Direktur PT Ascho: Kami Punya Hak Mengambil Pasir Gunung Krakatau

Tongkang pengangkut pasir Krakatau juga beroperasi malam hari. (Foto Oyos HN/Dok The Jakarta Post)
Bagikan/Suka/Tweet:

Oyos Saroso H.N.|Teraslampung.com

BANDARLAMPUNG – Ketika saya tanya dengan apa pihaknya mengambil sampel pasir memakai tongkang, Direktur Utama PT AUP, Suharsono, mengaku pernah mengambil sampel pasir dengan Tongkang.

Kata Suharsono jumlahnya tidak sampai bertongkang-tongkang. Namun, Suharsono mengaku pihaknya memiliki hak untuk mengambil pasir dari Gunung Anak Krakatau karena sudah memiliki izin mitigasi bencana dari Bupati Lampung Selatan Wendy Melfa.

Suharsono mengatakan mitigasi bencana di Gunung Anak Krakatau perlu dilakukan agar volume pasir di gunung berapi yang berada di tengah laut itu tidak terus bertambah banyak.

Menurut Suharsono volume pasir Gunung Anak Krakatau saat ini sekitar 5,53 4 juta meter kubik. Pada saat meletus tahun 1883 dan menimbulkan tsunami volumenya 7 juta meter kubik. “Kami berusaha mengurangi volume sebesar 3,4 juta meter kubik agar tinggi Gunung Anak Krakatau relative stabil dan dampak letusannya tidak terlalu besar, Kami mulai memasang pipa di tepi pantai untuk menyedot pasir sekaligus membuat jalan leleran lava,” kata dia.

Suharsono mengaku, sebagian hasil penjualan pasir itu bukan disetorkan ke Pemda Kabupaten Lampung Selatan, tetapi akan dimanfaatkan untuk mitigasi bencana dalam bentuk pembuatan tanggul agar dampak tsunami berkurang dan jalur evakuasi bila sewaktu-waktu terjadi bencana tsunami akibat meletusnya Gunung Anak Krakatau.

Pengakuan Suharsono tersebut berbeda dengan tujuan izin yang diajukan Pemda Lampung Selatan kepada Menteri Kehutanan. Bupati Lampung Selatan Zulkifli Anwar pada 2007 dan 2008 lalu minta izin kepada Menteri Kehutanan M.S. Kaban untuk memanfaatkan pasir Gunung Anak Krakatau sebagai sumber pendapatan asli daerah (PAD) Lampung Selatan.

Permohonan izin itu ditolak Menteri Kehutanan karena Gunung Anak Krakatau termasuk kawasan cagar alam. Namun, ketiga Zulkifli Anwar diganti oleh wakilnya, Wendy Melfa, pada 1 Oktober 2009 lalu Bupati Lampung Selatan menunjuk PT AUP untuk melakukan mitigasi bencana di Gunung Anak Krakatau.

Menanggapi izin yang diberikan kepada PT Ashco, Bupati Lampung Selatan Wendy Melfa mengaku hanya memberikan izin survai memasang alat mitigasi bencana dan tidak memberikan izin menambang pasir. Hal itu juga diungkapkan Kepala Balai Konservasi dan Sumberdaya Alam (BKSDA) Lampung, Ambar Dwiyono (sekarang sudah pensiun).

Menurut Ambar Dwiyono, dia memberikan izin PT AUP untuk memasang alat mitigasi bencana karena dia tidak mau dipersalahkan jika sewaktu-waktu terjadi bencana. “Kalau nanti tiba-tiba Gunung Anak Krakatau meletus dahsyat dan terjadi tsunami, saya dipersalahkan karena tidak memberikan izin saat ada pihak yang melakukan mitigasi bencana di san,” kata Ambar.

Bagi para aktivis lingkungan, alasan pemberian izin mitigasi yang diberikan kepada PT AUP tetap dinilai janggal. Sebab, pada 19 Agustus 2008 lalu Menteri Kehutanan (ketika itu M.S. Kaban) sudah menolak izin mitigasi yang diajukan oleh Pemda Lampung Selatan.

“Jawabannya langsung ditujukan kepada Bupati Lampung Selatan dan salah satunya ditembuskan kepada Kepala BKSDA Lampung. Kalau mereka tetap memberikan izin kepada PT AUP, berarti mereka terang-terangan mau melanggar hokum,” kata manajer kampanye Walhi, Mukri Friatna.

“Kami menduga ini konspirasi untuk mengambil pasir Krakatau. Satu tongkang pasir saja nilainya bisa mencapai miliaran rupiah. Apalagi, dirut PT AUP mengaku akan mengambil 3,4 juta meter kubik pasir dan sudah mendapatkan izin,” kata Mukri.***