Opini  

Fasilitas Umum Gratis

Dr. Syarief Makhya (Foto: Istimewa)
Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: Syarief Makhya
Akademisi FISIP Universitas Lampung

Beberapa hari yang lalu viral di media sosial, Menteri BUMN Eric Thohir saat mengunjungi sebuah SPBU di Kecamatan Malasan, Probolinggo, Erick Thohir heran ketika memasuki area toilet SPBU tersebut, ternyata harus bayar. Menurut Erick Thohir seharusnya pemilik SPBU sudah cukup mendapat untung dari berjualan bahan bakar di bawah naungan Pertamina. Jadi, toilet umum seharusnya menjadi fasilitas gratis di setiap SPBU yang bekerja sama dengan Pertamina.

Karena yang menyatakan itu Menteri BUMN, maka pernyataan Pak Menteri itu mengikat atau memiliki kekuatan daya paksa. Dengan demikian, permintaan Mentri BUMN agar toilet digratiskan harus dilaksanakan diseluruh SPBU di Indonesia. Jika tidak ditaati, maka bisa dikenakan sanksi dan pelanggan atau konsumen bisa memprosesnya secara hukum.

Jadi, apa yang dilakukan oleh Menteri BUMN menjadi contoh kecermatan dalam melihat fasilitas umum atau dibalik ada pelayanan yang diberikan kepada masyarakat ada celah yang dimanfaatkan oleh pengusaha atau pegawai ASN untuk mencari keuntungan yang sifatnya personal. Contoh lain misalnya, kalau kita naik transportasi laut kapal ferry untuk menyebrang dari Bakauhauni ke Pelabuhan Merak, saat masuk ke kapal dan kita memilih duduk dikelas yang ber AC, kita harus bayar lagi, tanpa karcis dan bukan tarif resmi.

Fasilitas toilet-tolilet di terminal-terminal bus juga seperti itu; berbayar dengan fasilitas yang tidak terawat, tidak bersih, tidak nyaman bahkan kadang-kadang ketersedian air juga tidak cukup. Pernyataan Mentri BUMN larangan bayar di fasilitas umum di toilet SPBU ada baiknya jadi juga bisa diberlakukan di tempat fasilitas umum lainnya, seperti terminal bus, pasar tradisional, mall, gedung-gedung olah raga, taman-taman, dsb.

Sudah saatnya rakyat menikmati fasilitas umum yang nayaman, sehat, bersih, dan harum serta tidak berbayar. Fasilitas umum harus menjadi tanggung-jawab sepenuhnya oleh pemerintah atau perusahan-perusahaan sesuai dengan kewenangan dan kepememilikkannya. Namun, efektivitas daya paksa untuk mewujudkan harapan itu hanya bisa dilakukan seperti yang dilakukan Eric Thohir dengan melihat langsung ke lapangan dan mencermatinya sesuai dengan aturan yang ada. Andaikan saja gubernur atau para bupati/walikota juga melakukan hal yang sama, melakukan kunjungan ke lapangan dan melihat titik-titik pungli ditempat fasilitas umum serta melakukan instruksi larangan secara langsung agar difasum tidak bayar maka dampaknya akan lebih efektif.

Lihat misalnya, di tempat parkir, siapa yang menarik parkir, berapa besar tarif parkir atau di pasar, siapa yang menarik retribusi? Disetorkan ke mana? Atau siapa yang berjualan disepanjang jalan trotoar? Kepada siapa bayar uang salar atau retribusinya? Ke mana disetorkan? Tempat-tempat tersebut, layak untuk dievaluasi dan diambil langkah terobosan untuk ditertibkan, dibangun suasana baru yang bisa berdampak rakyat menjadi bahagia dan bebas dari pungli.

Kenapa Harus Gratis?

Di era reformasi sekarang pelayanan gratis bukan sebuah mimpi yang tidak mungkin bisa diimplementasikan, tetapi pelayanan gratis menjadi sebuah kenyataan karena beberapa kepala daerah memberikan pelayanan gratis di bidang pendidikan atau kesehatan atau layanan yang lainnya. Artinya,  dengan keterbatasan anggaran, pemerintah daerah bisa mengelola anggaran dengan seefisien mungkin untuk kepentingan masyarakat. Dasarnya, adalah pengelolaan anggaran yang diprioritaskan pada keberpihakan masyarakat lapisan bawah, tanpa harus memungut retribusi atau pajak daerah.

Adanya komitmen politik yang kuat dari pemerintah daerah untuk tidak mengekspolitasi sumber-sumber pendapatan dari masyarakat, sebenarnya bisa dilakukan; antara lain dengan tidak melakukan kegiatan yang boros, seperti melakukan pembatasan kegiatan serimonial, pemangkasan tenaga honorer, membatasi perjalanan dinas, dst.

Ukuran keberhasilan pembangunan bukan hanya ditentukan ukuran-ukuran formal seperti tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggit, angka IPM yang meningkat, angka pengangguran menurun, dst. Tetapi, kebahagian rakyat untuk memperoleh fasilitas umum yang gratis, bersih, sehat, ramah dan nyaman serta bebas dari tekanan kelompok premanisme juga menjadi ukuran penting untuk menilai keberhasilan pemerintah daerah dan melihat sampai seberapa jauh pemerintah berpihak pada masyarakat lapisan bawah.

Jangan sampai fasilitas umum hanya bisa dinikmati oleh mereka yang masuk ke bandara undara yang fasilitas toilet, mushola dan yang lainnya bersih dan sehat, sementara fasilitas umum di SPBU, pasar, atau terminal dibiarkan tidak terawat, bau, dan tidak layak untuk kelayakan sebuah fasilitas umum Sudah puluhan tahun pemerintah atau perusahan memungut biaya melalui retribusi atau biaya lain untuk memanfaatkan fasum, sementara fasilitas umum yang diberikan sangat tidak layak. Kondisi ini tidak boleh dibiarkan; saatnya rakyat memperoleh fasum yang layak, tidak ada diskriminasi, dan bebas dari pungutan.***