Dirikan 60 Tenda, 2.500 Warga Bujuk Agung Duduki Lahan yang Diklaim PT BNIL

Warga Desa Bujuk Agung mendiriikan tenda di lahan yang sejak 25 tahun lalu dikuasai PT BNIL. Pendamping mereka justru dikriminalisasi. (Teraslampung.com/Mas Gie)
Bagikan/Suka/Tweet:

Zainal Asikin|Teraslampung.com

BANDARLAMPUNG — Sengketa lahan warga dari sembilan Desa dengan PT Bangun Nusa Indah Lampung (BNIL) sejak 25 tahun lalu, saat ini sekitar 2.500 orang warga Desa Bujuk Agung Kabupaten Tulangbawang yang tergabung dalam Serikat Tani Korban Gusuran BNIL (STKGB)  menduduki lahan sengketa yang ditanami tebu oleh PT BNIL. Beberapa hari lalu mereka mendirikan beberapa tenda. Kini tenda ada 60 tenda yang mereka dirikan.

Menurut Herman, warga Desa Bujuk Agung yang saat ini berada dilokasi sengketa mengatakan, ribuan warga tersebut sengaja berkumpul dan mendirikan tenda-tenda di lahan miliknya yang sudah dirampas PT BNIL. Menurutnya, sudah delapan hari sampai saat ini (mulai 8 September 2016) lalu warga berada di tenda-tenda tersebut.

“Ada sekitar 60 tenda yang sudah didirikan sengketa di Desa Bujuk Agung, Tulangbawang kemungkinan akan bisa bertambah lagi. Dilahan sengketa ini, ada sekitar 2.500 lebih masyarakat yang berkumpul. Dalam satu tenda, ditempati 30 sampai 50 orang,”ujar Herman melalui ponselnya kepada teraslampung.com, Kamis (15/9/2016).

Menurutnya, ribuan warga akan tetap terus bertahan di tenda-tenda tersebut, hingga sampai lahan hak semua warga yang sudah dirampas dan pengusiran secara paksa dapat dikembalikan lagi oleh PT BNIL ke warga.

Hal tersebut dilakukan, kata Herman, bukan atas perintah melainkan kemaun warga sendiri yang lahannya sudah diambil PT BNIL. Selain itu juga, agar semua publik baik Pemerintah Daerah, Provinsi dan Pusat mengetahui situasi yang sebenarnya.

“Ya memang, dengan berkumpulnya ribuan warga di tempat ini (lahan sengketa) sangat rawan terjadinya konflik. Terutama konflik warga dengan aparat, terutama dengan pengamanan internal PT BNIL (Pam Swakarsa)”ucapnya.

Sementara menurut Sugiono salah satu pengurus STKGB dan sebagai korban perampasan lahan PT BNIL mengatakan, aksi dengan mendirikan tenda-tenda tersebut dilakukan, karena masyarakat sudah jenuh dan kesal. Selama 25 tahun, waktu yang cukup panjang ini tidak ada upaya pemerintah untuk melakukan penyelesaian.

Mestinya, kata Sugiono, pemerintah harus tanggap dengan permasalahan yang dialami masyarakat, segera berikan solusinya. Kasihan kepada masyarakat yang tertindas, hakya juga sudah dirampas dan pengusiran paksa dilakukan oleh PT BNIL dilahan yang memang menjadi haknya masyarakat.

“Semua warga mengapresiasi langkah Kapolda Lampung, Brigjen Pol Ike Edwin sudah mau datang ke lokasi melakukan mediasi bersama warga. Begitu juga dengan Polres dan Pemkab Setempat,”kata Sugiono.

Dikatakannya, agar tidak terjadi konflik, Kapolda dan Jajarannya maupun Pemkab setempat meminta seluruh warga untuk meninggalkan lokasi. Tapi warga bersikeras tetap bertahan di Lahan tersebut, warga hanya meminta agar tanah miliknya kembali lagi.

Bahkan warga juga mengeluhkan, upaya-upaya provokasi yang dilakukan PT BNIL dengan memobilisasi Pam Swakarsa. Salah satu bentuk provokasinya, melempari warga dengan batang tebu, lalu memasang ranjau kawat seling di kebun karet tepat di jalan masuk menuju areal sengketa.

“Pemasangan kawat seling itu kan berbahaya, apalagi suasananya gelap kalau ada warga yang naik motor dan mengenai kawat itu bisa putus lehernya. Justru yang sering memicu terjadinya konflik itu adalah Pam Swakarsa PT BNIL,”ujarnya.

Bahkan saat ini, PT BNIL tengah melakukan penggalian tanah cukup dalam pakai eskavator dilahan sengketa. Hal tersebut dilakukan, agar warga tidak dapat masuk juga ke dalam lokasi untuk mendirikan tenda-tenda dan berkumpul bersama warga lainnya.

“Sebenarnya kami semua sudah lelah, dibenturin dengan Pam Swakarsa PT BNIL yang selalu saja memancing provokasi warga agar terjadi konflik. Tapi semua warga tetap menjaga, agar suasana tetap kondusif sesuai arahan dan masukan dari Pak Kapolda,”jelasnya.

Dikatakannya, semua warga yang lahannya dirampas PT BNIL, sangat kecewa dengan pemerintah. Karena selama 25 tahun, pemerintah tidak bisa memberikan solusi untuk masyarakat. Setiap adanya mediasi, selalu saja keberpihakan berada di pihak PT BNIL.

“PT BNIL ini, dengan menggunakan cara-cara liciknya melakukan berbagai upaya seperti penyuapan kepada aparatur pemerintah. Atas dasar itulah, kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah,”ungkapnya.

Menurutnya, hukum itu ada dan menang, hanya bagi yang punya uang saja. Tapi kalau rakyat biasa yang tidak punya uang, bukan lagi dipandang sebelah mata tapi mata dua-duanya tidak lagi memandang.

“Sudah 25 tahun kami berjuang mempertahankan tanah hak kami dan mencegah agar tidak terjadinya konflik. Tapi semua pihak seperti tidak mau mendengar, saya bersama ribuan warga tidak akan pernah mau meninggalkan warisan yang tidak terselaisaikan oleh pemerintah,”pungkasnya.

Bahkan, kata Sugiono, kebencian warga dengan Pamswakarsa PT BNIL sudah berkarat, semua masyarakat bersepakat tidak akan mundur sedikitpun meski apapun yang terjadi, sebelum semua yang menjadi haknya dikembalikan oleh PT BNIL