruskan perjuanganmu melawan tirani ketidak adilan. 


Terimakasih Munir, engkau sudah menghadiri pernikahan kami. It means a lot to us.


Krimpen aan den Ijssel, 6 September 2009


Salam hangat selalu dari kami,


Sri Rusminingtyas dan Leo Fontijne

Sumber: portalkbr.com