Bambang Bider*
Ketika menantang “kemapanan” cara berpikir mainstream para pemikir Eropa, sejak itulah label “kiri” disematkan pada marxisme. Namun di sisi lain pemikiran Karl Marx dianggap bentuk dari pembaruan bagi cara berpikir yang mapan saat itu.Padahal dalam setiap fase sejarah, “pembaruan” – tidak semuanya – adalah hal yang menyimpang. Suatu yang menyentak kesadaran dan memaksa orang keluar dari cangkang dan zona nyamannya.
Bahkan para filosof Yunani ketika menerjemahkan prinsip kemanusiaan umum (para moralis) ke dalam cara-cara logis yang melahirkan ilmu pengetahuan yang menjadi dasar setiap pijakan isi kepala kita tentang ilmu pengetahuan, awalnya dianggap “menyimpang”.
Ilmu pengetahuan yang kemudian mengalami supremasi hingga sekarang awalnya dianggap menyimpang, bahkan dipertentangkan secara tajam, lebih tragis berakhir dengan diberangus.
Lalu tegak dan runtuhnya sebuah peradaban, jatuh bangun suatu rejim pemerintahan karena penyimpangan. Gerakan mahasiswa yang menumbangkan rejim Orba 1998 dianggap menyimpang.
Dulu Gereja Katolik, bahkan ketika lahir para ilmuan yang nyeleneh seperti Galileo Galilei yang menyimpang dari pakem pemahaman mainstream gereja, ia kemudian dikucilkan dalam tahanan rumah hingga meninggal karena pandangannya tentang bumi berbentuk bulat dan matahari sebagai pusat tata surya bertolak belakang dengan keyakinan Gereja Katolik saat itu, walaupun akhirnya Paus Paulus Yohanes II merehabilitasi nama Galileo sebagai ilmuan 2008 yang lalu. Lalu lanjut dengan Revolusi Industri, Rasionalisme dll, masing-masing adalah hal yang “menyimpang” tetapi juga menggerakan dunia.
Kembali ke Marxisme. Marxisme digolongan dalam pemikiran Komunis tetapi tidak sama dengan komunisme. Marxisme oleh tokoh tokoh seperti Lenin dan Stalin diterjemahkan melalui jalan revolusi dan menghalalkan segala cara. Cara mereka dianggap garis keras. Dan sayangnya, selalu membawa gambaran miring mengenai komunis. Seolah Lenin dan Stalin lah yang benar-benar mewakili cara-cara komunis.
Padahal, ada pula yang meniti cara sosialis demokrat sebagaimana diimpikan oleh Marx sendiri bagi lahirnya kesetaraan kelas. Walaupun bagi beberapa orang pemikir, hal tersebut dianggap hanya mimpi Karl Marx, karena kondisi tersebut tidak pernah terwujud di dunia nyata kecuali dalam “teori”.
Pada jamannya, sebagaimana diungkapkan di atas sebelumnya, pandangan Karl Marx juga “menyimpang” karena menyodorkan cara dan pandangan yang tidak sejalan dengan keadaan mainstream. Hal itu pada satu sisi, dianggap membawa pencerahan dan harapan.
Presiden Sukarno, dalam buku Revolusi Belum Selesai, mengungkapkan, Pancasila adalah ideologi yang menentang penjajahan (antikapitalisme), antipengisapan manusia atas manusia yang lain, serta antipenindasan suatu bangsa terhadap bangsa yang lainnya. Karena itulah bagi kolonialisme, Pancasila adalah kiri, karena menentang kolonialisme.
Dewasa ini, pendewasaan dari sikap “penyimpangan- penyimpangan” tersebut sedang terjadi secara masif. Gempuran arus informasi membuat pandangan setiap orang lebih terbuka dan egaliter. Mereka menjadi lebih terbuka dan memiliki kebebasan dalam pengungkapannya di ruang-ruang publik. Namun apakah “penyimpangan” yang dilakukan oleh setiap orang memiliki dasar alasan yang kuat serta memiliki muatan, itu harusnya menjadi refleksi masing-masing.
Sekarang kita sedang dihebohkan dengan reaksi pemerintah terhadap munculnya simbol-simbol partai komunis “palu arit”, buku-buku “beranasir” komunis diberangus. Pada dunia yang lebih egaliter dan terbuka, tindakan negara justru secara tidak disadari telah memberi ruang pada menguatnya isu-isu komunisme itu sendiri.
* Bambang Bider adalah salah satu pemerhati masalah sosial-budaya. Pria asli Dayak ini lama menjadi jurnalis, aktivi lingkungan, dan penganjur perdamaian.