Opini  

Daya Paksa Gaya Baru

Dr. Syarief Makhya (Foto: Istimewa)
Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh Syarief Makhya
Akademisi FISIP Universitas Lampung

Baru-baru ini untuk mengefektifkan pelayanan akan ada persyaratan tertentu misalnya untuk mengurus pemohon SIM, STNK, dan SKCK mengharuskan menjadi peserta aktif program JKN sesuai dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Hal yang sama di era pandemi untuk berpergian jarak jauh mensyaratkatkan harus divaksin tes antigen atau PCR, demikian-halnya untuk naik pesawat terbang juga harus mensyarakatkan sudah divaksin. Sebelumnya juga untuk mengurus KTP mensyaratkan harus sudah bayar PBB.

Persyaratan tersebut sama sekali tidak ada kaitanyya, misalnya apa hubungannya mengurus SIM, STNK atau SKCK dengan keharusan terdaftar sebagai peserta BPJS. Jelas, sama sekali tidak ada kaitannya. Bagi orang yang kaya raya, tidak butuh kartu BPJS karena bisa menggunakan fasilitas kesehatan mandiri.

Jadi, persyaratan pengurusan SIM, pembayaran PBB, dsb hanya sekedar untuk mengefektifkan kekuatan daya paksa negara agar ketaatan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah bisa dipaksakan dan mengikat. Fenomena ini yang disebut dengan model daya paksa baru, yang muncul kurang lebih dalam lima tahun terakhir ini.

Negara memang miliki kekuasaan yang mengikat (otoritatif) dan monopoli. Dengan modal yang dimiliki negara ini, negara bisa memaksa dan memberikan sanksi untuk kepada setiap warga jika tidak menaatinya.

Jika efektivitas daya paksa ini dengan mengharuskan ada persyaratan khusus atau persyaratan tertentu bisa ditafsirkan bahwa kekuatan daya paksa negara mulai melemah sehingga mengharuskan menggunakan pengaruh lain yaitu adanya persyaratan tertentu. Jika tidak dipaksakan melalui persyaratan tertentu, sangat mungkin tidak efektif atau tidak berhasil. Misalnya, persyaratan mengharuskan sudah di vaksin untuk bisa naik pesawat terbang atau menggunakan kereta api.

Bagaimana menjelaskan fenomena daya paksa gaya baru tersebut? Secara yuridis formal syah saja negara menggunakan pemaksaan dengan mensyaratkan persyaratan khusus atau persyaratan tertentu yang mengikat, karena penciri yang membedakan negara dengan non negara yaitu dilihat dari efektivitas kekuatan daya paksanya. Namun, fenomena tersebut juga bisa diterjemahkan lain yaitu semakin melorotnya kewibawaan dan daya paksa pemerintah, sehingga harus dicari instrumen lain agar daya paksanya mengikat.

Sangat mungkin di masa yang akan datang, fenomena keharusan ada persyaratan tertentu untuk mengefektifkan daya paksa akan digunakan pada kasus-kasus lain.

Negara dan Rakyat

Dalam dituasi darurat, menyebar dan butuh penanganan secara khusus, semisal terjadinya bencana Covid-19, sangat beralasan jika pemerintah menerapkan persyaratan yaitu harus memiliki sertivikat paksin karena tujuan nya jelas untuk mengatasi penyebaran wabah Virus Covid-19. Namun, dalam situasi normal apakah persyaratan tertentu itu diperlukan. Misalnya, persyaratan keharusan terdaftar sebagai peserta BPJS untuk mengurus atau memperoleh SIM, pada hal warga masyarakat bisa berobat secara mandiri. Jadi, di sini terkesan dipaksakan dan berlebihan dalam memaknai kebebasan menentukan pilihan pelayanan.

Di Indonesia untuk memperoleh pelayanan tidak harus diperoleh dari negara, tetapi bisa melalui swasta atau layanan yang melalui ormas tertentu. Bagi masyarakat yang memiliki penghasilan yang tinggi, mereka bebas menentukan pilihan, mau berobat atau sekolah di luar negeri tidak perlu diatur oleh negara. Konsekuensinya maka negara tidak boleh melakukan intervensi dengan model pemaksaan persyaratan tertentu kepada masyarakat.

Jadi, kekuatan daya paksa tidak selamanya mengharuskan persyaratan khusus atau persyaratan tertentu. Di beberapa negara, kekuatan daya paksa negara itu sangah ampuh dan efektif. Misalanya, larangan merokok di Singapura, atau ketertiban lalu lintas di Malaysia, di Korea Selatan, tanpa ada polisi atau petugas khusus yang mengawai mereka taat terhadap negara.

Di Indonesia terjadi sebaliknya, misalnya Pemda DKI atau Pemkot Bandung, sudah lama memberlakukan buang sampah sembarangan atau area bebas asap rokok, tetapi tetap saja ketaatan terhadap aturan larangan tersebut sangat rendah bahkan cenderung dilabrak.

Kekuatan daya paksa ditentukan di samping subtansi konten kebijakannya, tetapi juga ditentukan oleh kekuatan pemberian sanksi, penegakakan hukum, pengawasan dan tingkat kesadaran masyarakatnya yang terkait satu sama lain.

Di Indonesia, tidak bisa digeneralisasi, misalnya untuk kasus larangan merokok, titik lemahnya ada pada aspek pengawasan dan penegakkan hukum. Untuk Covid-19 tingkat keadaran masyarakat dalam mematuhi prokes relatif masih sangat lemah. Namun, yang perlu digaris bawahi kewibawaan pemerintah yang terjaga akan sangat menentukan kekuatan pengaruhnya terhadap tingkat ketaatan masyarakat. Para pemegang kewenangan dari pemerintah pusat sampai tingkat kelurahan, jika mereka tidak korup, jadi teladan, memiliki prestasi, disiplin dan orientasinya benar-benar melayani rakyat, maka akan memberikan dampak yang besar dalam membangun kepercayaan masyarakat.

Problem terbesar sekarang ini kewibawaan pemerintah cenderung merosot akibatnya pemerintah perlu menambah energi tambahan untuk melakukan kekuatan daya paksanya melalui pemberlakukan persyaratan tertentu dalam pemberian layanan publik.***