Cerita tentang LGBT

Bagikan/Suka/Tweet:

Tomi Lebang

Pada mulanya hanya bisik-bisik, lalu kecam-mengecam, lalu menjadi perdebatan, lalu jadi wacana, dan akhirnya menjadi terbiasa. Pada mulanya para pelaku memendam rapat dirinya, lalu perlahan terlihat gelagatnya, muncul malu-malu, lalu pada waktunya mulai lantang menunjukkan jati-dirinya.
Waktunya bisa sebulan, setahun, bahkan bisa berpuluh-puluh tahun.

Dan semua itu sudah terlihat di negeri kita hari-hari ini: isu Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender atau LGBT kini dibahas sebagai wacana publik, muncul sebagai topik di Indonesia Lawyer Club di televisi berita tvOne, dan tentu saja berseliweran di media sosial.

LGBT ini pada akhirnya membuat kita di Indonesia menjadi terbiasa, dengan isu-isunya, dengan orang-orangnya. Anda siap?

Seperti kata kawan saya yang kini bermukim di Amsterdam, Rahmat Hidayat: “Tidak asing-asing amat kak. Sama seperti orang lain. Mereka bekerja, tidur, makan, bertengkar, main Facebook, (menulis) status, dsb… Mereka bukan alien dari galaksi lain. Di restoran, di tenda coto mereka barangkali duduk di sekitar tanpa kita sadari.” Kesimpulannya, kata Rahmat: “Mereka manusia biasa”.

Tapi negeriku ini, Indonesia ….terlalu cepat. Saya sendiri tak siap bahwa LGBT kini menjadi isu sehari-hari seperti kita berbicara tentang Valentino Rossi yang gagal juara, tempo hari.
Kerajaan Inggris, yang kepala negaranya juga adalah pemimpin tertinggi Gereja Anglikan sedunia — sebagaimana Paus di Vatikan untuk Gereja Katolik – butuh lebih dari setengah abad untuk mengakui Alan Mathison Turing. Eh, siapa pula dia?

Ini cerita saya … bukan untuk menjadikan Anda terbiasa, tapi nama Alan Turing ini kerap berseliweran di lini masa, di antara perbincangan tentang LGBT.

* * * * *

Inggris dan sekutu-sekutunya pernah diselamatkan seorang pria aneh bernama Alan Mathison Turing. Di tengah kecamuk Perang Dunia II, pasukan NAZI Jerman yang digdaya membuat Inggris kalang kabut dengan serbuan yang tak tertahankan. Rencana penyerangan serdadu Jerman tak terpecahkan para ahli telik sandi, juga mata-mata yang menyaru. Ribuan sandi palsu bertebaran dan mengecoh.
Dalam sengkarut perang yang membara dan tak menentu itulah, Alan Turing datang serupa malaikat.

Ia seorang ahli matematika yang dirakrut militer Inggris untuk memecahkan kode sandi yang setiap hari dikirim Jerman melalui alat pengacak bernama Enigma. Sandi itu berupa perintah penempatan pasukan serta formasi kapal-kapal perang Jerman.

Berkejaran dengan waktu, dengan pertaruhan kehormatan dan keselamatan negerinya, Alan Turing berhasil memecahkan sandi Enigma dengan penemuan yang sungguh jauh melampaui zamannya: mesin pemecah sandi otomatis bernama Colossus.

Tak berlebihan kiranya para sejarawan menyebut, temuan jenius Alan Turing mengakhiri Perang Dunia II tiga tahun lebih cepat dari yang seharusnya. Dan lebih dari itu, Alan Turing menyelamatkan jutaan manusia.

Tapi Alan Turing tak serta-merta jadi pahlawan. Ia tak menuai puja-puji, tak dielu-elukan kerajaan. Ia seorang gay, pelaku homoseksual. Dalam “the Imitation Game”, film yang berkisah tentang Alan Turing yang menuai Oscar di tahun 2015, ada adegan ia meminang asistennya yang cantik, Joan Clarke, dengan cincin dari potongan kabel komputer yang ditekuk dan dipilin. Sebuah pertunangan semu demi kelangsungan proses pemecahan sandi, demi penciptaan mesin Colossus. Cinta dan syahwat yang ia pendam lama justru hanya untuk sahabatnya sedari remaja, Christoper: seorang lelaki lain!

Yang terjadi kemudian, Alan Turing adalah pelaku kejahatan. Di Kerajaan Inggris zaman itu, gay adalah tindakan kejahatan. Ia ditangkap dan menjalani pengadilan pada 31 Maret 1952 setelah polisi menemukan bukti hubungannya yang intim dengan seorang remaja dari kota Manchester. Di kursi terdakwa, Alan Turing tak membela diri dan hanya menyatakan ke semua orang bahwa dirinya tak bersalah. Hukum yang berlaku menawarkan dua pilihan: masuk penjara atau mengkonsumsi penambah hormon oestrogen untuk menekan hasrat seksual. Dan Turing memilih yang kedua.

Pagi hari 8 Juni 1954, pembersih rumahnya menemukan sang jenius terkapar tak bernyawa di kamar tidur. Ia sendirian. Di sisi ranjangnya, sebuah apel dengan setengah bekas gigitan masih tergeletak – apel yang telah diolesi racun sianida oleh Turing sendiri. Buah apel Alan Turing ini konon menjadi asal muasal lambang logo komputer Apple: buah apel dengan bekas gigitan.

Alan meninggal di usia 41 tahun. Baru 60 tahun kemudian, Inggris memulihkan namanya. Ratu Elizabeth II memaafkannya saat kerajaan itu telah ramah terhadap para pelaku homoseksual. Inggris kemudian menempatkan Alan Turing sebagai pahlawan Perang Dunia II.

* * * * *

Indonesia juga pernah punya Joop Ave, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (1993-1998) pada era pemerintahan Presiden Soeharto. Sepanjang hidupnya, Joop tak menikah. Tapi sebuah insiden memalukan di luar negeri akhirnya mengungkap ke publik tentang sang menteri bertubuh sentosa ini.
Bulan April tahun 1995, Joop Ave menghadiri konferensi pariwisata internasional di kota Auckland, Selandia Baru. Ia menginap di Carlton Hotel.

Pada hari Minggu sore, 23 April itu, seorang pelayan hotel laki-laki asal Samoa melayaninya makan malam di suite-room. Sang menteri senang, bahkan mengajaknya bercerita. Dan ini kata Joop Ave:

“Sang pelayan bercerita tentang Samoa dan olahraga keras, rugby, yang menjadi hobinya. Dalam suasana yang akrab itu, seperti di Indonesia, bahu dan lutut ditepuk sambil memohon maaf kalau hal itu mengusik perasaannya.”

Benarkah begitu?

Yang jelas, satu jam kemudian, Joop Ave terbirit-birit ke bandara, dan terbang dengan jet sewaan kembali ke Jakarta. Ia meninggalkan Selandia Baru, meninggalkan konferensi pariwisata internasional yang penting.

Esoknya, kabar tersiar hingga tanah air: sang menteri telah memaksa berbuat tak senonoh kepada lelaki muda pelayan hotel. Sang pelayan kemudian melapor ke petugas keamanan dan Joop Ave akan ditangkap. Menjawab pertanyaan mendadak seorang wartawan, Joop Ave mengelak: “Ah, nggak. Kami hanya sorong-sorongan.” Sejak itu, di perbincangan publik yang sinis, ia dijuluki “menteri sorong-sorongan”. Lalu atasannya, Presiden Soeharto meminta media tak lagi meributkannya. Indonesia pun senyap dari pemberitaan tentang insiden ini.

Joop Ave meninggal dunia 5 Februari 2014 dan pemerintah hendak menempatkan jazadnya di Taman Makam Pahlawan Kalibata, tapi mendiang meninggalkan wasiat untuk dimakamkan di Bali. Jadilah ia diantar ke liang lahat di Pulau Dewata diiringi penghormatan secara militer.

* * * * *

Cerita saya ini tak bermaksud menjadikan perbincangan soal LGBT menjadi “sesuatu yang biasa” di kehidupan kita di Indonesia. Saya pun tak siap, masih terkaget-kaget. Tapi sungguh, saya benar-benar gatal hendak bercerita. Itu saja.