Diplomasi Jeruk Ala Karo

Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu Ilmu Sosial di FKIP Unila

Menyimak berita yang beredar di media sosial, bahkan di satu kanal yang terekam dengan jelas bagaimana warga Desa Liang Melas Atas Kabupaten Karo memetik buah jeruk sebagai penghasil utama daerah itu, yang dihadiahkan untuk orang nomor satu di Republik ini. Rasa haru bercampur gulana, saya menanti teman-teman pegiat media untuk mengomentari peristiwa ini, walaupun jelas akan terbagi atas dua kelompok. Kelompok pertama, menilai ini adalah bentuk protes rakyat kepada pemimpinnya. Kelompok kedua, sebaliknya menganggap itu bentuk kecintaan rakyat kepada pemimpinannya. Pada posisi mana Anda ambil, terserah pada penilaian hati nurani kita masing-masing.

Biarkan kedua kelompok itu bertikai asal tidak sampai berkelahi, karena itu warna demokrasi yang memang sedang dibangun di negeri ini. Tulisan ini akan melihat dari sisi lain berkaitan dengan pola perilaku yang ditampilkan oleh warga desa di atas.

Ada hikma pembelajaran yang dapat di petik dari peristiwa tadi, yaitu; menyampaikan pendapat tidak harus selalu dengan cara demonstrasi turun ke jalan, membawa dan membentang spanduk, urus izin sana-sini, urus logistik, urus koordinator lapangan, urus sound system, dan masih banyak lagi yang kecil kecil, termasuk urus nasi bungkus, dan ambulans.

Sementara deplomasi jeruk ala Karo, direncanakan dengan sistematis, terstruktur, formal,  dan egaliter. Semua menggunakan pendekatan persuasif umanis, sehingga warga yang berpartisipasi justru mau berkorban secara mandiri demi daerahnya. Terlepas apakah upaya selama ini sudah mereka lakukan, namun selalu menemui jalan buntu. Tentu kalau ini yang diketengahkan maka yang ada saling klaim pembelaan.

Menyampaikan pendapat yang terekam di cognitive map hampir semua orang Indonesia adalah turun ke jalan, membawa spanduk, teriak. Padahal semua itu adalah barang impor dari luar. Di dalam negeri kita kenal “Pepe” (membuka baju berpanas di terik matahari); yaitu saat “Pasewakan Agung” (Pertemuan Besar) yang dihadiri oleh Raja, saat itu rakyat yang ingin menyampaikan keluhan, protes, atau apapun namanya, cukup datang ketengah Alun-Alun, duduk di sana, dengan tidak menggunakan baju. Selesai pasewakan; maka raja akan mengutus bawahannya untuk menghadirkan yang sedang pepe tadi untuk ditanyai, ada persoalan apa. Maka terjadilah dialog dialog antara rakyat dan raja membahas persoalan yang dihadapi rakyatnya.

Cara cara seperti ini sudah ada sejak jaman kerajaan; menyampaikan aspirasi tidak harus dengan menghabiskan getar pita suara; cukup secara santun, tertib, elegan; maka rajapun tidak berkeberatan menerimanya. Sama halnya dengan saudara saudara kita dari Desa Liang Melas Atas, yang diwakili oleh beberapa orang, guna menyampaikan aspirasinya kepada Presiden.

Lalu apa implikasi sosiologis dari peristiwa ini ? Peristiwa ini membuat pedang bermata dua; satu sisi merupakan peringatan dini bagi pemerintah daerah — tingkat dua atau tingkat provinsi —  sama-sama menanggung malu bahwa kinerjanya selama ini belum menyentuh masyarakat. Padahal, masyarakat bawah tersebut penghasil komuditas pertanian unggulan. Kalaulah ini diwujudkan dalam bentuk substantif perilaku; sama halnya warga ini membawa congkel mata untuk para pejabat untuk melihat lebih jelas akan tugasnya.

Mata pisau kedua, ialah menyasar kepada peran pegiat media sosial yang ada di daerah tersebut. Hal itu mengingat sentra penghasil jeruk yang ada di daerah ini, dan hasilnya mengalir sampai jauh ke seantero Sumatera, bahkan Jawa; mengapa tidak dibuat semacam pemberitaan yang dapat menggugah semua pihak. Jangan sampai “Kerbau punya minyak, tetapi sapi yang punya nama” — Karo yang punya jeruk, Medan yang punya nama.

Terlepas dari itu semua, ternyata saudara kita dari Tanah Karo telah memberikan pembelajaran kepada kita semua. Yaitu pelajaran tentang bagaimana berdemokrasi yang baik, benar, santun, serta dewasa. Juga bagaimana Presiden menerima rakyatnya sekalipun bersendal jepit masuk Istana, diterima dengan senang hati dan bergembira; tidak ada diskriminasi dan pembeda pelayanan.

Indonesia ini akan semakin teduh jika menyampaikan aspirasi dengan cara yang seperti ditunjukkan warga desa asal Karo tersebut. Semakin beradab seperti dituntutkan Pancasila kepada kita sebagai warganegara. Semakin beretika seperti ditapalkan oleh adat budaya Nusantara kepada warganya, dan semakin religius seperti dituntunkan agama kepada umatnya.

Mauliate Godang …Majua Jua!