Esai: Ayah Pergi
Budi Hutasuhut* Selalu ada yang pergi dan pada 30 Januari 2016 lalu, giliran ayah saya yang pergi. Rencong Pusaka Hutasuhut, dalam usia 69 tahun, pergi begitu saja menghadap-Nya. Saya tak ada di sampingnya, dan hal itu bukan sebuah persoa...

yang pergi. Rencong Pusaka Hutasuhut, dalam usia 69 tahun, pergi begitu saja menghadap-Nya. Saya tak ada
di sampingnya, dan hal itu bukan sebuah persoalan besar. Saya juga tak ikut memakamkannya, karena
kematian bukan peristiwa yang bisa menunggu siapa saja. Saya tak termasuk
manusia yang bisa menunda kepergian ayah.
sehat. Ayah bercanda seperti biasa.
kalau dia sangat mencintai saya. Setelah ucapan itu, ayah pun pergi.”
detik-detik akhir itu, dan memutuskan tidak ikut mengelilingi ibu seperti yang
dilakukan para pelayat.
membuat ayah pergi. Ayah pergi karena memang sudah saatnya pergi.
sangat meyakini setiap yang hidup pasti akan mati. Bahwa saya kehilangan dirinya,
itu bukan peristiwa yang istimewa. Setiap orang, pada akhirnya, akan mengalami
peristiwa itu. Ada yang lebih cepat kehilangan orang yang disayanginya, ada
yang lebih lambat.
ayah. Kawan-kawan saya, orang-orang yang saya kenal, ditinggalkan ayah mereka
dalam usia masih kanak. Istri saya ditinggalkan ayahnya (mertua saya), saat
usianya beranjak dewasa. “Saya menangis,” kata istri saya, “kau pun boleh
menangis.”
kehilangan ayahnya ini juga paham, saya bisa menutupi kesedihan meskipun saya
tidak pernah sukses memainkan kepura-puraan itu. “Tumpahkanlah semua,” katanya,
“semua yang ada dalam hatimu.”
bahwa saya tak akan mau terlihat bersedih di hadapan siapa pun. Begitu saya
tiba di rumah, setelah melalui perjalanan melelahkan selama enam jam dari
Bandarlampung ke Sipirok—tempat dari mana ayah bertolak pergi—Paman mengajak
saya ke pemakaman.
apapun soal itu,” kata Paman dalam perjalanan ke pemakaman.
ada yang perlu dijelaskan. Saya justru berterima kasih, karena Paman dan semua
orang telah menjalankan kewajiban terhadap si mayat dengan sebaik-baiknya. Tapi saya tetap bertanya tentang siapa yang
menjalankan tugas memasukkan tubuh ayah ke liang lahat.
menangis. Saya tak bisa membayangkan akan sanggup menjalankan tanggung jawab
itu; memandikan jasad ayah (meskipun saya sering memandikannya), membersihkan
seluruh tubuh ayah (meskipun acap saya lakukakan), mengkafani ayah,
memasukkannya ke dalam kubur, meletakkan tubuhnya di liang lahat,
mengazankannya, dan …. Saya pasti tidak akan sanggup.
yang disayanginya. Rasul tak menangis, tapi gesturnya –ketika tubuhnya mendadak
lemah begitu mendengar anaknya meninggal–menunjukan betapa Beliau sangat
manusia. Siapa manusia yang tak menangisi kematian, kehilangan orang yang
disayanginya?
Szymborksa, penyair Polandia penerima Nobel, tentang kematian. “Biarlah orang melakukan yang
diinginkannya,/lalu
mereka mati, semua, satu-satu. Betapa wajarnya
kematian, betapa tidak istimewanya. Dan memang, seperti kata Szymborksa dalam sajak yang lain, seseorang
pernah selalu ada di sana,/selalu
ada di sini, kemudian/tiba-tiba
lenyap/dan terus menerus lenyap.
ada yangsepenuhnya lenyap mesk ayah sudah pergi. Sebab, seperti ditulis Szymborksa dalam sajak yang lain, tak
ada hidup yang tak bisa
kekal meskipun cuma
sebentar.
ayah memberi ajaran bahwa kematian adalah peristiwa yang sebentar saja.
Sekejaban mata. Puuuus! Itu terpatri
begitu jelas. Dan, makin jelas, saat saya di makam ayah, yang hanya sebuah
kubur berbau tanah basah. Bagi saya yang sudah 44 tahun, sangat mungkin, hanya
akan sampai 44 tahun saja. Lalu, seperti ayah, saya hanya akan tinggal tanah
kubur.
Saya ingat wajahnya yang selalu tersenyum. Saya ingat kumisnya yang mulai
berubah warna jadi abu-abu dan rambutnya berubah warna jadi putih. Saya ingat
percakapan-percakapan kami tentang banyak hal, tapi yang lebih mengesankan
tentang situasi politik di negeri ini.
kekuasaan negara harus memikirkan partai politik. Ayah mesti berbuat curang
untuk memenangi Golongan Karya dalam setiap kali Pemilihan Umum digelar. Apapun
caranya, Golkar harus menang. Dengan kemenangan itu, maka posisi ayah saya
sebagai Kepala Lurah di Kelurahan Hutasuhut akan tetap bertahan.
milik penguasa Orde Baru ini mengubah ayah saya. Bukan berarti saya tak suka
pada ayah. Saya menyukainya sebagai ayah, meskipun tak menyukai Golkar. Ayah
tahu ketidaksukaan saya terhadap Golkar dan dia tak melarang saya, meskipun dia
selalu bilang akan sangat marah jika ada warganya yang tak suka pada Golkar.
terhadap Golkar tidak berubah. Ayah bilang, Golkar itu baik, tapi dikelola oleh
orang-orang yang licik. Sikap saya juga tak berubah, tetap tidak menyukai
Golkar. Apalagi setelah saya banyak mengenal ideologi yang berkembang dalam
kehidupan saya. Soal ideologi-ideologi itu sering jadi bahan percakapan saya
dengan ayah, terutama selama lima tahun terakhir. Kami seperti kawan karib,
seperti teman berdiskusi. Ayah boleh memuji ideologi Golkar, dan ayah tidak
melarang saya membeci hal itu.
saat membicarakan tentang pemerintah dalam tulisan-tulisan saya. Kata ayah, di
zaman Orde Baru, apa yang saya buat akan
menjadi alasan utama bagi penguasa negara untuk menjerat saya dengan pasal
subversib dan hal-hal lain yang akan menyengsarakan hidup saya. Saya bilang
anak muda harus punya sikap jelas dan tidak perlu bicara basa-basi, karena
sikap jelas itu menjadi ciri khas anak muda di zaman ketika banyak
ideologi masuk ke negara ini. Lalu saya
bicara tentang ideologi-ideologi itu, dan bagaimana urusan ideologi itu
sesungguhnya dipakai sebagai alasan klise untuk
menutupi alasan ekonomi.
tentang pertumbuhan ekonomi negara.
Warga biasa hanya bicara tentang penghasilan hari ini. Dulu, kata ayah, warga
biasa tak akan bicara tentang apakah harga minyak naik atau turun di pasar
global, karena warga hanya bicara tentang apakah ada minyak atau tidak hari ini.
“Sekarang, warga biasa juga mengurusi kebijakan pemerintah seakan-akan mereka
lebih memahami soal mengelola negara dibandingkan para elite,” kata ayah.
tidak punya kesempatan. Rakyat adalah pelaku utama, dan para elite adalah orang
yang mendapat tanggung jawab untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang
dihadapi rakyat. Ada yang tidak sinkron. Orang yang tidak terlibat dalam
persoalan rakyat diberi tanggung jawab mengurusi persoalan-persoalan itu.
Akibatnya, mereka justru lebih mengurus kepentingan diri sendiri daripada orang
lain.
korupsi, tapi lanytaran semua orang bekerja dengan semangat nasionalisme,
korupsi diselesaikan secara diam-diam agar nasionalisme itu tetap terjaga.”
pergi, dan saya pikir tidak perlu hal itu saya risaukan. Siapa saja pada
akhirnya akan pergi. Semua hanya soal waktu. Cuma, sebelum pergi, harus ada yang ditinggalkan untuk diingat.
Ayah meninggalkan banyak hal. Suatu saat, saya akan merekam semuanya. Suatu
saat…
makam yang konon tak pernah diziarahi siapa pun. Penjaga makam tak mengenalnya,
tapi tetap membersihkannya. Saya mendekati makam itu dan menziarahinya.
apa-apa jika tak ada peziarah yang mengenang,
makammu setiap waktu. rumput-rumput hijau
takzim padamu, meski penjaga kubur selalu merengut paksa
melepaskan cengkarmannya dari tanah
pekuburanmu. tapi ia akan tetap tumbuh lagi sejalan waktu,
bersama bunga-bunga perdu yang
bermekaran indah
menyebarkan harum serbuk putik sarinya
mengundang kupu-kupu datang
apa-apa jika tak ada peziarah yang rutin
batu-batu koral di pekuburanmu selalu tabah
doa-doa dalam berdiam, dan jangkrik mengaminkannya
malam dengan suaranya yang lengking.
* Budi Hutasuhut adalah penyair, cerpenis,dan esais. Tinggal di Bandarlampung