Zainal Asikin |Teraslampung.com
LAMPUNG SELATAN — Meskipun cara pembuatan tempe dikerjakan secara manual, tempe buatan Tugiyanto (69) alias Mbah Tug, warga Dusun Krajan I Desa Sidodadi, Kecamatan Sidomulyo, Lampung Selatan, tetap higienis. Tempe produksi Mbah Tug pun dikenal enak dan lebih tahan lama.
Saat berkunjung di rumah Mbah Tug, Selasa (9/1/2018), Teraslampung.com melihat proses Mbah Tug dan anaknya membuat tempe.
Awalnya kedelai direndam dengan air bersih selama dua jam guna mencuci dan mengembangkan volume kacang kedelai. Setelah itu kedelai dimasukkan drum dan direbus dengan kayu bakar selama 2 hingga 3 jam.
“Lamanya merebus tergantung banyaknya kedelai,” kata Mbah Tug.
Setelah matang, kedelai diangkat dan direndam dengan air bersih selama satu malam. Itu adalah proses tersebut untuk memfermentasi kedelai tahap pertama.
Keesokan harinya, kedelai digiling dengan cara dinjak-injak atau digilas menggunakan kaki. Hal tersebut dilakukan agar biji kedelai pecah atau membelah menjadi dua.

Hal itu juga untuk menghilangkan rasa asam pada kedelai. Setelah itu, kedelai dibersihkan dari lapisan kulitnya dengan cara direndam dan diayak menggunakan ayakan yang terbuat dari anyaman bambu. Biji pun akan tenggelam, sementara kulitnya akan mengapung di permukaan air.
Tahap berikutnya, kedelai dicuci kembali sebanyak tiga kali menggunakan air panas yang disiramkan ke kacang kedelai. Kacang kedelai siap ditiriskan selama dua jam. Lalu, kedelai matang itu ditaburi ragi secukupnya dan diaduk hingga merata.
Peragian dilakukan untuk merangsang pertumbuhan bakteri baik dalam tempe pada saat fermentasi.
Setelah ragi menyatu, barulah dikemas dalam plastik ukuran 10×15 cm yang sudah dilobangi kecil-kecil agar bakteri dari ragi tadi mendapat udara dan bisa berkembang saat proses fermentasi. Selain dikemas dengan plastik, bisa juga kedelai yang sudah siap untuk dijadikan tempe dibungkus dengan daun pisang.

Setelah dikemas sesuai ukuran, barulah tinggal menunggu dengan diinapkan selama 24 jam dalam ruangan bersuhu sekitar 30 derajat celcius.Itu adalah waktu untuk proses penjamuran dari kacang kedelai menjadi tempe.
Tempe yang sudah jadi, dijual Mbah Tug bersama istri dan anaknya ke Pasar Sidomulyo, Tanjungan, Candipuro dan beberapa tempat lainnya. Harganya murah saja: Rp 1.000 per bungkus plastik. Dari modal sebesar Rp 800 ribu (90 Kg tempe), keuntungan yang didapat sebesar Rp 1 juta.
“Menjualnya ada yang disetorkan ke warung langganan, ada juga yang dijual ke perorangan, dengan cara erjualan keliling di daerah Trucuk, Karyatani, dan Way Gelam. Ada juga pembeli yang dari Bandarlampung. Kata para pelanggan, tempe buatan saya rasanya enak dan lebih tahan lama,” kata Mbah Tug.
Sementara Puryadi (42) anak kedua Mbah Tug, meengaku sudah 15 tahun membantu usaha ayahnya sebagai perajin tempe. Saat itu ia masih bujangan. Kini Puryadi sudah berkeluarga dan memiliki tiga anak.
“Kalau saya dagangnya keliling ke daerah Kecamatan Candipuro, yakni Desa Trucuk, Karyatani dan Way Gelam. Berangkat dagang itu pagi, sekitar pukul 06.00 WIB dan pulang ke rumah sekitar pukul 09.00 WIB. Selepas dagang dan siang harinya, baru mulai lagi mengolah tempe,”ungkapnya.
Puryadi mengaku dirinya dan adiknya sudah membuat obat fermentasi agar limbah tempe tidak berbau dan menganggu warga sekitar.

“Obat fermentasi untuk menghilangkan bau limbah kami buat dari bahan-bahan alami, seperti buah kates dan nanas yang sudah matang masing-masing dua buah, lalu kacang panjng 1/5 Kg, kangkung 1 kg, pelepah pisang secukupnya,” katanya.
Selanjutnya bahan-bahan itu dicacah hingga kecil-kecil dan dimasukan ke dalam ember, lalu diberi gula putih 1 Kg dan diberi air bersih secukupnya. Setelah itu ditutup rapat, tiga hari sekali harus diaduk dan itu dilakukan selama 15 atau 20 hari. Lalu disaring dan dituang ke dalam botol besar bekas minuman air mineral, dan obat permentasi siap digunakan dengan cara disiram atau disemprotkan ke tempat yang terkena limbah dan juga saluran air.
“Satu botol obat permentasi ini, kalau disiramkan bisa menghilangkan aroma bau limbah bekas tempe selama enam bulan,”ujarnya.
Hasil obat fermentasi olahannya tersebut, kata bapak tiga orang anak ini, banyak dibeli oleh para pengrajin tempe yang ada di Kecamatan Sidomulyo. Harga satu botolnya Rp 30 ribu.