JAKARTA, TERASLAMPUNG.COM — Hashtag #Debat1PilkadaDKI bertengger di papan atas tema Twitter dalam dua belas jam terakhir. Cuitan netizen tidak jauh-jauh soal dukung-mendukung, komentar nyinyir, menyindir, memuji, dan menjatuhkan para calon kepala daerah DKI Jakarta. Tak peduli mereka warga DKI atau bukan. Yang penting hasrat menumpahkan isi hati sesuai kecenderungan pilihan politik dan ‘ideologi’-nya tercapai.
Dilihat dari isi cuitan, peta netizen bisa dibagi empat: pertama pendukung Agus Harimurty Yudhoyono-Sylvia Murni. Kedua, pendukung Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) – Djarot Syaiful Hidayat. Kedua, pendukung Anies Baswedan – Sandiaga Uno. Keempat, bukan kelompok pendukung atau independen.
Empat kelompok itu pada dasarnya bisa dibagi tiga. Pertama, pembenci Ahok. Kedua, pendukung Ahok. Ketiga, bukan kelompok pembenci atau pendukung alias independen. Karena jumlah kelompok independen relatif lebih kecil, maka peta dukungan netizen dalam Pilkada DKI Jakarta bisa dikatakan hanya terbagi dua: pendukung Ahok dan pembenci.
Tesis semacam ini memang terlihat berlebihan. Namun, fakta menunjukkan bahwa pasca-Pilpres 2014 peta dukungan politik secara nasional tidak berubah dari polarisasi pendukung dua sosok: Prabowo Subianto dan Joko Widodo (Jokowi). Dalam praktiknya, Ahok terpetakan sebagai ‘orangnya Jokowi’.
Seperti di media sosial, di atas panggung debat calon gubernur-wakil gubernur DKI Jakarta yang digelar di Hotel Bidakara, Jumat malam (13/1/2017) juga menggambarkan peta dua arus: Ahok dan Agus + Anies.
Dengan peta semacam itu, jika pilkada DKI Jakarta berlangsung dua putaran dan Ahok lolos ke putaran kedua, maka kecil kemungkinan salah satu calon yang tidak lolos akan berbalik mendukung Ahok.
Bambang Satriaji