Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila
Sore menjelang temaramnya senja, alat komunikasi saya memberi pertanda bahwa ada berita masuk. Ternyata ada kabar teman sesama alumni di salah satu Universitas tertua di Palembang telah berpulang. Kenangan masa lalu di kota tepian Sungai Musi itu berkelebat dalam angan. Salah satu di antaranya adalah ingatan kesukaan menonton kesenian teater rakyat bernama Du Muluk. Dulu Dul Muluk sering dipentaskan dari kampung ke kampung pada era tuju puluhan. Ciri khas kesenian ini ialah beralur cerita keagamaan (baca: Islam). Dialog- dialognya melibatkan penonton, sehingga ada interaksi antara para pemain dengan penonton dalam menyelesaikan alur cerita.
Ternyata Dul muluk juga dipentaskan oleh “Broyot” salah satu fakultas yang mengurusi orang orang sakit, saat mereka melakukan jumpa kangen. Media ini mereka jadikan semacam hiburan teatrikal dari mereka untuk mereka; sehingga terbangun uhuwah antarmereka sebagai satu keluarga besar dari satu fakultas dari satu universitas tertua di Sumatera Selatan.
Hasil penelusuran dari berbagai sumber ditemukan informasi bahwa Dul Muluk adalah teater tradisional Sumatera Selatan yang lahir di Kota Palembang. Awal mula terbentuknya teater ini adalah berupa pembacaan syair oleh Wan Bakar yang membacakan tentang syair Abdul Muluk disekitar rumahnya di Tangga Takat 16 Ulu pada tahun 1854. Agar lebih menarik pembacaan syair kemudian disertai dengan peragaan oleh beberapa orang ditambah iringan musik gambus dan terbangan (rebana).
Dul Muluk berawal dari kitab Kejayaan Kerajaan Melayu yang selesai ditulis pada 2 juli 1845, yang berjudul Syair Abdul Muluk. Ada dua pendapat penulis kitab ini yaitu Raja Ali Haji bin Raja Achmad dari Pulau Penyengat Indra Sakti (Riau) – versi DR. Philipus Pieter Voorda Van Eysinga (seorang hakim di Batavia) sedangkan versi Von de wall menyebut Saleha, sepupu raja Ali Haji yang menulisnya. Kitab ini kemudian dipentaskan dalam bentuk teatrikal.
Teater Dul Muluk kental dengan cerita rakyat ini, merupakan tradisi seni peninggalan abad ke-19. Penampilannya selalu sukses menghibur para penontonnya, salah satunya dari grup Teater Dul Muluk dari Dewan Kesenian Sumatera Selatan (DKSS). Dalam setiap pementasan, ada enam orang pemain dan 4 orang pengiring musik, yang memperagakan aktingnya di depan para penonton. Teater khas Sumsel ini menceritakan tentang kisah Abdul Muluk dan pantun-pantun jenakanya.
Perkembangan terakhir cerita Dul Muluk bukan hanya berpedoman pada syair yang telah ada, akan tetapi dipentaskan juga cerita kontemporer. Di antanya ada lakon “Isteri Setia” yang sumbernya dari hikayat Dul Muluk, kemudian di”modernkan” dengan menjadikan setting kekinian. Langkah ini diambil karena diharapkan Theater Dul Muluk tidak ditinggalkan oleh penggemarnya.
Berkaca dari Dul Muluk, ternyata sehari hari kita juga disuguhi Dul Muluk kehidupan secara terus menerus. Dialog yang dibangunpun bukan hanya dengan penonton; tetapi juga dengan diri sendiri. Oleh karena itu, pelaku dan pelakonnya bisa saja diri kita sendiri. Lakonpun terus berganti setiap detik dan setiap saat; semua silih berganti, terkadang diri menjadi tokoh sentral atau pemeran utama, tidak jarang menjadi tokoh penyerta, bahkan juga pernah menjadi tokoh pelengkap, atau sesekali merangkap menjadi pemandu sorak kehidupan.
Karena peran yang silih berganti ini maka tidak aneh jika kita melihat ada lakon yang mengangkat, kemudian di ikat; sedangkan yang diangkat menjadi penikmat. Pada posisi tertentu menjadi abdi yang berhikmat, dibelakang menjadi penghianat, sekaligus penjilat. Peran multiganda ini bisa dilakukan oleh siapa saja dalam jabatan apa saja, untuk menjadi apa saja, dalam peristiwa apa saja. Lakon seperti ini bisa ada di gunung, perdesaan, perkotaan, perkantoran, bahkan di tempat terhormat secara moral pun bisa terjadi.
Ternyata filosofi Dul Muluk sangat dalam kalau kita mau merenungkan hakekat dari diciptakannya kesenian ini oleh para tetua kita dulu. Hanya masihkan kita mampu menangkap sinyal itu, apakah kita hanya menjadi penikmat, atau paling tinggi menjadi pemain Tonil ini, tanpa tahu apa hakikatnya.
Semoga kita menjadi orang yang mampu membaca di balik bacaan yang kita baca dan mampu menikmati esensi yang disampaikan melalui pesan yang terkadang perlu perenungan dalam memahaminya. Begitu juga esensi dari apa yang terbentang di alam ini. Hanya mereka yang memiliki keluhuran budi yang mampu membaca sinyal keilahian melalui ciptaan-Nya. Jangan terburu nafsu untuk berkomentar, sebelum paham apa maksud dan tujuan. Karena tujuan tidak harus tersurat, tetapi banyak hal yang disampaikan melalui yang tersirat. Lebih baik berhikmat walau sedikit terlambat, dari pada keburu berucap tetapi menjadi terlaknat.
Selamat ngopi pagi.