Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
Beberapa hari lalu diundang oleh sebuah sekolah ternama di Lampung ini untuk membagikan tahu kepada guru yang belum tahu, dan menambah tahu kepada mereka yang sudah tahu, berkembanglah diskusi-diskusi menarik sekitar persoalan pendidikan dan sejumlah persoalan yang melingkupinya. Ternyata ada yang mengejutkan dari jumlah mereka yang hadir sebanyak delapan puluh orang yang hadir itu, lima puluh persennya adalah guru honor, yang oleh penguasa diberi nama baru non-ASN. Pendapatan mereka perbulan rata-rata Sembilan ratus ribu rupiah dengan jam kerja sama dengan guru negeri. Waktu ditanya sumber dana dari mana untuk membayar mereka, pimpinan sekolah dengan sedikit tertunduk lesu menjawab dana Komite Sekolah.
Kondisi ini menantang penulis untuk melakukan penelitian mini, guna menemukenali persoalan mendasar dari kejadian seperti itu. Dari hasil lapangan ternyata banyak persoalan yang carut-marut, dan perlu penanganan khusus untuk mengurai persoalan. Berdasarkan temuan lapangan ditemukan bahwa kebutuhan pendidikan per-siswa per-tahun ada pada angka tujuh juta limaratus, sudah termasuk pakaian seragam.
Kemudian saat dikonfirmasi dengan dana BOS dari pusat, ditemukan angka per-siswa hanya dapat dibiayai oleh BOS satu juta limaratus ribu rupiah persiswa pertahun. Sementara dana BOS-Daerah diterima dalam bentuk rehab sekolah, atau bantuan fisik penunjang lainnya, yang semua itu tidak langsung dimanfaatkan oleh siswa.
Saat dikejar soal pengumpulan dana Komite Sekolah; ternyata setiap tahun sekitar 15% sampai 20% tidak masuk karena ketidakmampuan orang tua siswa. Oleh sebab itu untuk membayar gaji guru honor sangat tergantung kemurahan hati orang tua siswa melalui dana komite sekolah. Saat dikejar permintaan upeti dari pejabat atasan, pimpinan sekolah memilih mundur jadi kepala sekolah apabila harus mencarikan dana yang tidak jelas karena resiko penjara lebih dekat. Tingkat validitas informasi ini tidak termasuk dalam wilayah kajian penelitian.
Kita tinggalkan peristiwa itu dan kita lihat lima tahun ke depan. Dengan menggunakan rumus tertentu kita bisa menghitung ternyata pada tahun keenam dari sekarang sekolah-sekolah sudah tidak memiliki lagi guru-guru negeri atau dikenal dengan ASN. Hampir seratus persen sekolah akan dikelola oleh guru honor, atau sebutan lain silahkan; dan ini berarti semua menjadi beban orang tua siswa. Dengan kata lain sekolah yang akan datang menjadi Sekolah Negeri bernafas swasta. Akibat lanjut sekolah-sekolah akan berlomba menghimpun siswa guna membiayai gaji guru; sementara pemerintah dengan ringan akan mencari “kata manis” yang menghibur untuk menghindar dari kuwajiban.
Perlu diingat bahwa selama periode sepuluh tahun belakangan tidak banyak pemerintah mengangkat jabatan guru atau dosen; pendanaan lebih berorientasi pada pembangunan fisik, bukan pembangunan sumber daya manusia untuk masa depan. Namun jika kalimat ini disodorkan, maka kita akan mendapatkan penolakan disertai dalil. Jika jurus itu tidak mempan, maka dikeluarkan jurus terakhir dengan satu kata “tidak mendukung pemerintah” dan lebih sadis lagi diberi gelar radikal.
Belum lagi kita berbicara perguruan swasta, baik Sekolah maupun Perguruan Tinggi, yang harus putar otak untuk tetap survive, karena berhadapan dengan kebijakkan yang sering tidak berlaku adil. Sebagai contoh penerimaan siswa/mahasiswa pada sekolah-sekolah negeri dan atau Perguruan tinggi negeri karena harus membayar sendiri tenaga honorernya, maka satu-satunya sumber dana adalah siswa/mahasiswa melalui pengumpulan dana dengan apapun namanya. Akhirnya sekolah negeri dan Perguruan Tinggi negeri berubah bentuk menjadi “kapal keruk” yang siap mengeruk dana sebanyak-banyaknya untuk menjaga keberlangsungan hidupnya.
Tinggal Sekolah Swasta/Perguruan Tinggi Swasta memunguti sisa-sisa mereka itupun disertai promosi yang tidak jarang berbiaya mahal, agar dapat hidup dan menghidupi dirinya dengan segala persoalan internal keuangannya. Dan, jika ini dikemukakan ditengah forum, ada saja yang nyeletuk kenapa buka sekolah kalau tidak punya modal. Pemikiran kapitalistik seperti ini tidak pernah membaca sejarah negeri yang berkaitan dengan bagaimana peran swasta yang harus banting tulang membangun negeri sebelum negeri berdiri. Banyak swasta yang kini tinggal sejarah yang menyejarah.
Urusan pendidikan tampaknya kedepan menjadi dilematis sekali: mau digendong sendiri oleh pemerintah, jelas anggaran negara akan jebol. Namun, membagi beban itu kepada masyarakat, sulit dilakukan. Itu karena perintah undang-undangnya pemerintah menjadi regulator. Di samping itu, beban masyarakat memang sudah tidak ringan lagi. Oleh sebab itu, diperlukan penataan ulang bagaimana mengelola pendidikan agar lebih baik lagi .
Selamat ngopi pagi.