Oleh: Sudjarwo
Pagi menjelang siang penulis menjumpai seoran guru besar fakultas tertua di sebuah perguruan tinggi di Lampung untuk menyerahkan buku pidato terakhir sebagai guru besar. Beliau adalah salah seorang contributor testimony yang ada pada buku itu. Beliau tidak bisa hadir karena saat acara berlangsung bertugas ke luar kota. Guru besar yang bergelar doktor dari perguruan tinggi negeri Paman Sam ini memiliki minat yang sama dengan penulis, yaitu selalu ingin menjaga keberagaman dalam memanusiakan manusia.
Pikiran-pikiran cemerlang beliau melampaui disiplin ilmunya.Bahkan kemampuan merajut antarbidang dengan tetap memposisikan diri bukan ahlinya. Minatnua yang besar menjadi semacam pintu diskusi yang sangat menyenangkan. Oleh karena itu, jika berdiskusi dengan guru besar satu ini tidak hirau akan tempat dan waktu.
Saat kami memperbincangkan masalah bagaimana perbedaan gaya didik dalam keluarga antara masyarakat Indonesia dengan negara di mana tempat beliau tinggal cukup lama, dirasa sangat kontras sekali. Namun setelah melalui kajian dan perenungan, kami pun menemukan titik temu. Menurut kami, peran pendidikan keluarga begitu besar, terutama bagai kami berdua yang sudah bergelar “Opa”.
Diskusi menjadi melebar kepada masalah bagaimana gaya hidup keluarga muda masa kini yang notebene itu adalah anak-anak kami. Simpel praktis itu adalah satu ciri khas mereka, dan sebagai Opa dan Oma kami sudah harus menyadari dan ambil posisi. Jika tidak kita lakukan itu, maka akan membawa masalah bagi generasi penerus kami. Sebagai contoh, pola ajar yang anak-anak kami bangun, itu sangat berbeda sekali dengan pola ajar yang kami terima dari orang tua kami dulu.
Pergeseran nilai-nilai sosial pada keluarga ternyata membawa dampak yang begitu luas dan berkelanjutan. Ini dapat kita lihat sekarang: pada waktu dahulu saat dikenalkan nilai-nilai keluarga kecil; begitu besar mendapat tantangan dari masyarakat. Masyarakat waktu itu adalah tempat kami dibesarkan, dengan pola keluarga besar.
Sekarang keluarga kecil tidak perlu didengung-dengungkan, karena nilai itu sudah tumbuh dengan sendirinya bahkan terinternalisasi dengan baik. Begitu juga kebutuhan akan pendidikan yang berkualitas. Sekarang sudah merupakan kebutuhan dasar bagi semua keluarga di negeri ini.
Pemberkasan akan masa depan kami berdua bersepakat, itu sangat ditentukan apa yang direncanakan hari ini. Jika generasi kami untuk bersekolah di negeri lain adalah hampir sebagai suatu kemustahilan. Namun sekarang sangat berubah, karena anak-anak SMA pun sudah hampir setiap saat mereka berselancar di media sosial mencari informasi sekolah di negeri orang dengan bea siswa yang besar. Akibatnya, penguasaan bahasa yang semula pada generasi kami merupakan unsur paksaan, sekarang menjadi kebutuhan. Bahkan mereka sering mentertawai generasi kami kalau bicara masalah kebahasaan.
Memang orang bijak pernah berpesan setiap orang punya waktu, dan setiap waktu ada orangnya. Ternyata kami sekarang ada pada posisi itu, terutama penulis, sementara sang guru besar di depan saya ini menyatakan masih memiliki waktu sekitar enam tahun lagi baru menginjak usia seperti penulis. Namun, denyut sosial itu, menurut beliau, terasa sekarang jauh lebih cepat dibandingkan dengan dekade sepuluh tahun lalu. Apalagi dengan laju cepatnya teknologi informasi yang menggerus nilai-nilai sosial yang selama ini diyakini, sementara nilai-nilai baru sedang akan terbentuk; maka “gegar budaya” di segala lini kehidupan bisa terjadi.
Gempa sosial yang pernah melanda Lampung sementara pusat gempanya ada di luar negeri. Hal itu membuktikan bahwa satuan waktu dapat menyatu dengan satuan tempat yang bisa berakibat ke mana-mana. Sebab, warga rambatnya bernama nitizen bak zombie yang siap memberi efek ketakutan pada yang terkena, dan tertawa bagi yang menikmati. Sementara yang berperan sebagai pusat gempa adalah anak muda segenerasi cucu penulis. Jika parameter nilai sosial yang kami anut dan pahamkan, maka anak muda ini kurang etis; namun jika itu kita tanyakan kepada segenerasinya, maka jawaban mereka “ya itulah kami”. Pertanyaan tersisa: siapa yang harus beradaptasi, kita atau mereka? Kalau ini yang ada dibenak kita, maka kita terjebak pada “Taman Sesat Sosial”.
Apa yang pernah diingatkan oleh Prof.Soedjatmoko di sekitar tahun 70-an saat beliau menjabat sebagai Rektor Universitas PBB di Tokyo. Dalam artikelnya di majalah Prisma, beliau berpesan bahwa pada waktunya nanti warganegara akan berubah menjadi warga dunia. Tampaknya kebenaran hipotesis itu tinggal menunggu waktu.
Diskusi terputus karena kami berdua jadi seperti orang aneh karena bicara di pinggir jalan terlalu lama. Sang profesor berjanji akan menyambung diskusi pada waktu lain.
Selamat ngopi pagi!