Charlie Hebdo dan Kita

Ilustrasi
Bagikan/Suka/Tweet:

Oyos Saroso H.N.

Majalah satire Prancis, Charlie Hebdo, baru saja berduka. Pada Rabu (7/1/2015), kantor redaksi media yang suka mengolok-olok Nabi Muhammad SAW dan beberapa agama lain itu diserang oleh dua pria bertopeng dan bersenjata api,

Sebanyak 12 orang tewas dalam serangan itu. Korban tewas terdiri atas  10 wartawan dan dua polisi. Konon, itu adalah serangan terhadap kantor media dengan korban yang terbesar di Prancis sejak tahun 1961.

Sebuah media Inggris, BBC, melansir Majalah Charlie Hebdo pernah menerbitkan kartun Nabi Muhammad, yang memicu kemarahan umat Islam, namun juga menurunkan satire bertema agama lain. Sebelum serangan, pesan Twitter Charlie Hebdo adalah kartun pemimpin kelompok yang menamakan diri Negara Islam, Abu Bakr al-Baghdadi.

Keprihatinan atas serangan itu merebak di mana-mana. Meskipun media itu selama ini terkenal sebagai rasis, koran kuning, bahkan sampah, tetapi keprihatinan tetap tertumpah. Banyak kalangan beralasan, seburuk apa pun Charlie Hebdo (dan orang-orang di baliknya) tidak selayaknya diserang sampai meninggal.

“Yang rugi adalah Islam kalau kita ikut bertepuk sorak,” kata seorang kawan, seolah yakin betul bahwa kelompok Islam sudah pasti berada di balik serangan mengerikan itu.

Kita tak tahu, atas dasar apa Charlie Hebdo diterbitkan selain demi mengeruk fulus dan memperturutkan nafsu daya rendah manusia menghina kelompok dan agama lain. Di Indonesia, pertanyaan serupa sebenarnya bisa diberikan kepada media-media online dan media proyek politik yang tiap hari bernafsu menulis tentang kebencian.

Kalau bukan jurnalisme, maka jenis media apakah yang layak diterakan kepada Charlie Hebdo dan media-media nyaris serupa yang bertebaran di Indonesia? Sudah tentu,mereka bisa berkelit: “Kami juga produk jurnalistik. Kami bekerja dengan prinsip-prinsip jurnalistik. Kami mengenal cover both side, pagar api, serta yang patut dan tak patut. Modal pertama kami adalah fakta.Fakta itu suci.”

Baiklah, anggaplah cara isi kelitan atau apologi itu benar adanya. Yang jadi soal, selain bagi diri sendiri dan kelompoknya, adakah kepentingan publik yang diperjuangkan media itu sehingga layak disebut pers? Kalau ada, publik yang mana?

Dua pertanyaan bodoh itu, bisa jadi, akan memancing diskusi panjang hingga menghabiskan kopi dan teh bergelas-gelas. Tapi, layak diyakini, kita tak akan mendapatkan kata sepakat atau titik temu. Sebabnya jelas: kita terlalu terbiasa berpikir dan mengembangkan pendapat berdasarkan yang kita suka dan menguntungkan kelompok kita saja. Kita terlalu terbiasa bicara soal kelompok kita saja. Asal kita untung dan kelompok kita jaya, maka yang lain dianggap nonsens dan nothing.  Kebenaran adalah kita. Surga adalah hak kelompok kita. Yang terbaik dan paling oke sudah tentu adalah kita.

Kita terbiasa meninggikan diri kita seolah-olah kita adalah kebenaran dan kemuliaan itu sendiri. Seolah-olah kita adalah Tuhan atau setidaknya malaikat, sedangkan mereka adalah setan yang boleh seenak jidat diperolok. Sesekali mengolok halus dengan maksud memberi kritik, mungkin masih wajar. Namun, kalau kita sudah memperolok kelompok lain sepanjang waktu tanpa putus, maka kita layak pergi ke rumah sakit jiwa.

Karena kita meyakini kita paling baik-bersih suci-pintar-soleh-ahli surga, makanya capres dari kelompok sebelah sudah pasti buruk, kafir, anjing kurap, dan sangat tidak layak banget sebagai presiden. Kalau capres sebelah nanti jadi presiden, siap-siap saja nanti kita habisi tiap hari, sepanjang waktu, sampai lima tahun! Kita ini bersih suci tanpa cela, berakhlak mulia, dan ahli surga. Sedangkan mereka hitam jelaga, kurapan, berakhlak sangat buruk sekali, kafir, abangan, bertato, menjijikkan, najis, antek asing, dan layak dibinasakan.

Dibinasakan.Ya, itulah yang ada dalam kepala kita terhadap kelompok bukan kita setiap  kali hasrat kita tak sampai. Atau kita dilukai oleh mereka.

Sambil menikmati segelas kopi pagi ini, saya bayangkan kru Charlie Hebdo dan penyerang sadistis itu adalah kita, saya dan Anda. Ya, kita yang calon mayat dan sok ahli surga.