Oleh Odi Shaladdin
Adji Koesoemo menjelang persidangan, Rabu (31/12/2014) |
Dia memang bukan pahlawan. Jika kita menyebutnya sebagai pahlawan, saya yakin, ia akan tertawa terbahak dan dengan tegas menolaknya. Jika kita menyatakan bahwa kehidupan adalah perjuangan dan perlawanan, barangkali ia akan bersepakat dan mengepalkan tangan kiri menandakan persetujuannya.
Dia, seorang aktivis mahasiswa tahun 1980-an yang senantiasa terlibat dalam aksi-aksi mahasiswa di Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada saat menentang Undang-undang Lalu Lintas (UULL) di awal tahun 1990-an, ia melakukan aksi mogok makan di depan gedung Senisono. Aksi panjang yang melibatkan berbagai komponen yang berhimpun di Komite Solidaritas untuk Transportasi Darat (KOSTRAD).
Ia juga termasuk salah seorang yang aktif belajar dan bekerja bersama rakyat membangun organisasi rakyat sebagai media untuk membela kepentingan mereka sendiri. Diantaranya bersama masyarakat Parang Tritis yang tergusur dan para petani pesisir pantai selatan Kulon Progo yang menolak penambangan pasir besi.
Selepas mahasiswa, kegiatan bersama kelompok-kelompok masyarakat yang terpinggirkan tetap dipertahankan. Sampai pada kasus dukungannya kepada warga Karang Wuni yang menolak pembangunan apartemen The Uttara Icon oleh pengembang PT Bukit Alam Permata di di jalan Kaliurang Sleman yang membawanya ke tahanan dan harus menjalani proses pengadilan.
98 hari sudah ia berada dalam tahanan dengan tuduhan awal sebagai provokator namun kemudian berganti menjadi sangkaan perusakan reklame berupa banner dan gypsum yang menyebabkan kerugian pengembang sekitar 100 juta.
Dialah RM Adjie Koesoemo (49 tahun), cicit dari Sultan Hamengku Buwono VII, kelahiran 4 November 1965. Bapak dari tiga orang putri ini, dalam pembelaan yang dibacakannya pada persidangan Rabu siang (31/12) menyatakan bahwa saat kejadian tersebut, hari Jumat tanggal 13 Juni 2014, menjelang sore, dari rumah saya di kampung Dukuh, kecamatan Mantrijeron, Yogyakarta, datang menjemput perwakilan warga padukuhan Karangwuni, desa Catur Tunggal, Sleman untuk hadir memberikan dukungan atas unjuk rasa penolakan warga setempat menentang pendirian gedung apartemen.
Penangkapan dan penahanan Bung AK, demikian sebagian kawan memanggilnya, dinilai oleh para aktivis lingkungan dan HAM terlalu mengada-ada, mengingat seorang tersangka lainnya tidak dilakukan penahanan. Permintaan penangguhan penahanan, ditolak oleh ketua Majelis Hakim dengan alasan persidangan akan diupayakan berlangsung lebih cepat selesai.
Nota pembelaan yang dibacakan oleh Bung AK, diberi judul: Bonanza Properties, Tarik Tambang Konsesi Perizinan dan Banjir Sampah Visual yang mengupas secara kritis tentang persoalan-persoalan lingkungan sebagai dampak dari menjamurnya pembangunan hotel dan apartemen di Sleman.
“Sebagian pelaku bisnis perhotelan sebenarnya merasakan keadaan hampir mencapai titik jenuh. Perhimpunan Hotel dan Restoran (PHRI) DIY tahun 2013 mencatat 1.160 hotel terdiri 60 hotel berbintang dengan lebih 6.000 kamar dan 1.100 hotel kelas melati dengan 12.660 kamar. Walaupun kinerja perhotelan masih rendah, tetapi penambahan jumlah kamar dibiarkan naik drastis hampir 200 persen sepanjang 2011 – 2014,” demikian data yang diungkap oleh Bung AK.
Yang dipersoalkan, ialah terjadinya perebutan akses sumberdaya air di kedalaman tertentu lapisan tanah. Air bersih adalah sumber vital bagi kehidupan bersama dan karenanya rentan konflik. Sengketa agraria bukan saja mencakup kejadian dan peristiwa di atas tanah, namun juga meliputi bumi dan air yang terkandung di dalamnya termasuk potensi kecemaran sanitasi akibat ulah manusia.
“Khusus di Daerah Istimewa Yogyakarta, keterlibatan saya bersama sejumlah aliansi gerakan rakyat terhadap beragam kasus struktural yang dipicu pengambil-alihan tanah masyarakat oleh kuasa modal dan pemerintah, pastinya harus berbenturan kepentingan elite setempat. Sebagai pegiat lingkungan dan HAM, ancaman balik terhadap diri saya dapat manifes dan laten, yang kali ini benar-benar terjadi, ialah tindakan mengkriminalisasi atas kegiatan advokatif saya,”
Sikap kritis terhadap persoalan-persoalan lingkungan dan HAM, dinyatakan oleh Bung AK bukan karena ia anti investasi atau menolak pembangunan. “Saya percaya dan tahu bahwa investasi adalah bagian penting dari kegiatan ekonomi masyarakat. Tetapi, kalau mau bisnis, ya mulailah bisnis dengan cara-cara elegan, normatif dan fairness. Mengawali bisnis sangat penting jika usaha itu dilakukan dengan mengelola daya dukung lokal agar sinergis.”
Mensikapi dakwaan yang ditujukan kepada dirinya, AK mempersoalkan tentang kerugian yang diderita pengembang sebesar 100 juta, pada keterangan di persidangan tidak mampu ditunjukkan bukti nilai actual cost kerugian pengembang. Berdasarkan informasi pembanding yang juga dilengkapi dengan contoh duplikat pencetakan selembar banner dengan ukuran panjang, lebar, jenis, dan kualitas bahan yang sama persis dengan barang bukti. Ternyata, ongkos biaya printing dan design banner duplikat ini tidak lebih dari Rp. 300 ribu selembar.
AK menyatakan bahwa ada pihak-pihak lain yang secara konspiratif ‘menargetkan’ dirinya sebagai terdakwa, ialah asal Adji Koesoemo masuk penjara. “Balas dendam subyektif sudah dapat saya duga dari mana dan siapa saja mewarnai pergaulan saya sebelum peristiwa ini,” tegasnya.
Kasus yang menimpa Bung AK telah melahirkan solidaritas para aktivis lingkungan dan HAM yang membentuk Komite Aksi Peduli Aktivis Lingkungan (KAPAL) Yogyakarta yang selalu setia hadir dalam setiap persidangan. Simpati dan dukungan juga diperoleh dari Ketua Komnas HAM yang sempat menjenguknya saat berada di tahunan Polres Sleman, kunjungan Wakil Bupati Sleman di LP Cebongan, dan berbagai organisasi lingkungan dan HAM di Indonesia.
Ya, Bung AK, yang diketahui sebagai penemu beras merah-putih memang bukan pahlawan, tapi tidak diragukan komitmennya untuk terus berjuang membela kepentingan rakyat yang terpinggirkan. Ini adalah salah satu ujian bagi pemerintahan Jokowi, apakah akan membungkam suara-suara kritis masyarakat sipil?
Yogyakarta, 31 Desember 2014
Tulisan ini dimuat juga di Kompasiana. Tulisan lain Odhi Shalahuddin bisa dilihat di http://odishalahuddin.wordpress.com