Dugaan Penimbunan Gula dan Jawaban Enteng

Ilustrasi operasi pasar untuk menurunkan harga gula. Foto: Antara via katadata.com
Bagikan/Suka/Tweet:

Oyos Saroso H.N.

Gula langka terjadi di banyak daerah di Indonesia sejak beberapa hari terakhir. Kalaupun ada yang menjual gula, harganya sudah merangkak naik, dari semula hanya Rp12 ribu/kg menjadi Rp16 ribu hingga Rp20 ribu/kg.

Kalau kelangkaan gula terjadi di Papua masih bisa dipahami. Kita bisa menduga, mungkin sedang ada masalah transportasi. Namun, jika kelangkaan gula putih terjadi di Lampung, itu aneh.  Sebab, dengan beberapa pabrik gula besar, Lampung merupakan pemasok gula nasional.

Bersamaan sulitnya masyarakat mendapatkan gula dengan harga selangit, tiba-tiba pada Rabu, 18 Maret 2020,  Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Komjen Listyo Sigit Prabowo, mengatakan adanya dugaan penimbunan gula di Lampung oleh perusahaan di Lampung.

“Kemarin kita sidak di Lampung dapati beberapa perusahaan yang memiliki stok besar sekali antara 75 ribu-100 ribu ton gula dan itu tidak terdata di kita. Untuk itu kita minta koordinasi dengan Pemda (Pemerintah daerah) untuk dikirim ke Jakarta,” kata Kepala Bareskrim Polri Polri Irjen Listyo Sigit, setelah melakukan pantauan langsung di Food Station Tjipinang Jaya, Kompleks Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, Rabu (18/3/2020).

Pernyataan Irjen Listyo seolah menjawab kebenaran dugaan publik tentang adanya penimbunan gula. Semula publik menduga bahwa penimbunan gula dilakukan dengan modus seperti modus penimbunan masker: memborong barang dalam jumlah besar untuk dijual lagi dengan harga tinggi dengan memanfaatkan situasi panik masyarakat karena virus corona.

Kalau dugaan Mabes Polri benar, maka dugaan publik agak sedikit meleset: penimbun bukanlah rakyat biasa yang beraksi demi meraup rupiah. Kalau dugaan Mabes Polri itu benar, maka inilah ironi itu: penimbun adalah pihak yang seharusnya menjamin ketersediaan gula dengan harga sesuai ketetapan pemerintah.

Tidak ada klarifikasi dari perusahaan superbesar itu. Anehnya, yang mengklarifikasi justru Kapolda Lampung dan Kepala Dinas Perdagangan Lampung. Dengan enteng pula klarifikasi itu. Kurang lebih klarifikasi itu ingin menjelaskan bahwa perusahaan tersebut tidak melakukan penimbunan gula. Yang terjadi, katanya, gula yang memang disimpan di gudang dan tidak terdata.

Klarifikasi itu tentu tidak menjawab persoalan. Gula mungkin sudah bisa ditemukan di pasaran. Namun, harganya masih tinggi. Di luar soal itu, terasa sekali bahwa masyarakat selalu kalah jika berhadapan dengan perusahaan besar. Jika Mabes Polri pernah menduga adanya penimbunan gula, kenapa tidak ditelisik kebenarannya? Kenapa Polda dan Dinas Perdagangan justru berperan sebagai juru bantah?