Gagal Selesaikan Amdal, Ekspansi PT SGC di Register 47 Terhenti

Bagikan/Suka/Tweet:
Kebun tebu (ilustrasi)

Oyos Saroso H.N./Teraslampung.com

BANDARLAMPUNG– Kementerian Kehutanan akhirnya membatalkan Surat Perintah Pertama (SP-1) Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) PT Garuda Panca Arta (GPA) di Hutan Register 47 Way Terusan, Lampung Tengah. Pembatalan izin yang dilakukan oleh Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan (BUK) Kementerian Kehutanan itu sekaligus menutup peluang PT GPA untuk menerapkan proyek Hutan Tanaman Industri di Register 47.

Pembatalan IUPHHK-HTI itu sekaligus menghentikan langkah anak perusahaan milik PT Sugar Group Companies (SGC) itu untuk bisa mengelola proyek Hutan Tanaman Industri di areal seluas sekitar 12.500 ha tersebut.

Pembatalan izin IUPHHK-HTI atas nama PT GPA sebenarnya sudah dilakukan pada 7 Maret 2013. Anehnya, hingga November 2015  informasi tersebut belum sampai ke publik. Padahal, selain ditujukan kepada PT GPA surat tembusan pencabutan izin IUPHHK itu juga dikirim ke Gubernur Lampung, Bupati Lampung Tengah, Kepala Badan Lingkungan Hidup Provinsi Lampung Kepala Dinas Kehutanan Lampung, dan Kepala Dinas Kehutanan Lampung Tengah

Pembatalan izin itu dilakukan karena hingga batas waktu yang ditentukan PT GPA tidak bisa menyelesaikan persyaratan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Padahal, dokumen Amdal termasuk persyaratan utama– selain persetujuan kepala daerah (Bupati)—bagi perusahaan yang ingin mendapatkan IUPHHK-HTI.

“Sejak ditandatangani masa perpanjangan Amdal tanggal 6 Agustus 2012 sampai dengan batas akhir perpanjangan pihak perusahaan belum menyampaikan dokumen Amdal yang telah mendapatkan persetujuan atau pengesahan dari pejabat yang berwewenang kepada Menteri Kehutanan c.q.. Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan,” kata Dirjen Bina Usaha Kehutanan Bambang Hedroyono dalam suratnya.

Surat itu juga menjelaskan bahwa SP-1 untuk PT GPA dicabut atau batal dengan sendirinya karena karena PT GPA sudah diberi waktu perpanjangan untuk menyelesaikan dokumen Amdal tetapi tidak bisa memenuhinya.

“Berdasarkan dengan hal tersebut di atas bersama ini diberitahukan bahwa SP-1 IUPHHK HTI PT Garuda Panca Arta sudah tidak berlaku lagi,” kata Bambang.

Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Lampung Tengah, Krisna Rajasa, mengakui sudah menerima tembusa surat Direjen BUK. Menurut Krisna pembatalan atau pencabutan IUPHHK untuk PT GPA sudah sesuai dengan Pasal 9 Permenhut Nomor P. 50/Menhut-II/2010 Jo P.26/Menhut-II/2012.
Ditentang Aktivis NGO

Sebelumnya, meskipun ditentang oleh warga penghuni beberapa umbul di Register 47,PT GPA berhasil mengajukan izin prinsip telah memberikan sinyal bagi pemanfaatan kawasan hutan Register 47 Way Terusan.

“Izin pengelolaan kawasan Register 47 menjadi HTI merupakan upaya untuk mengendalikan kawasan tersebut agar tetap tidak berubah fungsi. Sebab, di kawasan hutan seluas 12.500 hektare (ha) itu, telah dihuni oleh sekitar 4.500 kepala keluarga (KK) atau lebih dari 15 ribu jiwa. Di dalam hutan itu juga terdapat belasan gedung Sekolah Dasar Swasta, 6 gedung Madrasah, 16 masjid, 50 musola, 2 gereja, dan 15 pura,” kata Krisna, dalam diskusi yang digelar Kawan Tani di Hotel Hartono Bandarlampung, Kamis (14/11/2013).

Agus Nurhayat, Kepala Sub Direktorat Penyiapan Areal Pemanfaatan Hutan Wilayah I pada Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, mengatakan pencabutan IUPHHK bagi PT GPA membuka peluang bagi masyarakat Way Terusan untuk mengajukan konsep pengelolaan Register 47.

“Pada prinsipnya kami membuka akses kepada masyarakat atau pemerintah daerah Kabupaten Lampung Tengah untuk mengajukan konsep pengelolaan hutan di Register 47 Sungai Terusan,” kata Agus Nurhayat.

Sebelumnya para aktivis NGO lingkungan di Lampung mengingatkan PT Garuda Panca Arta (GPA) untuk tidak melakukan ekspansi lahan ke wilayah yang selama ini dikelola oleh penduduk. Rencana ekspansi yang dikemas dalam bentuk proyek Hutan Tanaman Industri itu akan berpeluang menimbulkan konflik baru.

“Peluang konflik itu besar karena di dalam hutan Register 47 Way Terusan sudah ada 4.015 kepala keluarga (15.226  jiwa) yang tinggal selama puluhan tahun,” kata Koordinator NGO Kawan Tani, Ariana Suciati.

Menurut Ariana Suciati proposal izin HTI dari yang diajukan PT GPA  melanggar Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. 256/2000. Usulan PT GPA pada teknis pengelolaan terpadu (HTI) karet dan tebu luasnya mencapai 13.510 hektare (ha). Padahal dalam Permenhut dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Lampung, luas Register 47 hanya 12.500 ha.

Ariana Suciati mengatakan saat ini Pemerintah Kabupaten Lampung Tengah juga sudah memiliki skema rencana pengelolaan hutan Register 47 Way Terusan. Namun, kata Suciati, konsep yang ditawarkan oleh Pemda Lampung Tengah berbeda dengan yang diinginkan masyarakat.

“Masyarakat menginginkan pengelolaan hutan berbasis masyarakat dengan program Hutan Tanaman Rakyat (HTR) Mandiri, sementara Pemda Lampung Tengah menawarkan konsep Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP),” kata Suciati.

Hermansyah, Kepala Divisi Advokasi Walhi Lampung, mengatakan pengelolaan hutan dengan konsep HTR Mandiri jauh lebih menguntungkan masyarakat dibanding dengan pola KPHP dan HTI.

“Program HTI hanya akan menguntungkan pengusaha dan peluang konfliknya jauh lebih besar,” kata Hermansyah.

Menurut Hermansyah rekomendasi dalam rencana pengelolaan hutan jangka panjang (RPJP) yang disusun Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Kawasan Register 47 Wayterusan pada 2009, tidak mengakomodasi pola HTI, melainkan berpola hutan kemasyarakatan (HKm) dan hutan tanaman rakyat (HTR).