Zulfikar Halim Lumintang
Selama ini yang kita ketahui angkutan berbasis rel di Indonesia hanya kereta api. Dan lebih dalam lagi, mungkin pengetahuan kita kereta api hanya mengangkut penumpang manusia saja. Ya kedua pernyataan tersebut tidak salah, karena kereta api adalah angkutan berbasis rel yang paling banyak digunakan di Indonesia dan fungsinya yang dominan adalah alat transportasi manusia.
Angkutan berbasis rel di Indonesia menjadi pilihan alternatif masyarakat. Terutama bagi masyarakat menengah ke bawah yang ingin bepergian jarak jauh. Terjangkaunya harga tiket tentu menjadi alasan utama, meskipun memakan waktu perjalanan yang cukup lama, jika dibandingkan transportasi udara.
Pada triwulan I 2020, kontribusi sektor transportasi dan pergudangan terhadap PDB Indonesia mencapai 5,17%. Dan subsektor angkutan rel sendiri memiliki kontribusi terhadap PDB Indonesia mencapai 0,07%. Jumlah tersebut terlihat sangat kecil, jika kita melihat prospek yang sangat cerah angkutan rel di Indonesia.
Badan Pusat Statistik mencatat, penumpang kereta api di Indonesia selama triwulan I 2020 mengalami penurunan. Pada Januari 2020 tercatat total penumpang kereta api dari seluruh wilayah mencapai 34.134 ribu orang. Kemudian pada Februari 2020 jumlahnya hanya menyentuh 32.286 ribu orang.
Kemudian pada akhir Maret 2020, tercatat penumpang kereta api turun hingga 27,45% dari bulan Februari 2020 atau setara 8.861 ribu orang. Jumlahnya pun hanya mencapai 23.425 ribu orang. Dari keseluruhan wilayah kereta api, wilayah Jabodetabek yang paling banyak mengalami penurunan jumlah penumpang dari Februari 2020, yakni mencapai 27,59%.
Meskipun berkurang, jumlah penumpang kereta api di Jabodetabek tetap menjadi penyumbang terbesar dari keseluruhan penumpang dengan jumlah mencapai 18,5 juta orang. Atau 79,18% dari total penumpang kereta api. Selain itu wilayah kereta api di Jawa (non Jabodetabek), jumlah penumpang berkurang 27,45% dari Februari 2020. Kemudian untuk wilayah kereta api Sumatera, jumlah penumpang berkurang 21,19% dari Februari 2020.
Kereta api wilayah Jabodetabek tersebut merujuk pada Kereta Rel Listrik (KRL). Wajar jika jumlah penumpang sangat nyata berkurang, karena mayoritas penumpangnya merupakan pegawai kantoran. Jelas pada waktu tersebut mereka sedang melaksanakan Work From Home (WFH).
Dengan berkurangnya jumlah penumpang KRL, secara otomatis pendapatan PT. KCI pun juga berkurang. Artinya pendapatan negara juga dari angkutan rel berkurang, karena seperti yang kita ketahui bahwa PT. KCI merupakan anak perusahaan PT. KAI, salah satu BUMN.
Sehingga, Badan Pusat Statistik pun memaparkan secara jelas bahwa kontribusi angkutan rel terhadap PDB pun berkurang dari triwulan IV 2019. Dari 0,08% menjadi 0,07%.
Meskipun kontribusinya terhadap PDB terhitung kecil. Tetapi peran KRL secara nyata sangatlah besar. Bayangkan, berapa orang pegawai yang terlambat masuk kantor ketika KRL pun mengalami keterlambatan? Ketika seorang pegawai terlambat maka kegiatan pelayanan publik di kantor akan terganggu juga.
Selain pegawai, para pedagang dan anak sekolah juga merupakan pengguna alat transportasi cepat tersebut. Biasanya pedagang membeli barang dari satu kota dan dijual lagi ke kota lain menggunakan KRL. Pedagang commuter tentu sangat bergantung dengan keberadaan KRL.
Secara kasat mata, kita bisa melihat bahwa ketika KRL terlambat, maka kegiatan perekonomian akan ikut melambat. Jadi kira-kira apa yang terjadi ketika kegiatan operasional KRL dihentikan sementara selama pandemi Covid-19?
Tidak sampai disitu saja, selama pandemi Covid-19 ini, kita juga melewati bulan Ramadhan dan Syawal. Tentunya tradisi mudik untuk menyambut lebaran tidak akan berjalan seperti biasa. Dalam situasi normal, tiket kereta api lebaran H-3 bulan biasanya sudah ludes terjual. Dalam situasi pandemi, tiket kereta api lebaran sepertinya juga sudah ludes terjual. Namun masyarakat yang sudah membeli tiket, diinstruksikan untuk melakukan pembatalan. Sehingga potensi berkurangnya jumlah penumpang kereta api pada triwulan II 2020 sangat tinggi.
Memang saat ini kita dihadapkan pada sebuah dilema. Antara ekonomi dan kesehatan masyarakat. Pemerintah selaku pemangku kebijakan diharapkan bijak dalam mengambil keputusan.
Angkutan rel, utamanya KRL di Indonesia sangat dikenal dengan kepadatan jumlah penumpangnya. Setiap ujung pagi dan ujung sore, berdesak-desakkan penumpang pun tak bisa dihindarkan. Dan selama pandemi Covid-19 ini keputusan yang diambil pemerintah adalah tidak menghentikan kegiatan operasional KRL. Tetapi penumpang diwajibkan menjaga jarak satu sama lain.
Rasanya kebijakan ini akan berjalan sesuai keinginan jika, diikuti dengan aturan pembatasan jumlah penumpang dalam satu gerbong. Dengan membatasi jumlah penumpang, physical distancing tentu dapat dilaksanakan. Namun, ketika jumlah penumpang dibatasi, maka resikonya adalah adanya penumpang yang terlambat masuk kantor.
Maka kebijakan berikutnya yang perlu dipikirkan kembali adalah mengatur jam kerja para pegawai kantoran, sehingga mereka tidak masuk kantor dalam waktu yang bersamaan. Ketika ini diterapkan, maka penumpukkan penumpang KRL di satu waktu akan berkurang. Lebih jauh lagi, saat di kantor interaksi langsung antar pegawai pun juga bisa diminimalisir.
Itu untuk angkutan rel yang mengangkut manusia. Untuk angkutan rel yang mengangkut barang, tentu peluang untuk terjadi penularan virus sangat kecil. Namun penyemprotan desinfektan bagi setiap barang yang akan masuk ke dalam gerbong barang wajib dilaksanakan.
Apapun itu, tentu kita semua berharap bahwa pandemi Covid-19 ini cepat berakhir. Sehingga kehidupan yang normal bisa kita nikmati bersama lagi. Tentunya hikmah yang bisa kita ambil dari Covid-19 terhadap angkutan rel di Indonesia adalah berdesak-desakkan di dalam gerbong itu tidak baik. Dan hanya akan membawa kerugian.
Penulis merupakan Statistisi Ahli Pertama BPS Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara.