Oleh: Sudjarwo
Pemerhati Masalah Sosial dan Pendidikan
Akhir pekan lalu, karena ada acara keluarga mengharuskan penulis meluncur ke arah utara Lampung. Menelusuri Jalan Trans Sumatera menjadi sarapan pagi menjelang siang. Semula penulis melalui jalan tol. Namun, terpaksa pindah jalur karena daerah yang dituju tidak dilalui jalan mulus kebanggaan milik negeri. Untungnya, saat ini jalan nasional yang dilalui dalam kondisi baik-baik saja, tidak seperti biasa yang banyak lubang dan bergelombang.
Sepanjang perjalanan kiri-kanan jalan banyak dijumpai gambar media luar ruang bakal calon untuk beberapa lembaga, dari tingkat kabupaten sampai pusat. Penempatan media, ada yang bermodal dengan memberi tiang penyanggah tersendiri, terutama bagi mereka yang mencalonkan diri tingkat pusat. Paling banyak dipakukan ke pohon yang tumbuh di tepi jalan, dan ini pada umumnya dilakukan untuk calon tingkat provinsi, atau kabupaten/kota.
Ramainya gambar ini menghiasi pemandangan yang memberi warna tersendiri, karena penempatan, warna, dan sebagainya, sering tidak memperhatikan estetika. Tentu ini terjadi karena sesuai dengan dana yang diberikan kepada pemasang sebagai “orang suruhan”. Makin besar dana maka makin baik penempatannya, walaupun hukum dagang itu tidak selamanya benar dalam praktek di lapangan. Namun demikian, ada juga manfaat dari gambar gambar itu, dengan keberadaannya paling tidak membuat variasi pandang saat mengendarai kendaraan, sehingga tidak terjadi kejenuhan yang sering melanda.
Ada sesuatu yang menarik di sini. Ssaat sampai di tempat yang di tuju; saat ada jeda istirahat acara, secara berseloroh ditanyakan kepada teman duduk di kiri-kanan apakah mereka kenal dengan gambar-gambar yang ditempel atau dipakukan di tepi jalan. Mereka hampir kompak menyatakan tidak kenal dan tidak tahu. Berarti ini menunjukkan bahwa tujuan untuk sosialisasi berhasil, karena memberi tahu mereka yang belum mengetahui siapa diri mereka yang mencalonkan diri.
Pada saat di tanya kepada mereka juga secara personal siapa pilihan presiden mereka, siapa pilihan anggota legeslatif mereka. Ternyata variasi jawaban mulai tampak dan cenderung terbuka serta vulgar. Untuk presiden mereka justru paling bersemangat bersuara, masing-masing berargumentasi untuk alasan memilihnya sekalipun mereka belum pernah berjumpa secara langsung. Sedangkan untuk anggota legeslatif baik daerah maupun pusat, mereka tidak begitu bersemangat; mereka merasakan bahwa yang di gambar itu “dekat serasa jauh”. Dekat dalam arti ada di wilayah mereka, sementara jauh, mereka beranggapan mereka yang digambar itu hanya saat ada mau mereka dekat, setelah selesai mereka lupa. Bahkan dari dipilih sampai menang, tidak pernah tampak batang hidungnya.
Pada kesempatan yang berbeda saat duduk satu meja dengan salah seorang legislator yang juga mencalonkan diri kembali untuk level yang berbeda, secara tersamar memberikan penjelasan bahwa ia hanya rajin menyambangi daerah yang menjadi wilayah daerah pemilihannya. Ia juga mengakui betapa beratnya saat sekarang untuk maju pada kontestasi politik, sikap masyarakat pada umumnya sudah sangat berubah. Gambar diri sudah tidak begitu penting, kalender sudah tidak mempan, sarung tidak lagi jaminan untuk mengurung, kitab Yasin sudah dianggap lumrah. Bahkan karpet masjidpun sudah bukan apa-apa. Justru menurut mereka sekarang harus turun langsung, bila perlu dari pintu kepintu untuk “menjual diri”. Mesin politik partai tidak begitu saja dapat diandalkan, karena banyak kepentingan yang berkelindan di sana.
Berharap dengan “juru bisik” atau team sukses tidak dapat diandalkan, karena justru ongkos politik menjadi mahal oleh mereka. Team sukses lebih cenderung menjadi mesin pengeruk uang mereka secara perlahan tapi pasti; permintaannya dari alat komunikasi sampai alat transportasi. Satu-satunya yang masih sangat mungkin diandalkan adalah pertalian keluarga, baik keluarga inti maupun keluarga luas. Itu pun dengan catatan dalam keluarga besar tidak ada yang mencalonkan diri. Jika ada, maka akan terjadi polarisasi yang cukup tajam; dan itu merugikan sekali.
Ongkos sosial untuk maju mencalonkan apapun jabatan dan levelnya, menurut mereka, saat sekarang dan yang akan datang cukup membebani anggaran kantong. Tidak jarang mereka seperti berhadapan dengan pilihan, “harus terus walau akan tergerus”. Bahkan ada diantara mereka yang mengatakan seolah-olah berhadapan dengan meja judi, hanya ada dua pilihan hancur atau jaya. Lebih menyedihkan lagi ada yang berkomentar “kalah jadi debu, menang jadi arang”; maksudnya sekalipun menang itu bukan berarti tidak ludes uangnya, apalagi kalah. Hanya jika menang ada peluang perbaikan ekonomi kedepan; sementara kalau kalah istilah bahasa daerah “gelek segalo jemat” (habis semuanya). Oleh karena itu tidak salah jika diantara mereka mengatakan “sebelum kena goreng, harus ngegoreng dulu”; atau ada juga yang mengatakan dengan aksen plembang berkata “sebelum keno kolah ngolah ke dulu”; maksudnya adalah mereka harus betul-betul menguasai taktik strategi lapangan dan mampu membaca peluang.
Kesimpulan sementara untuk maju kepemilihan apapun pada kondisi saat ini, modalnya “Jiwa petarung saja tidak cukup, harus ditambah lagi cuan sekarung” baru berengsut (bahasa Palembang = bergerak). Taktik dan strategi secara matang sangat diperlukan, agar tidak menjadi bangkrut dikemudian hari. Oleh karena itu, kombinasi pendekatan harus selalu dinamis sesuai kebutuhan lapangan. Terlalu sering turun salah, tidak sering turun tambah salah, tampaknya keberimbangannya itu memerlukan instink tersendiri. Selamat Berjuang Kawan di medan Kurusetra. Awas banyak penipu berkedok membantu, jangan pula anda kena tipu, ditipu itu sungguh menyakitkan karena tampak sekali kebodohan kita.