Dari Lantai Empat

Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila

Beberapa hari saat ‘ditamasyakan’ Tuhan dari lantai empat gedung sebuah rumah sakit, saya punya waktu memandang keluar jendela. Sayup sayup saat panggilan salat Jumat berkumandang, hanya linangan airmata yang bisa menyertai dan menjawabnya, karena badan belum bisa dibawa bangun serta betapa banyaknya tabung bergantungan yang semua selangnya menuju satu titik lubang di tangan.

Tampak dikejauhan seperti semut orang merayap menuruni lembah Bukit yang terjal menuju sumber suara panggilan Allah. Pemandangan itu indah sekali dan mengesankan bagaimana magnet panggilan illahi dapat membariskan orang untuk menuju rumah-Nya dan memenuhi panggilan-Nya.

Kala menikmati keindahan pemandangan di terik matahari itu terbersit, jangan-jangan ada diantara yang berjalan itu memandang gedung ini dan berguman: …indahnya gedung itu dan adakah waktu untuk sesekali menaikinya karena selama ini dipandang saja. Itu pun dari kejauhan.

Sementara yang ada di gedung ini memandang mereka dan membatin: …bahagianya menjadi orang sehat dapat bebas memenuhi kebutuhannya termasuk pergi memenuhi panggilan Ilahi

Gambaran imajiner seperti itu jika diteruskan bagaimana kontradiktifnya posisi. Orang yang didalam gedung dan sedang mengalami perawatan, akan berguman jika boleh masuk ke gedung ini cukup sekali ini saja. Sementara dari kejauhan orang bercita cita kapan bisa berada di gedung bertingkat ini. Betapa enaknya di sana, sejuk, nyaman, aman dan bersih, tidak seperti tempat mereka. Itulah gambaran dari jauh dari suatu spektrum pandang atau perspektif sosial.

Konsep “sawang-sinawang” dalam bahasa Jawa yang kurang lebih hampir sama artinya dengan “kebun tetangga lebih hijau dari kebun sendir” ini memang membuat orang berada pada sudut pandang yang berbeda antara satu dengan yang lain. Sebagai orang yang mencari makna hakiki kehidupan, tentu saja keadaan seperti ini bisa membangun perspektif yang luar biasa maknanya. Karena dapat merasakan dimensi dimensi sebagai irisan yang melingkupi manusia, sebagai suatu fatamorgana, atau bisa jadi ilusi yang tidak jarang bisa menyesatkan.

Kesesatan fatamorgana sosial seperti inilah terkadang menjauhkan kita dari rasa syukur akan pemberian Tuhan. Merasa berterimakasih jika pemberian itu mengenakkan, sementara jika itu tidak mengenakkan, yang keluar upatan, minimal gumanan, bahkan tidak jarang berani mengupat Tuhan. Padahal sejatinya antara yang mengenakkan dan tidak mengenakkan itu dihadapan Tuhan adalah sama. “Hadiah” dari Tuhan tidak selalu terbungkus dengan indah, terkadang Tuhan membungkusnya dengan masalah, tetapi didalamnya ada berkah yang melimpah. Hanya mata batin yang jernih, hati yang bersih, menangkap “sasmito” atau pertanda itu dengan “benar-benar benar”.

Pemaksaan kehendak kepada sesuatu yang dipersepsikan sama, ternyata itu merupakan kegagalan kita memberikan makna kepada sesuatu yang sejatinya memang tidak kita pahami. Oleh karena itu kehatihatian sangat dituntut dalam melihat segala sesuatu dari berbagai sudut pandang. Bisa jadi orang di dalam gedung di atas tersiksa lahir batin, sementara orang lain memandangnya sebagai sesuatu yang sangat nikmat dan perlu diikuti. Oleh karena itu, kita dituntut bijak dalam melihat fenomena; seperti ada seorang Doktor senior bertanya mengapa saya melihat orang lain memposisikan saya selalu salah. Jawab yang tepat adalah coba anda berganti sudut dalam memandang. Jangan jangan itu terjadi karena ketidakberterimaan kita terhadap sesuatu, atau orang lain; sehingga seolah orang lain selalu salah memposisikan kita.

Apa yang dikatakan Emha Aninun Najib seorang budayawan senior, benar adanya bahwa; kehebatan manusia adalah mampu melihat “semut” yang berada di antara deburan ombak samudra. Namun, hal lain yang sering membuat manusia terjungkal dalam kehidupannya ialah ketidaksanggupan melihat “gajah” di pelupuk matanya sendiri. melihat diri sendiri memang sesuatu yang tak mengenakkan, tetapi itu harus dilakukan oleh setiap insan demi menemukan ketenangan dan kebeningan batin serta bisa memancarkan kerahmatan ke semua makhluk Tuhan.

Memang segala sesuatu jika dilihat dari ketinggian, semua akan tampak kecil; itu merupakan hukum ilmu pengetahuan. Namun dalam perspektif hakekat apapun itu tetap sama, sekalipun dipandang dari manapun kita berada, karena yang kita gunakan adalah mata batin dan mata rasa. Kedua mata inilah yang terkadang kita abaikan dalam memahamkan sesuatu; sehingga tidak jarang menimbulkan penyesalan setelahnya.

Satu nukilan yang dikemukakan oleh seorang ulama besar masa kini; mengatakan bagaimana saat malaikat mau memberikan siksa kubur kepada mayat karena semasa hidupnya melakukan dosa, namun yang bersangkutan waktu hidupnya selalu menjaga hafalan Kitab-Nya ,ternyata harus balik kanan, dan melapor kepada Sang Khalik untuk langkah yang harus diambil.

Tamsil ini ingin menunjukkan bahwa kehatihatian selalu dikedepankan dalam melihat segala persoalan. Tuhan tidak mengijinkan umatnya untuk ceroboh dalam bertindak, sembarang dalam berucap; karena semua akan dimintai pertanggungjawaban. Mata bisa menipu, mulut bisa berdusta, langkah bisa tersesat, hanya ketetapan Sang Maha Penciptalah yang mampu membimbing segalanya. Ternyata menjaga hati agar tetap istiqamah jauh lebih berat dari pekerjaan terberat apapun di dunia ini.

Selamat ngopi di hari Jumat…