Oyos Saroso H.N.
Rabu pagi (22 Januari 2014) saya bersirobok dengan status Facebook Mas Goenawan Mohammad (GM). Mas GM menulis: “Salah satu yang membukakan mata saya mengikuti “social media”: orang bisa sangat, sangat agresif kepada orang lain, dan sedikit waktu untuk menengok apa yang mungkin kurang dalam diri sendiri. Mungkinkah di sini terpercik nafsu kekerasan yang kita temukan dalam sejarah, juga di Indonesia?”
Isi status itu seperti seribu lembing merancap dihunjamkan ke jantung saya. Ya, saya,Parto Klethe, yang kerjanya tiap hari cuma kletha-klethe (jalan ngalor-ngidul, ke sana ke mari enggak jelas), merasa telah disindir secara halus oleh Mas GM. By the way….hahahahaha….. mana mungkin saya terpengaruh! Jangankan disindir halus, lha mbok situ saya diomyangi sampai mulut yang ngomyang berbusa saya tetap akan cuek.
Saya memang supercuek terhadap hal-hal yang berada di luar diri saya. Itu karena saya berprinsip tak ada untungnya mengurusi urusan orang lain. Yang penting urusan saya selesai dan semua kebutuhan saya terpenuhi Yang penting hasrat dan mimpi-mimpi saya terlaksana dengan sukses. Itu sudah cukup bagi saya. Memikirkan orang lain hanya akan membikin saya repot.
Sejak kecil saya dididik orang tua saya untuk menikmati hidup sonder mau tahu kukuruyuk perut lapar tetangga. Saya akan responsif dan menyerang orang lain sehabis-habisnya jika orang yang menjadi pepunden saya disakiti dan dicaci-maki. Bagi saya, pepunden, sesembahan, atasan, bos besar, pahlawan—harus dihormati. Sebab karena merekalah saya bisa hidup enak: tanpa kerja keras, tapi uang mengalir deras ke rekening saya.
Saya juga akan agresif dan menyerang orang lain atau kelompok lain kalau saya, keluarga, dan kelompok saya diganggu. Bukan semata-mata karena harga diri, tapi karena menyerang saya, keluarga, dan kelompok saya juga berarti mematikan jalan sandang pangan saya. Keluarga, konco, teman satu korps, dan jejaring saya itulah sumber kehidupan dan mata pencaharian sehingga saya bisa tetap mempertahankan nama Parto Klethe: orang yang tampaknya menganggur tetapi hartanya berlimpah dan punya kebun uang berhektar-hektar.
Kalau istri sudah pulang belanja di supermal dan menghabiskan Rp 10 juta dalam tempo 2 jam, saya sudah bahagia. Jika anak bujang saya sudah ngebut dengan mobil terbaru bunyinya ngoar-ngoar di jalan raya, saya bahagia. Saya tak peduli meskipun pada hari itu ada tetangga saya yang meninggal dan ‘uang sholawat’ di baskom campur beras hanya beberapa lembar rupiah.
Saya pun tak mau ambil pusing apakah anak bujang saya saat ngebut di jalan raya itu menyenggol pengendara sepeda motor atau menabrak pejalan kaki atau tidak. Kalaupun menabrak dan dilarak ke kantor polisi, toh semua bisa diurus. Soal mengatur, sayalah jagonya. Jangankan cuma polisi, bosnya polisi pun bisa saya atur, gubernur saya atur, bahkan presiden sekalian saya atur!
Begitulah. Tiap hari saya enjoy. Tidak mau berpikir rumit. Berpikir ruwet hanya akan menambah jumlah uban yang bertengger di kepala saya. Toh berpikir ruwet bin njelimet tak selalu menyelesaikan masalah.
Ah, mungkin di Indonesia ini banyak orang seperti saya…