Di Dalam Gerah di Luar Tuli

Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh : Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial pada Pascasarjana FKIP Unila

Pada saat menghadiri acara keluarga di suatu perkampungan agak jauh dari pusat kota, khas perhelatan pedesaan saangat terasa. Tenda terbuat dari bahan plastik, tempat duduk sederhana dari pelastik juga, dan iringan music khas desa dengan sound sistem yang menggelegas.

Kondisi seperti ini di perkampungan sudah sangat meriah, apalagi disertai panganan perdesaan seperti juadah, wajik dan teh manis atau kopi manis. Mereka hadir dengan keceriaan tersendiri dengan membawa seluruh anggota keluarga menghadiri perhelatan ini. Sebagai orang yang biasa melakukan penelitian di perdesaan; kondisi seperti ini sudah sangat familiar, bahkan mengasikkan karena dapat berbaur bersama responden.

Namun untuk saat ini, yang usia makin mengejar mendekati final, tenaga makin berkurang, fungsi organ tubuh makin menurun, akibatnya yang semula bisa dinikmati, menjadi tidak nyaman. Duduk di dalam tenda terasa sangat gerah, karena langit langit tenda begitu rendah, berwarna yang memantulkan sinar matahari. Sementara jika duduk di luar sana, telinga sudah tidak kuat menahan dentuman sound sistem yang entah berapa dB lebar suaranya. Mau cepat cepat tinggalkan arena, takut persepsi tuan rumah merasa ridak dihargai. Maka perilaku yang sitampilkan keluar masuk tenda.

Pada saat itulah jadi ingat, begitu pula saat menjadi anggota komunitas dari suatu sistem sosial tertentu yang ada di dalam media sosial. Saat membaca komentar anggota lain terkadang berguman sendiri seperti ini kok ditampilkan; apalagi jika itu ditampilkan oleh seorang pejabat tertinggi di suatu institusi.

Tidak menyadari bahwa pejabat itu punya etika kepatutan, di antaranya tidak melukai hati yang dipimpin, sekalipun yang bersangkutan pada waktu pemilihan berada pada posisi yang berseberangan. Perbedaan adalah sunatullah dan bukan dendam sepanjang masa. Sebab, jika dendam yang dipelihara, mustahil organisasi akan berjalan seiring sejalan, justru yang ada satu di siring satu di jurang, semua tidak merasakan nikmatnya sebagai manusia.

Kemudian membaca komentar atau tanggapan dari anggota lain; kitapun berbicara dalam hati, ini komentar apa penjilatan, yang keduanya sering sulit dibedakan. Sementara jika yang tampil mereka yang tidak punya strata sosial, tidak ada satupun yang memberi tanggapan. Menarik lagi anggotanya bisa banyak, tetapi yang tampil itu itu saja. Pengomentar setia jika pimpinan tampil juga itu itu saja. Kalimatnya yang dipakai pun standar untuk memuji dan memuja, kemudian mengangkatnya setinggi langit.

Hal yang sama sedang berlangsung pada sandiwara kehidupan, mereka yang tampil itu saja, bahkan merasa menjadi role model, padahal orang lain hanya menikmati tingkah polah yang ditampilkan. Menyedihkan lagi jika perilaku yang ditampilkan bak penari yang menari tidak sinkronnya antara music dengan tarian. Sementara orang lain mentertawakan dalam hati, atau malah berkomentar tidak tertulis, menggunakan bahasa “Jin” yang mendengar dan tau hanya dirinya dan Tuhan. Tampilan dibuat seberwibawa mungkin, sehingga tampak sangar dari jauh, atau jaga image; sehingga seperti pepaah lama “bak Katak ingin jadi lembu”.

Pencarian panggung untuk pencitraan baik dalam dunia maya maupun dunia nyata selalu dikejar untuk mendapatkan kesan bahwa diri adalah pribadi yang baik atau pemimpin yang baik. Akibatnya media sosial digunakan untuk menjadi ajang pencitraan, walaupun ini sah sah saja karena tidak ada peraturan yang dilanggar, hanya kepatutan yang memiliki standard norma yang sangat normatiflah yang sering membuat geleng kepala.

Model komunikasi begini membuat mau tetap di dalam group, tetapi serasa gerah, mau keluar nanti tuli tidak mendapat informasi apapun. Mau diam saja terkadang telinga merah membaca komen. Akhirnya banyak anggota mengambil langkah aman menjadi tukang simak dan tukang hapus; kemudian secara diam diam keluar saat semua terlena.

Menggunakan piranti sosial dengan cara bijak dalam berkomunikasi adalah tuntutan masa kini yang tidak dapat kita anggap remeh; karena tatap wajah untuk saat ini tidak perlu secara fisik, tetapi lebih dengan cara firtual. Oleh karena itu pemakaian piranti harus disertai etika yang tinggi dalam melakoninya, terutama dalam pemilihan diksi, sehingga tidak menimbulkan multitafsir bagi penerimanya. Jaga pikir, jaga lidah, dan jaga jemari adalah tuntutan masa kini untuk tidak saling melukai.

Selamat ngopi pagi….