Di Balik (Rencana) Kepindahan Bakso Sony ke Luar Bandarlampung

Bagikan/Suka/Tweet:

Oyos Saroso H.N.

Dalam beberapa hari terakhir jagat dunia maya di Lampung dihebohkan dengan viralnya berita rencana pindahnya Bakso Son Hajisony atau Bakso Sony ke luar Kota Bandarlampung.

Kehebohan bermula dari pengumuman melalui sebuah banner. Tulisannya: “Kami dari management Bakso Son Hajisony, ingin memberitahukan bahwa Bakso Son Hajisony akan memfokuskan perkembangan usaha di luar Kota Bandar Lampung dan outlet yang ada di Bandar Lampung mungkin akan segera ditutup dan dipindahalihkan ke luar kota. Terima kasih atas dukungan dan kepercayaan pelanggan selama 40 tahun. Hormat Kami pegawai dan pengurus Bakso Son Hajisony.” 

Pengumuman itu menjelaskan bahwa mungkin semua gerai (18 gerai) Bakso Son Hajisony atau Bakso Sony akan segera ditutup dan pindah ke luar kota. Luar kota yang dimaksud mungkin adalah di wilayah Lampung Selatan, Pringsewu, Lampung Tengah, Metro, dll.

Mudah diduga, pengumuman itu merupakan jawaban atas penutupan sementara beberapa gerai Bakso Sony oleh Pemkot Bandarlampung karena Bakso Sony tidak maksimal dalam memasang tapping box. Para penggemar Bakso Sony yang sudah menjadi pelanggan selama puluhan tahun bersedih. Banyak yang menyayangkan rencana kepindahan. Banyak pula yang mengumpat dan marah dengan Pemkot Bandarlampung. Penggemar Bakso Sony marah, karena kepindahan itu dipastikan terkait dengan penyegelan enam gerai Bakso Sony lantaran tidak maksimal memasang tapping box (alat pencatat transaksi). Ada pula yang menyebut Pemkot sudah melakukan abuse of power sehingga Bakso Sony hengkang. Yang lain sambil menahan rasa sedih menyebut bahwa Bakso Sony sudah sangat berjasa selama puluhan tahun karena menjadi ikon wisata kuliner di Lampung.

Banyak bermunculan berita dan opini warganet yang menyayangkan sikap Pemkot Bandarlampung yang menyegel sementara gerai Bakso Sony. Namun, tak sedikit pula yang menyayangkan kengototan Bakso Sony untuk tidak mau memasang tapping box. Pihak yang menyalahkan Pemkot Bandarlampung menyebutkan bahwa di tengah pandemi Covid-19 seharusnya Pemkot Bandarlampung bijak dalam memungut pajak. Janganlah hanya karena untuk menutup utang atau menutup defisit anggaran kemudian “memaksa” pengusaha menyetor pajak.

Sementara pihak yang menyayangkan sikap Bakso Sony menyebutkan alasan Bakso Sony tidak mau memasang tapping box tidaklah tepat. Sebab, tapping box dipasang atas inisiasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Yang punya ide lalu merekomendasikan Pemkot Bandarlampung memasang tapping box bukanlah Walikota Bandarlampung (kala itu Herman HN), tetapi KPK. Tujuannya: agar transaksi tercatat secara transparan dan besaran pajak yang harus disetor menjadi jelas.

KPK sepertinya sudah paham betul bahwa selama ini di banyak kota telah terjadi ‘deal-deal‘ atau cincay-cincay alias kesepakatan di bawah tangan antara para pengusaha besar dengan oknum Pemda. Pemainnya bisa jadi bukan langsung bupati/walikota dengan pengusaha tetapi oknum penarik pajak Pemkab/Pemkot (Dinas Pendapatan Daerah). Cincay-cincay itulah yang menyebabkan banyak uang pajak menguap. Jumlah pajak yang disetor secara resmi ke Pemda jauh lebih kecil dibanding jumlah yang seharusnya. Namun, itu membuat proses penyetoran pajak menjadi lancar. Dan yang lebih penting oknum pemda dan pengusaha sama-sama enak. Jumlah setoran pajak sudah bisa ditentutan sejak awal. Persentase yang masuk ke kantong oknum sudah sangat jelas.

Untuk mencegah terjadinya cincay-cincay hohe alias setoran pajak yang tidak semestinya, KPK kemudian merekomendasikan kepada sejumlah pemda memasang tapping box. Tentu saja, walikota/bupati atau oknum yang sudah terbiasa dengan setoran persentase pajak dari para pengusaha menjadi tidak bisa berkutik dengan adanya tapping box ini. Mungkin saja, dalam hati banyak kepala daerah sebenarnya banyak yang tidak mau memasang tapping box. Tapi mau bagaimana lagi? Ini yang merekomendasikan KPK. Berani menolak? Kalau tidak mau memasang tapping box, maka si kepala daerah mendapatkan cap “tidak mendukung transparansi” dan “tidak antikorupsi”.

Dengan latar belakang kurang lebih seperti itu, maka penolakan Bakso Sony untuk memasang tapping box menjadi aneh. Aneh, karena ia seolah-olah ingin menolak aturan. Lebih aneh lagi karena toh uang pajak 10 persen yang harus disetor ke Pemkot Bandarlampung adalah uang yang sudah dipungut oleh Bakso Sony dari para pelanggan untuk setiap transaksi. Artinya, ketika seorang pelanggan makan bakso seharga Rp15 ribu/porsi (itu sudah termasuk 10 persen pajak), misalnya, maka 10 persen itu yang membayar adalah pelanggan.

Di Indonesia, sudah banyak Pemkot dan Pemkab yang memasang tapping box. Di Lampung, baru Kota Bandarlampung yang mewajibkan pengusaha memasang tapping box. Namun, ke depan bukan tidak mungkin semua Pemkab di Lampung juga memasang tapping box. Kalau itu terjadi, mau pindah ke mana pun Bakso Sony tidak bisa mengelak untuk tidak memasang tapping box.

Karena masalah pemasangan tapping box ini sebenarnya persoalan sangat sederhana, maka banyak pihak yang menduga kengongotan Bakso Sony untuk tidak mau memasang tapping box dan hendak pindah ke luar kota bukan semata-mata karena membayar pajak. Sangat boleh jadi, ada masalah lain yang lebih pelik dibanding sekadar soal tapping box. Apa itu? Hanya pemilik Bakso Sony yang tahu.

Yang pasti, memang, kita tidak boleh mentang-mentang dalam banyak hal. Kita tidak boleh mentang-mentang sudah superjumbo lalu ingin mendapatkan keistimewaan. Kita juga tidak boleh mentang-mentang berkuasa lalu ingin mau seenaknya sendiri.

Pemilik kekuasaan bukan sekadar mereka yang menjabat sebagai presiden, menteri, gubernur, walikota, bupati, camat, dan lurah/kepala desa. Yang termasuk pemilik kekuasaan adalah pengusaha besar yang dengan kekuatannya bisa mengatur ini-itu.

Oleh sebab itu, biar tidak ada yang mentang-mentang, agar fair, dan masyarakat tidak dirugikan, saya sangat mendukung jika semua pajak yang masuk ke Pemkot Bandarlampung jauh sebelum pemasangan tapping box diaudit. Kalau “berkat” tapping box pajak yang mesti disetor oleh 18 gerai Bakso Sony sebesar Rp 400 juta/bulan, maka per tahun pajak yang harus disetorkan Bakso Sony ke Pemkot Bandarlampung sebesar Rp4,8 miliar.

Pertanyaannya: sejak kapan Bakso Sony memiliki 18 gerai bakso di Bandarlampung?  Sebelum ada pemasangan tapping box, berapa berapa rata-rata pajak yang disetor untuk semua gerai Bakso Sony per bulan?

Kalau nilainya ‘sangat njomplang‘ antara pajak ketika belum dipasang tapping box dengan setelah dipasang tapping box, maka pertanyaannya adalah: kenapa hal itu bisa terjadi?

Sekali lagi, dalam melihat persoalan ini kita tidak boleh hanya semata-mata melihat bahwa ada ratusan juta rupiah yang disetorkan Bakso Sony ke Pemkot Bandarlampung tiap bulan. Yang disetorkan itu adalah pajak yang dikumpulkan dari para pelanggan. Jadi itu memang bukan haknya Bakso Sony. Mau satu miliar per bulan pun, itu hanyalah 10 persen dari pendapatan Bakso Sony.  Itulah yang mestinya disetorkan ke Pemkot Bandarlampung.

Bagaimana kalau Bakso Sony tetap pindah dari Bandarlampung? Tentu Pemkot Bandarlampung akan rugi, karena kehilangan salah satu sumber PAD. Tapi kalau pertanyaan itu diajukan kepada saya, maka jawabnya adalah “Sangat disayangkan. Mestinya masing-masing tidak perlu ngotot.”

Kalau pertanyaan itu diajukan kepada Wak Kajol mungkin jawabannya adalah: “Ya Alhamdulillah. Pindah ke Planet Mars pun silakan karena saya bukan penggila bakso. Ngapain mikirin pedagang yang mau enak dan menangnya sendiri!”