Opini  

Efek Cuti dan Penularan Covid-19

Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh : Zulfikar Halim Lumintang*

Tahun 2020 dan 2021 sepertinya akan menjadi tahun yang tidak akan dilupakan oleh masyarakat Indonesia, khususnya oleh Kabinet Jokowi Jilid II. Pasalnya, di tahun ini, banyak sekali isu-isu kesehatan, ekonomi hingga pertahanan negara yang menguji daya juang pemerintahan yang sedang berkuasa.

Bisa kita lihat sendiri, bahwa isu kesehatan berupa pandemi Covid-19 masih menjadi trending topic bahasan karena belum ada yang bisa menghentikan laju penyebarannya. Di Indonesia sendiri sampai dengan Sabtu, 5 Desember 2020 jumlah kasus positif Covid-19 per hari menembus angka 6.000 jiwa. Angka tersebut meningkat signifikan jika dibandingkan dengan 9 bulan yang lalu.

Melihat kondisi tersebut, Presiden Jokowi pun meminta untuk memangkas libur panjang akhir tahun. Presiden berharap, dengan dipangkasnya libur panjang, akan mengurangi jumlah pemudik, sehingga penyebaran Covid-19 tidak semakin menjadi-jadi. Alhasil, tiga orang Menteri, diantaranya Menteri Agama, Menteri Ketenagakerjaan, dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara pun kompak untuk menerbitkan Surat Keputusan Bersama yang memutuskan bahwa tanggal 28, 29, dan 30 Desember bukan hari libur lagi.

Ya, bagi perantau, hal ini mungkin mengecewakan, karena tidak bisa mudik untuk bertemu keluarga. Namun, tidak semuanya, bagi mereka yang masih memiliki jatah cuti, mereka masih bisa liburan ke rumah, meski waktunya harus dipangkas. Para pekerja semacam PNS yang ditempatkan diluar tempat tinggalnya pasti berpikir, “Saya sudah bekerja untuk negara, namun waktu libur untuk bertemu keluarga di kampung dipaksa tak bersisa. Apakah ini new normal sesungguhnya?”

Bossman Mardigu dalam podcast-nya bersama Deddy Corbuzier pun mengungkapkan bahwa angka 500.000 kasus positif Covid-19 adalah titik kritis sebuah negara bisa dicap “gagal” mengendalikan penyebaran Covid-19. Bagaimana dengan Indonesia? Dengan populasi yang besar. Hampir 270 juta jiwa. Indonesia memang diyakini akan menembus angka 500.000 kasus positif Covid-19. Namun, yang mengherankan adalah waktu untuk tembus 500.000 kasus positif Covid-19 itulah yang lebih cepat dibandingkan perkiraan.

Pertanyaannya adalah akankah efektif pemangkasan cuti akhir tahun terhadap berkurangnya penularan Covid-19? Tentu jawabannya beragam. Beda kepala, beda pula jawaban. Yang jelas, dipangkas atau tidaknya cuti akhir tahun, sepertinya kasus penularan Covid-19 di Indonesia masih belum bisa dikendalikan.

Sayangnya, cuti yang dipangkas untuk menghindari penyebaran Covid-19 dibarengi juga dengan ditetapkannya tanggal 9 Desember 2020 sebagai hari libur Pilkada. Keputusan tersebut seakan sangat bertentangan dengan alasan dipangkasnya cuti akhir tahun. Apapun itu, rasanya Pilkada akan selalu menghadirkan kerumunan massa.

Dimulai dari simpatisan kampanye bayaran. Kondisi belum stabilnya perekonomian dengan PHK besar-besaran menuntut orang untuk mau bekerja sebagai apa pun yang penting menghasilkan uang. Hal inilah yang mendorong mudahnya orang menjadi simpatisan kampanye yang mengakibatkan terjadi kerumunan jika dilaksanakannya Pilkada saat pandemi.

Potensi kerumunan saat Pilkada berikutnya adalah ketika pemungutan suara sedang berlangsung. Para tim sukses masing-masing pasangan calon pasti melakukan kerumunan di basecamp yang sudah mereka persiapkan. Bermacam agenda sudah disiapkan. Mulai kegiatan pengawalan TPS, nobar hasil quick count, dan persiapan pesta saat paslon yang mereka usung memenangkan pemilihan.

Ketiga adalah berkaca dari kejadian Pemilu 2019 yang lalu, dimana banyak korban jiwa berjatuhan akibat penghitungan suara di TPS yang tak kunjung usai. Data terakhir mencatat setidaknya 894 petugas KPPS yang meninggal akibat kelelahan menghitung suara. Ingat, saat itu belum terjadi pandemi Covid-19. Kondisi waktu itu masih normal bukan new normal. Lantas, apa yang akan terjadi jika pemungutan suara dilaksanakan saat new normal?

Ketiga alasan tersebutlah yang membuat esensi penghapusan cuti akhir tahun menjadi sangat tidak penting. Ketika para perantau dibiarkan mudik, tentu pergerakan ekonomi juga akan terjadi seiring dengan uang yang mereka belanjakan entah itu di kampung halaman ataupun di tanah rantau. Banyak sektor ekonomi yang bisa terdampak positif jika terjadi libur akhir tahun terlaksana.

Diantaranya adalah sektor transportasi. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa banyak tenaga kerja dari angkutan darat semacam bus yang telah di-PHK akibat pandemi Covid-19. Namun, jika terjadi lonjakan permintaan penumpang saat libur akhir tahun, otomatis semakin banyak juga tenaga seperti sopir dan kondektur yang dibutuhkan. Hal ini dapat menyerap kembali tenaga kerja yang sudah di-PHK.

Sektor berikutnya adalah akomodasi. Tidak sedikit hotel yang mengalami sepi penginap semenjak Covid-19 ditetapkan sebagai pandemi, hingga hari ini. Bahkan, di Kolaka sendiri sebagian hotel sudah berencana untuk beralih usaha. Demi menutupi tagihan air dan listrik yang tiap bulan terus berjalan. Liburan bersama keluarga di kampung halaman pasti tidak terlepas dari sektor akomodasi, apapun bentuknya. Dan ini bisa menjadikan stimulus kebangkitan sektor akomodasi di tengah pandemi.

Ya begitulah, semoga Indonesia akan baik-baik saja. Semoga Allah melindungi kita semua, termasuk yang ingin mudik ke kampung halaman dan yang ingin menyalurkan suaranya di TPS. Semoga pandemi Covid-19 segera berakhir.***

*Zulfikar Halim Lumintang, S.Stat adalah Statistisi Muda BPS Kolaka, Sulawesi Tenggara