‘Culika’

"Bale Sigala Gala"/©kibrispdr.org
"Bale Sigala Gala"/©kibrispdr.org
Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh : Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila

Jauh sebelum perang Baratayudha dimulai, ada satu episode dalam Mahabarata yaitu satu lakon dengan judul “Bale Sigala Gala” menyebut Sigala Gala, namun inti ceritanya sama seperti yang ditulis oleh Alfan Fajrin: Sengkuni sebagai tokoh licik yang diserahi oleh Destrarasta untuk memimpin upacara serah terima Kerajaan Hastinapura kepada Pandawa bertindak culika (culas, curang).  Pandawa diundang untuk menghadiri pesta serah-serahan kekuasaan Amarta. Tempat penyerahan tersebut sudah dirancang sedemikian rupa, yaitu pada sebuah bangunan besar yang dibuat dari kayu papan. Tempat itulah yang dinamakan dengan Bale Sigala-gala.

Upacara serah terima kekuasaan yang semestinya segera dilaksanakan tersebut, ditunda-tunda, diulur waktunya hingga tengah malam. Para tamu undangan dimanjakan dengan beraneka makanan dan minuman yang sungguh lezatnya. Para Pandawa yang hadir, juga mendapat jamuan bahkan lebih istimewa dibandingkan para tamu lainnya. Jika Pandawa menolak untuk makan dan minum, Sengkuni terus memaksa agar Pandawa mau untuk menikmati hidangan tersebut. Akan tetapi, sebenarnya semua itu hanyalah tipu daya Sengkuni. Makanan dan minuman yang dihidangkan kepada Pandawa tersebut telah dijampi-jampi agar Pandawa mudah terserang kantuk.

Ketika tengah malam, para Pandawa terserang kantuk yang hebat, dan mereka sudah tak bisa menahan rasa kantuknya. Yudhistira, Harjuna, Nakila dan Sadewa, sudah tertidur pulas di tengah Bale Sigala-gala. Hanya Bima yang masih terjaga. Walaupun berbadan tinggi besar, akan tetapi Bima terbiasa hanya makan sedikit saja. Oleh sebab itulah, Bima tak mudah terserang rasa kantuk. Bima tetap diam dan tenang menunggui saudara-saudaranya serta ibunya yang sudah tertidur nyenyak.

Kurawa mengira kalau Pandawa sudah tertidur semuanya, seperti orang mati. Maka, Kurawa kemudian melancarkan aksinya untuk melenyapkan Pandawa. Dibakarlah Bale Sigala-gala. Jika Bale Sigala-gala terbakar, tentu saja Pandawa akan tewas terpanggang menjadi arang. Api berkobar semakin hebat. Tidak ada cara untuk bisa keluar dari Bale Sigala-gala. Tapi takdir kematian memang belum saatnya tiba. Di dalam Bale Sigala-gala itu, tiba-tiba saja ada sebuah gua yang menuju bawah tanah. Dengan cekatan Bima menggendong ibunya, kakaknya, serta adik-adiknya. Ibu dan saudaranya itu kemudian dibawa masuk ke dalam gua bawah tanah itu. Gua itu sejatinya telah dipersiapkan oleh Yamawidura, sebab Yamawidura sudah menduga bahwa Kurawa akan berbuat licik. Di dalam gua itu, Bima dituntun oleh seekor musang putih yang menunjukkan arah jalan keluar. Musang putih itu sebenarnya adalah jelmaan dari Sang Hyang Antaboga. Pandawa dituntun menyusuri goa hingga sampai di Kayangan Sapta Pratala. Pandawa selamat semua, karena mereka tokoh yang dipersonifikasi sebagai pemegang kebenaran.

Kita tinggalkan bagaimana akhir cerita di atas kita serahkan Ky. Dalang menyelesaikannya; namun ada yang tersisa yaitu kata “culika”, ternyata perbuatan seperti Sengkuni sampai hari ini masih ada. Bisa di bayangkan seorang pimpinan baru saja dilantik dari hasil pemilihan yang bau sangit, program pertamanya adalah membatalkan semua pekerjaan pimpinan terdahulu, dengan sejuta alasan, agar semua dimulai dari nol.
Begitu ditelusuri ternyata pelaksanaan pembangunan dijadwal ulang agar ada perjanjian tersembunyi, guna meraih keuntungan pribadi, paling tidak jika itu bangunan yang dikerjakan, bangunan yang sama harus ada di tanah sang pemimpin. Jika itu pekerjaan pembelian kendaraan, bagaimana pula kendaraan yang sama parkir di dalam garasi Sang Tuan. Pemimpin model begini ternyata bertebaran disemua lini kehidupan bahkan di perguruan tinggi sekalipun yang katanya menjunjung tinggi martabat kemanusiaan, ternyata dengan berlindung atas nama demokrasi dan apapun lagi namanya, dapat saja dilakukan, walaupun mereka mengetahui ajaran aslinya itu tidak demikian.

Tindak culika ini dapat dilakukan oleh siapa saja, kapan saja dan dimana saja; tidak memandang jenis kelamin, pangkat, atau jabatan, semua berpeluang sama. Pengendalinya adalah pada tingkat kesadaran diri yang berpedoman pada hukum agama dan hukum negara; oleh karena bersifat personal inilah maka tindakan culika keberadaannya lebih pada ranah moral. Moral yang salah satu pilarnya adalah menjunjung tinggi martabat manusia. Maka, hukum kausalitas universal menjadi semacam payung guna menjaga marwah sebagai manusia. tentu saja ini merupakan pembenaran akan satu Firman Tuhan bahwa “Manusia adalah khalifah di muka bumi ini”. Tentu saja salah satu tugasnya adalah menjunjung tinggi kaidah kaidah ketuhanan, yang didalamnya sangat menganjurkan untuk melakukan perbuatan luhur bagi sesama.

Mari pada penghulu hari ini kita berdoa, semoga kita terhindar dari tindak culika sekecil apa pun perbuatan itu, karena pertanggungjawabannya di alam sana sangat membebani kita.

Selamat menikmati kopi hangat di pagi Jumat!