Penolakan dan keberatan revisi UU KPK terus berlangsung sampai saat ini sehingga tetap menjadi perhatian publik, termasuk pendiri dan senior kami di LP3ES, Prof. Emil Salim. Perdebatan anggota Dewan Arteria Dahlan adalah cermin dari partai yang menaungi dan partai koalisi secara keseluruhan yang mendukung pelemahan lembaga KPK dengan revisi yang dilakukan secara bergerilya. Dalam perdebatan publik tersebut (Acara Mata Najwa), Arteria Dahlan, bukan hanya membela revisi UU KPK, tetapi juga melontarkan kata yang sangat kasar, tidak etis terhadap Prof Emil Salim. Hal itu tidak mencerminkan jati diri sebagai anggota dewan yang terhormat.
Profesor Emil Salim adalah senior pendiri LP3ES yang integritas dan kapasitas keilmuannya tidak perlu diragukan lagi. Beliau adalah senior panutan kami yang sangat dibanggakan. Tidak hanya seorang akademisi, Emil Salim adalah juga seorang warga negara yang telah mengabdikan hidupnya kepada bangsa ini. Sebagai akademisi, beliau telah dinobatkan sebagai guru besar sejak tahun 1983 di salah satu universitas terbaik di negeri ini. Sebagai seorang politisi, beliau adalah juga seorang negarawan yang kiprahnya dalam mengabdi kepada negara ini telah teruji dengan pernah menjadi menteri pada tiga periode yang berbeda sejak tahun 1971. Emil juga merupakan salah seorang di antara sedikit tokoh Indonesia yang berperan internasional. Ia adalah tokoh lingkungan hidup internasional yang pernah menerima The Leader for the Living Planet Award dari World Wide Fund (WWF), suatu lembaga konservasi mandiri terbesar dan sangat berpengalaman di dunia. Ia juga penerima anugerah Blue Planet Prize pada tahun 2006 dari The Asahi Glass Foundation.
Kini di usianya yang telah hampir 90 tahun, Prof Emil Salim tetap bersedia mendarmabaktikan tenaga dan pikirannya saat situasi sangat kritis. Kita tahu bahwa Indonesia tengah berada pada satu persimpangan penting dari era reformasi di mana masa depan demokrasi Indonesia menjadi pertaruhan. Emil yang seharusnya bisa menikmati hari tua dengan tenang, memilih untuk larut dalam perdebatan publik terkait isu-isu krusial dalam transisi demokrasi yang tengah berjalan salah satunya: RUU KPK. Kesediaan untuk turun gunung ini merupakan bukti bahwa beliau tidak hanya seorang politisi namun juga negarawan dan guru bangsa.
Di sisi lain, Arteria Dahlan adalah politisi berusia 44 tahun berlatar belakang pengacara, mulai menjabat sebagai anggota DPR pada tahun 2015 melalui pergantian antar waktu menggantikan Djarot Syaiful Hidayat. Arteria terpilih kembali sebagai anggota DPR 2019-2024 untuk Dapil Jatim VI dan baru mau mulai bekerja kembali sebagai wakil rakyat.
Prof. Emil Salim dalam dialog dan diskusi tersebut membela institusi KPK, yang sekarang sudah dilemahkan dengan revisi UU KPK tersebut. Di pihak lain Arteria Dahlan melakukan pembelaan terhadap revisi UU KPK tersebut, yang publik sudah paham sebagai wakil dan corong dari partai yang menaungi, dalam hal ini PDIP. LP3ES menyayangkan sikap ini dan juga sikap seluruh partai politik, yang “membunuh” KPK lewat revisi UU tersebut.
Dengan semua pertimbangan di atas, maka kami sebagai generasi penerus LP3ES dan juga sebagai anak bangsa yang bangga pada kiprah Emil Salim, menyampaikan pernyataan sikap sebagai berikut:
Pertama, menyayangkan dan mengecam cara Arteria Dahlan dalam berdebat dengan Emil Salim yang tidak hanya miskin argumentasi dan bukti-bukti, namun juga miskin etika dan etiket. Penampilan Arteria merefleksikan ketidakmengertiannya akan tiga kaidah penting yang mesti dipatuhi dalam retorika, sebagaimana diuraikan oleh filsuf Yunai Aristoteles: Ethos, pathos, dan logos. Ethos merujuk pada karakter, intelegensi, dan niat baik yang dipersepsikan dari seorang pembicara. Pathos berkaitan dengan emosi yang dimunculkan dari para pendengar. Logos adalah bukti-bukti logis yang digunakan oleh pembicara – argumen mereka, rasionalisasi, dan wacana. Kami berpendapat bahwa cara berbicara Arteria tidak mencerminkan niat baik dan kualitas karakter seorang pembicara yang baik (ethos), membuat pendengar dan permisa justru merasa marah dan bukannya menyukainya (pathos), dan miskin akan bukti-bukti untuk mendukung argumennya (logos).
Kedua, mengimbau Arteria untuk belajar etika dan ilmu retorika agar dia megerti cara berdebat dengan benar dan dengan jiwa yang bersih agar menyejukkan kehidupan politik dan demokrasi di Indonesia ini. Demokrasi akan kehilangan kesejukannya jika dunia politik diisi oleh anggota dewan yang terhormat semacam Arteria Dahlan ini.
Ketiga, kasus ini sebenarnya tidak berhenti pada diri pribadi Arteria Dahlan, tetapi juga refleksi dari pendirian partai dan partai koalisi yang melemahkan KPK. Kami menyayangkan partai yang menaunginya (PDIP) yang justru memilih tokoh seperti ini untuk menjadi juru bicara partainya dalam diskusi publik soal KPK. Memilihnya sebagai juru bicara partai justru akan menjadi blunder bagi upaya PDIP dan pemerintah untuk meyakinkan publik atas agenda mereka merevisi UU KPK. Maka kami meminta PDIP dan fraksi di DPR untuk memanggil yang bersangkutan ke Badan Kehormatan DPR RI atas pelanggaran etika yanng tidak pantas.
Keempat, Arteria hanyalah salah satu dari sekian politisi dan anggota DPR yang sering kita lihat tidak hanya nir etika dan nir argumentasi dalam berdebat, namun juga menunjukkan kemiskinan itikad baik untuk mendengar lawan bicara dalam diskusi. Maka kami menghimbau semua anggota DPR yang lain untuk memperhatikan kaidah dalam retorika di ruang publik karena apa yang mereka pertontokan di televisi disaksikan oleh seluruh bangsa dan negara termasuk anak-anak dan remaja yang sangat mungkin turut menyaksikan acara talk show itu baik secara live di TV maupun rekamannya di youtube.
Kelima, survey LSI terbaru (2019) menunjukkan bahwa DPR merupakan lembaga yang defisit kepercayaan public di mana hanya 40% public yang percaya kepadanya. Sebaliknya KPK merupakan lembaga publi yang paling dipercaya (72%) bahkan lebih dipercaya daripada presiden (71%). Buruknya kredibiltas DPR ini konsisten dari tahun ke tahun. Pada tahun 2017, misalnya, survei yang dilakukan oleh ISEAS partai politik dan DPR adalah dua lembaga negara dengan tingkat kepercyaan terendah dengan 45,8% dan 55,4%.
Jauh di bawah KPK yang merupakan lembaga dengan tingkat kepercayaan tertinggi dengan 83,1 persen. Kami berpendapat bahwa defisit kepercayaan publik kepada partai politik dan DPR itu sangat dipengaruhi oleh performa para politisinya di ruang public. Maka kami berpendapat bahwa meningkatkan kemampuan retorika di ruang public merupakan saran penting jika partai politik dan DPR ingin meningkatkan kepercayaan publik kepada mereka. Citra institusi Presiden masih cukup tinggi, tetapi dalam kasus revisi UU KPK ini cenderung ragu-ragu sehingga tidak tegas mengambil sikap. Secara implisit Presiden bisa diduga dan bahkan dibaca tidak mengambil sikap tegas karena merupakan bagian dari proses yang secara bersama-sama partai koalisi melakukan pelemahan KPK melalui revisi UU KPK tersebut.
Keenam, catatan LP3ES Center for Media and Demokrasi adalah menguatkan peranan media sebagai pilar demokrasi. Media masa adalah salah satu pilar penting demokrasi sebagai institusi yang bisa melakukan cek pada kekuasaan. Keberadaan media yang bebas selalu menjadi penanda penting sebuah negara demokrasi. Media masa adalah sebuah ruang publik yang semestinya bisa diisi dengan diskusi yang positiv dan produktiv untuk merawat akal sehat bangsa. Isi media yang baik akan menjadi penanda hadrinya pikiran yang juga baik.
Acara talk show pada dasarnya bisa menjadi sarana untuk mendiskusikan masalah-masalah publik yang penting sebagai upaya untuk merawat akal sehat dan koreksi kepada kekuasaan. Namun, dalam jurnalisme, adalah penting agar kita memilih narasumber yang memiliki integritas, kredibiltas dan kualitas agar uraiannya bisa memberi pencerahan kepada publik dan bukan justru menghadirkan kegelapan. Kami mengimbau kepada stasun TV untuk selektif dalam memilih narasumber dalam acara mereka dengan memastikan bahwa narasumber yang dihadirkan tidak hanya menguasai materi namun juga memiliki etika dalam menyampaikan pendapatnya.
Ketujuh, catatan kami adalah pembelajaran bersama tentang pentingnya menjaga etika di ruang publik demi menciptakan dan menjaga ruang publik yang sehat, sebagai bagian dari ikhtiar untuk merawat akal sehat dan mengawal proses transisi demokrasi yang kini tengah berjalan di Indonesia. Selain itu, catatan ini tidak hannya untuk kasus individu etika anggota dewan, tetapi juga secara menyeluruh tentang lembaga pemberatasan korupsi secara umum, yang kini dilemahkan. Kami melihat tengah berlangsung periode siklus duapuluhtahunan dimana demokrasi berada di persimpangan jalan dan bersiap untuk melakukan putar balik (U-turn).
Kami melihat bahwa kita seperti kembali kepada oligarkhi ala Orde Baru dimana negara (perlemen, presiden dan alat negara lainnya) menjadi sangat kuat dan mendiktekan apa saja kepada publiik, termasuk memaksakan perubahan revisi UU KPK. Periode duapuluhtahunan rasanya berlalu sekarang dan kita seperti kembali ke alam oligarkhi baru.
Tim LP3ES’ Center for Media and Democracy:
1.Fajar Nursahid (Direktur Eksekutif LP3ES),
2. Malik Ruslan (Peneliti LP3ES),
3. Wijayanto (Direktur LP3ES Center for Media and Democracy)