Zainal Asikin|Teraslampung.com
BANDARLAMPUNG — Perempuan di Lampung dinilai masih minim perannya dalam menentukan keputusan kemandirian pangan. Meski begitu, secara khusus, ada beberapa kelompok perempuan di Lampung yang sudah memiliki kemandiri di bidang pangan. Salah satunya adalah para petambak perempuan di Bumi Dipasena, Kabupaten Tulangbawang.
Hal itu terungkap dalam diskusi “Perempuan, Keadilan Pangan, dan Media” yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandarlampung bekerjasama dengan Oxfam di Hotel Emersia Bandarlampung, Selasa (25/4/2017).
Soal perempuan mandiri di bidang pangan diungkapkan oleh Erna Leka, perempuan petambak mandiri dari Bumi Dipasena, Kabupaten Tulangbawang. Menurut peraih Female Food Hero itu, perempuan petambak di pertambakan Bumi Dipasena sudah mandiri dan bisa melakukan tebar benih dengan menerapkan cara sistem gotong-royong.
“Kami tidak mendapat perlakuan yang berbeda, hak yang kami terima sama seperti laki-laki,” ujarnya, Selasa (25/4/2017).
Kondisi tersebut, kata Erna, berbeda saat para petani tambak masih menjadi plasma atau bekerjasama dengan perusahaan tambak yang menjadi mitra mereka (pihak inti).
Menurut Erna, sebelumnya petambak perempuan dimanja dengan diberikan sejumlah fasilisitas seperti pengadaan sembako dan lainnya tanpa memikirkan apakah itu diberikan secara cuma-cuma atau tidak.
Pada kenyataanya, pemberian dari perusahaan tersebut dijadikan utang dan harus dibayar. Yang terjadi kemudian: utang petambak justru semakin menumpuk meski petambak itu sendiri bisa memproduksi lebih dari 1 ton hasil tambaknya dalam per bulan.
“Setelah pisah dari perusahaan, kami harus petambak bangkit menentukan nasibnya sendiri tidak bergantung pada perusahaan,”ungkapnya.
Menurutnya, meskipun produksi hasil tambak tersebut tidak lebih banyak dari sebelumnya, tapi justru merasa lebih makmur dan para petambak bebas menentukan nasibnya sendiri.
Sementara kondisi ini berbeda terjadi di wilayah pantai Kota Bandarlampung.
Koordinator Solidaritas Perempuan Lampung, Umi Laila, mengatakan, di sejumlah perkampungan nelayan di Bandarlamnpung, terutama di wilayah Telukbetung, perempuan selain mendapat upah minim juga terkadang mendapatkan perlakuan diskriminasi dalam menentukan makanan yang harus dikonsumsinya.
“Mereka sadar betul menerima ketidakadilan pangan, tetapi hanya diam karena ketidakmampuan itulah untuk mendapatkan hak yang sama,”ujarnya.
Dalam hal ini, Solidaritas Perempuan memberikan sebuah pendampingan kelompok perempuan nelayan, petani dan buruh migran yang ada di Lampung untuk mendapat haknya.
Kabid Holtikultura Provinsi Lampung, Eko Diah, mengatakan terkait keadilan pangan untuk masyarakat dan petani, peran perempuan melalui wadah Kelompok Wanita Tani (KWT), yang dibina oleh para Petugas Penyeluh Lapangan (PPL) untuk menanam beberapa komoditas tanaman di pekarangan rumah.
Dalam hal ini, Dinas Tanaman Pangan dan Holtikultura Provinsi Lampung memiliki program menjaga ketahanan pangan dengan melibatkan kaum perempuan. Salah satu program yang sedang digalakkan saat ini adalah, swasembada cabai dan bawang merah.
“Kami bekerjasama dengan para Kelompok Wanita Tani (KWT) dan Tim Penggerak PKK, dengan membagikan bibit cabai dan bawang. Bibit Ini, bisa ditanam menggunakan polybag di area pekarangan rumah,”ujarnya.
Di Provinsi Lampung sendiri, kata Eko Diah, untuk meningkatkan produksi cabai dan bawang telah tersedia lahan sebanyak 700 ribu hektare yang tersebar di 12 Kabupaten Kota di Provinsi Lampung. Kemudian, BPTP juga menggulirkan program sebanyak 500 ribu polybag/tahun dan wajib disebarkan kepada seluruh KWT, Tim Penggerak PKK di 15 Kabupaten.
“Untuk meredam harga cabai di pasaran, pemerintah mengajak masyarakat melalui peran perempuan untuk menanam cabai di pekarangan rumah agar perekonomian keluarga bisa terpenuhi,”ungkapnya.
Selain itu juga, Dinas pertanian memberikan pembinaan-pembinaan kepada para petani baik itu melalui Kelompok Tani, Gapoktan, KWT dalam pengembangan padi organik yang aman untuk dikonsumsi. Namun, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan mengenai penggunaan lahan untuk menghasilkan padi yang organik.
“Untuk menghasilkan beras organik, yang harus diperhatikan penggunaan pupuk dan obat-obatan yang organik juga, dan itu harus dilakukan minimal selama tiga kali musim tanam untuk memulihkan tanah yang sebelumnya menggunakan pupuk kimia,”jelasnya.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandarlampung, Padli Ramdan mengutarakan, pemaparan dari para narasumber tentang kondisi keadilan pangan perempuan, bisa menjadi bahan penulisan para jurnalis lebih konprehensif yang terjadi di lapangan.
Menurut Redaktur koran harian Lampung Post ini, bahwa selama ini kebanyakan para jurnalis hanya berkutat pada angka peningkatan produksi dan capaiannya saja. Masih sangat jarang, jurnalis yang menulis bagaimana perempuan mendapatkan haknya dalam keadilan pangan.
“Dengan adanya diskusi ini, agar bisa menjadi bahan referensi baru bagi para jurnalis terkait dengan isu-isu perempuan khususnya para petani dan buruh yang ada di Lampung,”terangnya.
Diskusi tersebut menghadirkan narasumber yakni Wiryaningrum,
fasilitator dari Fakultas Pertanian Universitas Lampung (Unila); Dinas Tanaman Pangan dan Holtikultura Provinsi Lampung, Eko Diah selaku Kabid Hooltikultura; Female Food Hero dari Dipasena, Erna Leka dan Solidaritas Perempuan (SP) Lampung Umi Laila.