KALAU mencari kebijaksanaan pada sosok Baginda Suleiman dalam film Abad Kejayaan yang disiarkan ANTV, maka penonton akan kecewa. Sosok Baginda digambarkan secara bertolak belakang dengan (konon) fakta sejarah Islam di Turki. Ada banyak alasan kenapa sosok Raja Suleiman tidak layak disebut sebagai raja yang arif bijaksana. Salah satunya adalah kegagalan Raja Suleiman mendengar hati nuraninya sendiri. Ia lebih mendengarkan naluri daya rendahnya untuk selalu berkuasa. Juga mendengar bisikan dan rayuan Putri Hurem dan Ebu Suud.
Komentator film ini yang sengaja dipasang di akhir tayangan selalu melakukan ‘counter’ terhadap isi film. Bahkan, ini yang agak ironis, seorang Al Zastrow Ngatawi pun–yang dikenal publik khatam tentang seni-budaya dan Islam– tampak terlalu meyakini bahwa Raja Suleiman adalah sosok suci. Pada tiap komentarnya, Al Zastrow (kurang lebih) selalu mengatakan bahwa “Film ini tidak menggambarkan Raja Suleiman yang asli. Ini adalah versi lain yang tidak diambil dari sumber sejarah yang benar.”
Di sini Al Zastrow tampaknya ingin sengaja melupakan bahwa sejarah selalu ditulis oleh orang-orang yang menang. Orang-orang kalah, meskipun mereka benar, tidak akan pernah dianggap sebagai pahlawan. Hal ini juga juga yang ditulis Pangeran Mustafa dalam suratnya yang ditujukan kepada Raja Suleiman.
Kamis malam (23/7/2015), ANTV menayangkan ulang episode pembunuhan Pangeran Mustafa. Belum jelas apa alasannya .Yang paling pasti, episode ini merupakan puncak dari serangkaian tragedi. Khusus adegan tragedi pembunuhan Pangeran Mustafa, sutradara menggarapnya dengan sangat apik dan detail. Kabarnya, inilah penggarapan adegan paling sulit di antara adegan-adegan lain di film ini.
Oyos Saroso HN