Gambar Besar “Raja – Ratu” Antah Berantah di Tengah Pandemi

Pro. Dr. Sudjarwo/Foto: Istimewa
Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh Sudjarwo
Guru Besar Ilmu Ilmu Sosial di FKIP Unila

Diskusi panjang melalui medsos dengan beberapa teman menyikapi gerakan sosial baru yang maksudnya tidak jelas, sementara semua kita masih prihatin karena kondisi masyarakat saat ini masih banyak dalam kesulitan. Gerakan itu dalam bentuk menampilkan foto diri ukuran raksasa di setiap perempatan jalan strategis Kota Bandarlampung. Gambar besar itu tanpa disertai informasi apa pun, kecuali mencantumkan nama, dan tahun; yang tidak jelas maksudnya; dengan media luar ruang yang besar, sebagai pengganti kartu nama.

Kami hanya mampu mengemukakan sejumlah hipotesis; karena benda ini seolah-olah datang secara tiba-tiba, seperti datang dari  Negeri Antah Berantah. Benda-benda bergambar politikus dalam ukuran besar itu seperti benda yang tiba-tiba “jatuh” dari langit. Mereka tiba-tiba muncul. kemunculan yang tidak diduga-duga (baragkali) oleh sebagian besar rakyat karena rakyat sedang berjibaku melawan ganasnya pandemi. Kita yang melihatnya  hanya dapat menduga apa maksud dan tujuan, lalu langkah apa jika hal tersebut menemukan persoalan di lapangan.

Kenapa gambar-gambar besar itu tiba-tiba muncul di pinggir jalan utama kota dan disertai  angka 2024, padahal 2014 masih tiga tahun lalu?

Hipotesis pertama: gambar diri itu dibuat sengaja untuk mengenalkan siapa yang tercantum dalam media ruang tadi guna mensosialisasikan diri. Namun, jika sampai pada titik ini saja, mengapa tidak menggunakan cara lain; seperti biaya untuk membuat satu baliho disulihgantikan dengan sembako yang langsung dibagikan kepada mereka yang mengalami kesulitan? Atau disalurkan dalam bentuk dana bergulir bagi mereka yang memerlukan modal.

Jika tujuannya sekadar mengenalkan diri, yang senang dan kenyang hanya pemilik perusahaan yang mengerjakan, karyawannya tidak lebih lima orang saja. Kemudian pihak yang diminta memesan, karena dapat uang rokok, serta yang memerintah dan memesan. Lainnya tidak ikut menikmati, hanya melihat sepintas lalu saja, kemudian dilupakan; bahkan banyak diantara kita sudah malas menengadahkan muka hanya sekedar untuk melihat gambar.

Hipotesis kedua: gambar media luar ruang ini jika diributkan pemilik gambar diri, akan dengan mudah mengatakan itu tidak ada instruksi darinya, tetapi semata mata murni inisiatif dari para penggemar, “jadi saya tidak mengetahui sama sekali”; dan “tidak mungkin saya melarang orang yang menjadi pengagum memanisfestasikan kekaguman itu dalam bentuk gambar diri”.

Itu jawaban standard yang sudah diatur titik komanya. Jika tidak ada yang meributkan sampai pada waktunya pemilik gambar firi akan mengklaim bahwa dirinya justru disukai oleh masyarakat, buktinya mereka berinisiatif mewujudkan dan ini berarti dirinya dibutuhkan. Tampaknya semakin sempurna pembohongan diri dan penghindaran diri dari jeratan penipuan sistemik. Senjata pun yang dipakai tidak main main yaitu pisau bermata dua.

Hipotesis ketiga: gambar diri dijadikan “test ombak” sejauh mana respons masyarakat terhadap pemilik gambar diri. Jika nantinya tidak ada yang meributkan; maka tinggal selangkah lagi mau maju jadi apa. Jika ternyata mendapatkan perlawanan atau penentangan, bahkan sanggahan; maka dengan mudah gambar diri diturunkan dengan menggunakan alasan hipotesis dua di atas, yaitu tidak ada instruksi.

Memang tidak ada yang dilanggar secara hukum formal. Siapa pun bisa memasang gambar diri asal memenuhi aturan yang ada, terutama membayar pajak reklame. Namun, dari segi kepatutan dan kelaziman; apakah kita tega “mengenalkan diri” dengan maksud lain pada masyarakat yang sedang menderita? Rakyat saat ini tidak butuh gambar tampilan diri seseorang akan tetapi mereka butuh makan, butuh sehat, buat melangsungkan kehidupan ke depan, butuh menyelamatkan keluarga yang telah hancur dengan adanya Covid-19.

Pertanyaannya: ke mana hati nurani jika masa seperti ini kita memaksakan orang lain untuk mengenal kita, tanpa mengenal kebutuhan mereka (rakyat); tanpa mengenal apakah yang mereka butuhkan dari kita? Rasanya media ruang yang tidak informatif justru akan menjadi bumerang bagi pemasangnya. Itu  juga bisa jadi ada musuh dalam selimut yang ingin menikam dalam lipatan, menusuk teman seiring. Semua masih hipotesis yang memang perlu pengkajian lebih dalam dan paripurna.

Akan tetapi, ada alasan isensial yang mereka gunakan sebagai dasar, walaupun diantara mereka tidak ada komunikasi; yaitu keinginan berusaha sekeras-kerasnya. Soal hasil itu urusannya nanti. Mereka lupa usaha itu pasti terkait akan ruang/tempat dan waktu; bisa jadi ruang/tempat sudah tepat, namun dari segi waktu, apakah itu sudah benar? Menggunakan adagium Jawa “bener ning ora pener” (benar tetapi tidak tepat).

Waktu sangat terkait dengan kepatutan. Nah, dengan kondisi masyarakat yang sedang menderita ini patutkah kita meminta perhatian mereka untuk kepentingan pribadi kita? Sungguh ironis nalar yang berjalan dengan cara jongkok serupa ini. Seharusnya kita sebagai manusia di bumi ini menyadari bahwa tidak selembar daun kering pun jatuh tanpa izin dari Tuhan. Memuliakan orang yang sedang menderita, adalah perilaku kemuliaan manusia yang sangat mulia. Mari kita bahu-membahu untuk terus membantu negeri ini yang sedang dirundung kemalangan besar.

Ibu Pertiwi sedang sakit, janganlah kau buat dia semakin menjerit.***