Fatwa BPJS Haram, Ada Pertarungangan MUI dengan NU?

Bagikan/Suka/Tweet:

Fatwa haram Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menyedot perhatian publik sejak dua hari terakhir. Kalau ditelisik lebih jauh, ramainya fatwa haram terlihat aneh dan seolah menjadi forum pertarungan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan Nahdlatul Ulama (NU).

Disebut aneh karena fatwa itu sebenarnya sudah lama muncul, yakni sejak 9 Juni 2015 lalu. Lucunya, fatwa haram itu baru heboh sejak 29 Juli 2015. Menjadi lucu sekaligus aneh karena di lembaga MUI juga terdapat tokoh-tokoh NU.

Kalau ditarik ke belakang, tiga bulan sebelum keluarnya fatwa ituu, NU sudah lebih dulu menyimpulkan bahwa BPJS tidak ada masalah berdasarkan syariag Islam. Kesimpulan NU diuarkan pada forum bahtsul masail pra-muktamar ke-33 NU yang diselenggarakan PBNU di pesantren Krapyak Yogyakarta pada 28 Maret 2015 lalu.

Kala itu, PBNU sepakat mendukung program jaminan kesehatan nasional yang ditangani BPJS Kesehatan. Forum yang diikuti para kiai dari pelbagai daerah di Indonesia ini menetapkan bahwa BPJS sudah sesuai dengan syariat Islam.

PB NU menilai bahwa akad yang digunakan BPJS Kesehatan sebagai akad ta’awun. Tentang riba dalam BJPS, PB NU menegaskan bahwa  akad BPJS tidak mengandung riba.

Ketika kehebohan fatwa haram BPJS yang dikeluarkan MUI kemudian meruyak di media pada 29 Juli 2015, para petinggi NU pun menjadi sumber berita yang banyak dicari para wartawan.

NU Online (nu.or.id), misalnya, mengutip pernyataan Ketua LBM PWNU Yogyakarta KH Ahmad Muzammil. Menurut KH Ahmad Muzammil, seperti ditulis nu.or.id, dulu jaminan itu hukumnya fardhu kifayah, tetapi sekarang fardhu ain bagi orang mampu untuk membayar iuran jaminan bagi mereka yang lemah ketika diwajibkan pemerintah.

Konsep ta’awun yang diberlakukan BPJS, menurut Muzammil, masuk dalam bab jihad seperti disebutkan Fathul Mu’in yakni daf’u dhararin ma’shumin.

“Di sini pemerintah diposisikan sebagai administrator bagi orang kaya untuk membantu mereka yang lemah. Kalau bicara halal-haram, BPJS sudah jelas halal. Tetapi harus dilihat apakah BJPS ini mengandung mashlahah atau mafsadah? Kita tinggal memperbaiki saja mana kurangnya,”  kata Muzammil.

Menurut Muzamil, hadirnya BPJS  memiliki latar belakang panjang.

“Awalnya dahulu masyarakat meminta layanan kesehatan gratis. Pemerintah kemudian memutar otak, lalu membuatkan jalan seperti ini,” kata dia.

Keanehan juga tampak dari cara media arus utama memberitakan fatwa haram BPJS oleh MUI. Kalau fatwa haram MUI itu sudah keluar sejak 9 Juni 2015, mengapa baru 29 Juli berita itu muncul di media– lalu lebih lagi di dunia maya? Anehnya lagi, media arus utama seperti Kompas, Tempo, dan liputan6.com (juga media arus utama lainnya) tidak menunjukkan cantelan berita (news page) sehingga soal fatwa haram MUI tentang BPJS layak menjadi berita.