Habitat kehidupan saya ada dua. Dunia pasien dari mana kehidupan profesi saya setelah sekolah dokter, dan satunya dunia sastra yang saya gumuli sejak sebelum sekolah dokter. Sekarang saya punya dua dunia itu yang belum saya tanggalkan, dan masih tetap saya gumuli.
Yang belum mengenal saya tentu bertanya, termasuk yang bertanya sejawat dokter, sejak kapan saya senang sastra. Saya paham, di balik pertanyaan itu terselip keheranan, mengapa sejawatnya satu ini menggumuli dunia kedokteran dalam menulis dan memberi seminar, kok menulis puisi juga, saat dia menerima sebuah buku kumpulan puisi saya.
Dalam hati terus terang saya merasa bangga kalau orang tahu bahwa saya menyukai, bahkan mencintai dunia sastra, sama baiknya dengan kesukaan saya memeriksa pasien. Bukan perasaan malu, aneh, absurd, atau jengah.
Namun di kita sastra masih warga kelas dua, dan profesi sastrawan masih terpinggirkan karena dianggap apa yang bisa didapat untuk hidup dari kesibukan bersastra. Calon menantu sastrawan, termasuk penyair, apa yang bisa diharapkan? Juga apakah dengan memilih bersastra orangtua boleh berharap anaknya bisa cukup makan.
Sejatinya di mana-mana dunia, sastra memposisikan karya umat manusia sebagai sesuatu yang dimuliakan. Apapun jurusan studinya wajib mengenal sastra, maka calon insinyur, calon dokter, atau calon ekonom, wajib mengikuti studium generale kesusastraan, sekadar mampu mengapresiasi, syukur-syukur mencintai.
Kalau di Indonesia ada berbagai profesi yang sampai dewasa dan usia lanjut masih menyukai sastra, atau bahkan berkarya sastra, itulah barangkali semacam kesukaan, kalau bukan memang sebuah panggilan. Di kita bersastra jelas bukan sebagai andalan ekonomi, karena di sini penghargaan terhadap sastra betapa tidak memadai bahkan untuk sekadar bisa cukup makan.
Jadi harus angkat topi kalau masih tetap ada teman-teman yang bertekun menggeluti dunia sastra sampai akhir hayatnya. Terhadap kenyataan ini mestinya pemerintah menaruh perhatian besar, karena bangsa yang bermartabat, termasuk juga bangsa yang bersastra, yang mencintai sastra sebagus mencintai profesi lainnya. Sastrawan juga selaiknya diterima sebagai aset bangsa.
Saya pribadi kebetulan berprofesi dokter, yang masih bisa menunjang hidup layaknya bisa cukup makan dari profesi. Teman-teman sastrawan lain yang profesi sampingannya tidak memperoleh penghargaan memadai, terhadap mereka kita patut angkat topi kalau masih bertahan menekuni dunia sastranya.
Sudah lebih 50 tahun saya menggeluti dunia sastra, dan teman saya di dunia ini lumayan banyak. Saya terpaksa agak menjauh dari mereka setelah saya sibuk dalam profesi saya, yang sukar saya tinggalkan, karena dari situ saya bisa hidup layak. Namun saya tetap menyapa semua teman bahkan sesekali masih terlibat melakukan kegiatan. Dalam paguyuban sastra yang kami bangun sejak puluhan tahun, misalnya, dan saya menikmatinya.
Ada kenikmatan tersendiri dalam bersastra, khususnya buat saya dalam menulis puisi. Jadi jangan heran, dan jangan salahkan saya kalau saya masih menulis puisi, masih bergiat sastra sampai hari ini, karena saya sungguh menikmatinya. Nilai tambah mencintai sastra secara keilmuan sekarang jelas saya tahu. Bahwa sastra juga mencerdaskan otak kanan, sebagaimana galibnya berkesenian umumnya. Namun tentu bukan karena itu maka saya memilih tetap berkutat dengan sastra, terlebih lantaran ada rasa cinta itu di sana yang memberi saya begitu banyak kepuasan batin.
Maafkan kalau sebagai dokter saya menulis puisi juga. Kocaknya kehidupan orang Indonesia, belum tentu bisa hidup layak dari profesinya, maka terpaksa berprofesi ganda. Kalau saja kehidupan sastrawan ditunjang oleh pemerintah sebagai aset bangsa, mungkin sudah bermunculan nomine peraih Nobel Sastra dari Indonesia.
Namun sayang, dengan kondisi sekarang, mana mungkin sastrawan bisa fokus berkarya masterpiece kalau masih harus memikirkan dapur, dan kesehatan yang rata-rata makin ringkih. Dirongrong oleh sekadar sakit gigi saja pun sudah mengganggu bakal lahirnya karya sastra akbar.
Salam sastra,
Handrawan Nadesul