Oleh Novriantoni Kahar
Tatkala Denny JA usai menerbitkan buku puisi-esainya, Atas Nama Cinta, medio 2012 lalu, saya ditugaskan mengontak sebagian orang. Denny JA ingin bukunya populer dan dibaca banyak orang, terutama agar pesannya sampai. Tak ada yang salah dengan itu bukan? Semua penulis ingin bukunya populer dengan berbagai taktik dan cara yang dia mungkin dan mampu. Denny JA maunya begitu. Dia juga mau meramu bukunya dalam bentuk video musikalisasi puisi. Saya mengontak banyak pembaca puisi tenar untuk terlibat; sebagian bersedia dan ada juga yang menolak mentah. Tak apa. Saya, dan tepatnya kami, menghormati yang tidak bersedia, dan berterimakasih kepada pihak yang mau bekerjasama.
Tapi yang aneh bagi saya, ada salah seorang yang secara prinsip telah sedia bekerjasama (dalam hal ini membacakan puisi dan direkam video), tapi minta dibayar dengan standar iklan kampanye politik. Denny JA memang konsultan politik yang sukses, tapi saya bilang, ini dana kocek pribadi, bukan duit politik dan atau uang siluman. Mas Denny, begitu saya menyapanya, memang terbiasa menghargai kerja profesional seseorang dengan angka yang sedikit lebih tinggi, tetapi menganggap ini sebagai proyek ajimumpung sungguh keterlaluan. Telebih lagi, genre puisi-esai yang digagas dan diperjuangkannya merupakan bagian dari misi sosial pewujudan/penguatan semangat Indonesia tanpa diskriminasi. Akhirnya kami batal memakai sang sastrawan.
Saya ingat, perbincangan saya dengan sang sastrawan soal ihwal sastra dan nama-nama lain yang ingin kami libatkan. Si ini gimana? Dia tak bagus! Si itu? Ah, dia belum ternama! Si anu? Dia pendengki! Aha, tak perlu waktu lama bagi saya untuk tahu, sang sastrawan—yang secara prinsip tidak keberatan membacakan puisi-esai Denny JA itu—dengan cepat menjelma sebagai barisan penyerca dan penentang puisi-esai Denny JA. Tahulah saya, sesosok yang dia sebut pendengki tadi, pada nyatanya tak hanya orang lain, tapi menunjuk ke dirinya sendiri. Eh di twitter, dia lalu tampil bagai sesosok idealis sejati dalam memcemooh puisi-esai. Saya hanya mendehem saja melihat betapa ajaibnya watak manusia!
Saya menulis ini bukan untuk menggeneralisasi watak menusia berkebudayaan kita mesti akan berujung macam itu. Beberapa manusia mulia juga saya jumpai. Bahkan dia-dia yang sedari awal kontra puisi-esai, sewaktu-waktu tetap ada yang bersedia saya minta sumbang-saran dan kritikan. Dan itu tanpa pamrih satu apa! Tatkala Denny JA tidak enak hati dan menyuruh saya untuk memberi imbalan yang sewajarnya sebagai tanda terima kasih, manusia mulia kita ini tetap menampik. Saya hormat sekali dan angkat topi tinggi-tinggi. Inilah bagi saya manusia berintegritas dari jenis yang kian langka!
Sebelum saya menerbitkan buku puisi-esai saya yang sepenuhnya dimotivasi dan disponsori Denny JA, Imaji Cinta Halima (ReneBook, November 2013), sosok mulia ini diam-diam masih juga bersedia memberi saran dan kritikan. Alamak, tak tahu saya harus bagaimana membalas jasa orang seperti ini. Andai dia percaya Tuhan, mungkin ucapan jazakumullah akan lebih dari cukup bagi dia. Inti yang hendak saya katakan: figur mulia kita ini menjaga integritasnya dengan cara menampik untuk terkait dan atau menerima imbalan apa pun dari sumber yang secara prinsip tidak dia setujui. Dua jempol untuknya!
Respek saya tinggi untuk orang-orang sejenis ini! Tapi respek saya, dan terutama Denny JA, juga tak kurang untuk orang-orang yang mau bekerja dengan penuh dedikasi untuk misi yang kami muliakan, dan bersedia menerima imbalan yang pantas mereka dapatkan. Ketika dia meminta orang-orang macam Sapardi, Sutardji, dan Ignas Kleden agar berkenan memberi pengantar untuk bukunya, saya tetap tak kekurangan hormat kepada integritas orang-orang ini. Mereka sudah bertungkus-lumus harus menulis, dan Denny JA tahu bagaimana menghargai jerih-payah mereka secara wajar dan bermartabat.
Dan harap dicatat dan diperiksa lagi, mereka tidak mendadak kaya raya, dan baik prolog maupun epilog yang mereka tulis pun tidak disaratkan harus bertaburan puja dan puji. Bahwa mereka bersedia menulis sesuatu tentang genre sastra yang oleh sementara orang dianggap sampah, bukanlah karena mereka lapar. Sama sekali bukan! Mereka bermatapencarian dan jauh dari lapar! Lalu bagaimana memandang mereka yang pro dan kontra puisi-esai ini?
Meminjam analogi Agus R Sarjono, di dalam dunia sastra, sebagaimana juga di dalam agama, mungkin hanya ada dua mazhab besar saja. Mazhab pertama berpegang pada kaidah “segala sesuatu haram, kecuali yang dihalalkan” oleh otoritas tertentu. Di sinilah berada para penjaga ortodoksi. Mazhab kedua bertopang pada kaidah sebaliknya: “segala hal halal, sampai ada (otoritas tertentu) yang mengharamkan”. Soal otoritas inilah yang agak pelik di negeri ini: siapa yang kredibel menahbiskan siapa dan dengan ukuran apa? Social trust begitu tipis!
Saya beranggapan, orang-orang yang saya sebutkan tadi adalah orang-orang yang mungkin berpegang pada kaidah pertama karena mereka selalu menaruh harapan terhadap berbagai percobaan yang ingin dan mungkin di dunia sastra. Bahwa mereka kemudian mendapat imbalan dari hasil kerja mereka, itu tentulah wajar belaka sebagaimana semua orang akan senang dihargai jerih-payahnya. Tapi mengatakan mereka melakukan itu semata-mata demi uang dan melacurkan diri, alamakjang, dalam lautan mudah dikira, batin orang siapalah yang tahu? Kalau anda tertarik menduga-duga atau mereka-reka urusan ini, ya terserah andalah!
Kubuisme, Moralisme, Otoritarianisme
Saya pemula di bidang sastra, dan saya kini melihat kubuisme, moralisme, dan otoritarianisme juga nyata di dunia sastra, dan itu mungkin sudah lumrah dan sudah sejak duhulu kala. Tapi di titik itu bukan tak terkandung berbagai paradoks. Ketika institusi tertentu menjatuhkan penghargaannya kepada karya sesosok A, kubu B murka dan menganggap dewan juri berpihak kepada pilihan-pilihan yang bersponsor. Anehnya, juri yang sebelumnya tergugat dulu itu, kini merasa suci pula dengan mencap juri tim lain melakukan kesalahan yang tak mungkin lagi tertolong.
Ketika majalah T mengumumkan karya sastra pilihannya, kubu U bersorak-gembira dan menyatakan inilah pilihan yang kebenarannya ceta wela-wela. Eh kini mereka pula yang paling ribut karena sesosok sastrawan yang konon akan dianugerahi pencapaiannya oleh sebuah lembaga justru dibatalkan karena urusan bias ideologi dan kubuisme warisan kakek-nenek yang telah aus dan usang. Yang ingin saya tekankan di sini: anugerah-anugerah sastra, pada umumnya bukanlah hitung-hitungan ilmu pasti seperti akun @FaktaAgama. Like and dislike niscaya, tapi yang pertama dan terutama adalah bagaimana memperhatikan kriteria-kriteria yang ditetapkan oleh si pemberi anugerah atau pihak penyelenggara.
Kubuisme ini tampaknya juga ikut membuat para sastrawan yang konon lembut hati dan lentur imajinasi serta tak hitam-putih dalam membuat pilihan, terjatuh pula pada godaan moralisme. Seorang sastrawan bisa saja terjerat perkara asusila, dan dia tentu saja akan segera mendapat berbagai cap moral yang tidak bermarwah. Tapi saya perhatikan, para pengecam yang paling lantang ingin merajam si bejat-moral ini pun boleh jadi tak kalah bobrok moralnya dalam berkata dan bertingkah. Bagaimana mungkin anda bicara moral jika anda sendiri masih menghadapi pertanyaan panjang dalam urusan moral? Anda sastrawan atau algojo yang akan mengeksekusi terdakwa?
Mau contoh lain soal kenyinyiran moral? Anggaplah ini kisah fiksi. Sastrawan A ingin mengadakan promosi buku yang tampaknya padat dana, sementara dukungan para pihak begitu minimal dan tampak tak padat. Jika bermoral tinggi, sastrawan A tak perlulah mengumbar pengorbanannya demi sastra dengan mengontraskannya dengan asumsi-asumsi pribadi tidak berdasarnya tentang kepadatan modal tim yang dikecamnya. Mau pencitraan atau mengiba di muka publik luas agar beroleh sokongan, tentu boleh-boleh saja! Tapi berkaca diri ihwal moral pribadi juga perlu: apakah tak pernah menadahkan tangan ke pihak yang anda kecam?
Sebaiknya luruskan dulu hipokrisi-hipokrisi macam begini dan mari sama-sama berkarya sebaik-baiknya agar sastra lebih bermarwah dan tak hanya tinggal sebatas akrobat kata-kata yang main-main rima kosong dan metafora yang hampa.
Selain moralisme, ada pula soal otoritarianisme. Di era demokratisasi pilitik dewasa ini, mestinya juga terjadi demokratisasi pilihan dan selera. Berbagai produk budaya, juga sastra, mestinya berada dalam ruang kontestasi yang akan terseleksi tiada henti. Seleksi selera oleh publik dan pilihan mutu oleh lembaga tertentu, tentu tak terhindarkan. Tapi agak menyedihkan jika di ranah sastra muncul sejenis mentalitas otoriter macam FPI dan MUI yang semau hati saja ingin membubarkan ini dan itu, atau memaksa ani dan anu. Kepongahan-kepongahan seperti itu mestinya tak terjadi di ruang-ruang kebudayaan yang menghargai manusia utuh: yang bisa salah dan bisa benar, dan tiap-tiap kesalahan dapat ditebus dengan koreksi yang lebih baik. Sastra dengan begitu, mestinya merupakan ranah desakralisasi tiada henti, bukan mengidamkan dan menjadi ranah sakralisasi yang tidak perlu.
Polemik 33 Tokoh Sastra
Sekarang mari bicara soal polemik buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh (PDS HB Jassin dan KPG, 2014) yang memicu mukadimah saya yang kepanjangan ini. Bagi saya pribadi, teramat dangkal jika polemik ini disederhakan hanya soal uang dan tuduhan “laparnya” PDS HB Jassin dan Tim Delapan. Saya paham, bagi sebagian jiwa pemberontak, persoalan infrastruktur dipandang jauh lebih penting dari suprastuktur. Semua ini tentang hajat hidup yang pokok dan tak bisa abstrak, pikir mereka. Manusia berbuat bukan karena apa yang ada di kepala, tapi akibat panggilan perut saja. Bagi saya, betapa kejinya tuduhan itu dan betapa hina-dina pihak-pihak yang mewujudkan buku 33 Tokoh ini!
Yang saya pahami dari telaah saya atas garis besar buku ini: (1) Buku ini tentang “tokoh sastra” dan bukan tentang “sastrawan”. (2) Buku ini juga tentang “pengaruh” di ranah sastra dan lainnya, bukan tentang pencapaian “estetika” bersastra si tokoh sastra. Dari dua butir ini lalu timbul polemik ketiga (3), yakni soal kepantasan munculnya nama Denny JA. Sungguh tak mudah mengukur ketokohan dan kepengaruhan semacam itu dan itu diakui sendiri oleh kritikus hebat seperti Katrin Bandel dalam sebuah kritiknya. Dalam bayangan saya, tim yang menyeleksi bisa saja benar dan lebih mungkin lagi alpa dan keliru.
Tapi saya pribadi berpandangan, upaya penyusunan daftar (listing) seperti ini tetap perlu di banyak bidang, bahkan sangat perlu di bidang sastra demi memudahkan di tingkat pemasyarakatan sastra. Penyusunan daftar bisa dalam bentuk apa saja, baik menyangkut karyanya, sosoknya, pencapaiannya, maupun pengaruhnya. Saya pribadi mendapat wawasan yang oke dan menimba banyak ilmu dari buku ini. Pandangan saya, ini bukan buku yang dikerjakan secara kacangan bin asal-asalan, dan pada aspek itu dedikasi tim yang mewujudkannya pantas beroleh respek.
Lalu bagaimana dengan munculnya nama Denny JA? Anda boleh mencibir karya, kontribusi, dan kepantasan pengaruhnya untuk masuk ke dalam jajaran 33 daftar nama itu. Anda boleh pula bertindak hipokrit, mengajukan kerjasama di saat nikmatnya dan menghindar di saat laknatnya, karena kondisi kejiwaan manusia memang kompleks dan ajaib. Tapi saya ingin menambahkan sedikit cerita tentang kiprah Denny JA di dunia sastra kita saat ini. Seingat saya, Denny JA tidak pernah percaya kalau buku puisi akan laku baik di pasaran Indonesia maupun di belahan dunia mana. Karena itu, dengan modal sendiri, ia menempuh cara-cara non-konvensional agar bukunya populer, dibaca banyak orang, dan menggerakkan sesuatu.
Apa sesuatu itu? Terwujud atau menguatnya Indonesia tanpa diskriminasi dalam aspek-aspek yang ada di buku itu. Dia akan bersyukur jika perjuangan ini didukung pula oleh banyak pihak, terutama anak muda. Makanya ia online-kan bukunya; tujuh juta lebih yang membaca. Dia lombakan genre penulisannya agar genre yang konon tak sepenuhnya baru ini dikenal luas, dan terutama agar isu diskriminasi mendapat medium ekspresi yang sastrawi. Dia videokan musikalisasinya. Dia film-pendekkan ceritanya. Pendeknya, segala upaya yang memang tak sepenuhnya bertujuan sastra demi semata-mata sastra.
Apa istimewanya? Visi itu istimewa dan berjalan massif. Di tahun pertama lomba puisi-esai, 400-an naskah masuk dan sebagian tidak buruk untuk ukuran para pemula yang mulai berkesadaran sastra. Di tahun kedua, 800-an naskah masuk, dan saya yang ikut membaca beberapa, percaya kalau 10 persen di antaranya punya pencapaian estetika yang mungkin melampaui penyinyir Denny JA. Anak-anak muda ini mungkin saja mengejar hadiah, tapi semoga mereka juga tergugah oleh medium sastra yang berpesan, bukan sastra yang sekadar bermenung-sendirian.
Janganlah salah sangka, bukan saya tak suka akan sastra yang bermenung-durja dan berhebat-akrobat dalam pengolahan kata, namun saya dan kami lebih suka sastra yang percaya akan mukjizat kata-kata sekaligus tidak abai terhadap pergumulan kongkrit manusia di sekitarnya.
Dalam masa dua tahun yang produktif ini, setidaknya telah lahir 10 buku puisi-esai dan akan lahir lebih banyak lagi. Denny JA sadar sekali, genre ini masih mencari bentuk dan proses seleksi, dan dari sisi estetiknya memang belum begitu ketat. Tapi dia juga yakin, bila gerakan ini bersinambungan, tentu akan terjadi proses-proses seleksi dan pengetatan mutu. Bukankah sastra bergerak seperti itu: bergumul dalam ketegangan tiada henti antara konvensi dan invensi dan konvesi lagi sampai muncul lagi upaya invensi? Denny JA mungkin bukan sastrawan konvensional, tapi dia telah dan akan melahirkan sastrawan. Terserah saja anda mau sebut sastrawan berbayar!
Itu juga yang dipercayai Denny JA, karena dalam pengamatan atau surveinya yang tak/belum kunjung padam itu, sastra, terutama puisi, kian lama kian berjarak dengan masyarakat. Dia ingin berbuat sesuatu dan itu dengan uangnya sendiri yang tidak tak terbatas. Anda bisa bilang orang kaya boleh memberakkan uangnya di mana saja tanpa perlu mencantumkan nama. Tapi manusiawi juga bila Denny JA ingin dikenang namanya di bidang-bidang yang digelutinya. Toh banyak orang kaya yang punya uang dan tak perduli sastra, apalagi jika harus menyinggung-nyinggung persoalan yang dianggap sensitif dan mengandung resiko secara bisnis dan terhadap nama baiknya.
Apa sebatas itu kontribusinya? Dengan segenap kenarsisannya, banyak juga hal lain yang tak diiklankan. Keprihatinannya terhadap sastra dan bantuannya kepada para sastrawan, terutama terhadap mereka yang mulai tua dan sakit-sakitan, adalah nyata. Saya tak perlu menuliskan daftar namanya. Apakah menjadi 33 tokoh sastra berpengaruh ini semata-mata kompensasi atas kiprah sosialnya? Semua anugerah pada hakikatnya merupakan buah dari apa yang kita tanam. Bedanya hanya soal bila dan kapan waktu memanen. Sebagian orang memang berprinsip tanam saja, tak perlu memanen apa. Denny JA mungkin agak berbeda. Kalau begitu, apa tak sebaiknya Denny JA mendapat anugerah dari Kemenenterian Sosial saja? Persoalannya, kiprah sosialnya itu—besar atau pun kecil—sangat spesifik di bidang pemikiran dan kebudayaan.
Karena itu, saya amat menyesalkan ungkapan Denny JA yang menyebut dirinya seorang “pengelana budaya” tatkala merespon polemik 33 tokoh sastra ini. Watak pengelana adalah kunjungan yang sementara untuk kemudian dengan mudah lagi pergi dan berpindah. Saya, dan semoga pula publik sastra, berharap dia benar-benar mengukuhkan dan memantapkan dirinya sebagai tokoh sastra yang enteng rejeki dan rajin berkontribusi. Para pengelola rumah-rumah kebudayaah kita tahu belaka betapa pentingnya mempertahankan swadaya dan negeri ini selalu kekurangan orang-orang kaya dari jenis Denny JA. Akibatnya, kita selalu tak bisa lepas dari pendanaan luar negeri. Ini diperpelik pula oleh kian sulitnya kolaborasi antara “seni tinggi” dengan rekayasa selera/kehendak populer yang bisa ditopang oleh bisnis yang kuat dan sukses.
Saya sangat menghayati sindiran Mas Goen atau Goenawan Mohamad yang menyebut dirinya lebih suka menjuarai maraton ketimbang dinobatkan sebagai tokoh sastra berpengaruh. Ya, aktivitas maraton memang mengandaikan adanya kesabaran dan kesinambungan antara gerak dan stamina agar sampai ke garis finish yang kita damba. Saya pun ingin Denny JA menjuarai maraton, walau kerap kali pola pikirnya berpihak kepada kecepatan dan percepatan ala sprint. Saya justru kuatir jika Denny JA benar-benar menjadi pengelana budaya setelah dinobatkan atau direnggut darinya status 33 tokoh sastra Indonesia berpengaruh itu. Jika itu terjadi, mungkin saya akan jadi orang pertama yang mengutuknya mampus.
Apakah dengan begini dia pantas menjadi salah satu tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh? Silakan pertimbangkan saja kelebihan dan kekurangan metodologi dan kriteria yang digunakan tim yang menobatkannya. Saya hanya tak ingin mengabaikan kerja keras dan kontribusi penting, baik yang saya dapatkan dari isi buku ini maupun pada apa yang dilakukan Denny JA dengan segenap kerendah-hatian plus kenarsisannya. Jika anda di pihak pemusnahan, bukan penyempurnaan, terserah saja. Tapi tolong buku ini ditelaah dan dikaji dulu secara seksama dengan mempertimbangkan masak-masak baik-buruknya. Hargai pula jerih payah orang dan pihak-pihak yang telah mewujudkannya. Itu saja pinta saya.
Siapa saya? Cuma penulis buku bergenre puisi-esai seperti dirintis Denny JA yang mungkin sastra dan mungkin pula sampah. Meski begitu, saya menaruh harapan kepada sastra yang indah sekaligus memuliakan kemanusiaan.
Jakarta, 10 Januari 2014.
* Penulis buku kumpulan puisi Imaji Cinta Halima
Sumber: inspirasi.co