Oleh: Sudjarwo
Pemerhati Masalah Sosial dan Pendidikan
Akhir-akhir ini ada semacam menghidupkan kembali filsafat hidup lama yang “diberi baju” modern bernama frugal living. Jika dilihat dari segi bahasanya, frugal artinya hemat, sementara living berarti hidup. Kalau diartikan secara harfiah, frugal living adalah gaya hidup hemat. Lebih dalam lagi, laman Wealthsimple mendefinisikan frugal living merupakan gaya hidup yang lebih menekankan pada mindfulness atau kesadaran seseorang ketika menggunakan uangnya tanpa mengesampingkan nilai dari suatu barang.
Terkadang, gaya hidup seperti ini kerap dicap pelit oleh sebagian orang. Padahal, faktanya, keduanya sangat berbeda karena orang yang menjalani gaya hidup pelit membelanjakan uangnya untuk membeli barang murah dengan kualitas yang buruk. Sementara, frugal living membeli barang yang memang harganya terbilang cukup mahal, akan tetapi kualitas dari barang tersebut sangatlah baik sehingga bisa digunakan untuk jangka waktu yang lama. Namun, sebenarnya hal itu tidak asing untuk orang Indonesia, khususnya Jawa. Dalam hidup, orang Jawa dituntut selalu gemi (hemat), nastiti (cermat), ngati-ati (berhati-hati).
Gemi berarti hemat. Dalam bahasa Indonesia, hemat itu sendiri berarti berhati-hati dalam membelanjakan uang dan tidak boros. Hemat tidak selalu diidentikkan dengan material saja melainkan juga dalam hal pekerjaan. Mampu melaksanakan pekerjaan dengan efektif dan efisien, mampu mengelola sumber daya tenaga kita serta menyingkirkan semua tingkah laku kita yang tidak memberikan manfaat juga termasuk sikap hemat.
Nastiti berarti cermat. Kita harus cermat dalam mengatur keuangan kita sesuai dengan skala prioritas yang kita buat. Seperti halnya bisa memilah, mana kebutuhan yang perlu didahulukan dan mana kebutuhan yang bisa ditunda. Salah atu sifat cermat ditunjukkan dengan kebiasaan meneliti kembali segala pekerjaan yang sudah kita selesaikan. Dengan begitu kita bisa meminimalisir kesalahan dan memperoleh hasil yang maksimal atas usaha kita.
Ngati-ati berarti berhati-hati. Seseorang harus menggunakan nalar dan bisa memprediksi kemungkinan yang akan terjadi, bisa mengantisipasi hal-hal buruk dan mencari cara penyelesaian / pemecahan masalah secara tepat dan efisien.
Dalam kehidupam sehari-hari, sifat gemi, nastiti, dan ngati-ati tidak hanya sebatas ditujukan untuk kaum perempuan, tetapi berlaku secara universal terutama untuk para pemimpin. Dengan berlandaskan sifat gemi, nastiti, dan ngati-ati diharapkan pemimpin dapat menjalankan tugasnya dengan baik serta kebijakan-kebijakan yang diambilnya bisa membawa manfaat yang positif terhadap anggota / bawahan serta organisasi yang dipimpinnya.
Tampaknya kita senang menggunakan kepunyaan orang lain dari pada milik sendiri. Frugal living yang sama dan sebangun dengan gemi, nastiti, ngati-ati ternyata ibarat petuah lama “rumput tetangga lebih hijau dari rumput di halaman sendiri” itu terbukti. Hidup gemi, nastiti, ngati-ati adalah petuah lama yang diwejangkan kepada pengantin yang baru dinikahkan dalam menghadapi hidup dan kehidupan. Bahkan petuah ini disampaikan oleh tokoh sentral keluarga pada saat memberikan wejangan, juga sering diselipkan oleh para pemberi tausyiah saat memberikan khotbah nikah.
Mari kita kembali kepada jati diri bangsa: mengapa harus kepincut dengan milik orang, sementara kita sendiri punya yang lebih baik? Budaya asing bukan tidak baik, namun tentu saja budaya sendiri jauh lebih baik, karena kita paham akan filosofinya. Menerapkan ajaran budi sebagai falsafah hidup berbangsa dan bernegara milik bangsanya sendiri adalah kewajiban moral bagi warganegaranya.
Mari kita cintai produk bangsa sendiri dengan cara memelihara dan melestarikannya agar tidak punah karena kebodohan kita sendiri.
Selamat ngopi pagi!