Garam Petani VS Garam Impor

Bagikan/Suka/Tweet:

Antoniyus Cahyalana

Kuliner favorit Mang Ujang salah satunya adalah seruit Lampung. Makanan jenis ini salah satu bahan dasarnya adalah garam. Bagi orang Indonesia, garam sudah sangat lekat di lidah. Makanan apa pun, jika tanpa garam akan terasa tak enak di lidah.

Maka, Mang Ujang pun maklum kalau akhir-akhir banyak orang ngedumel karena tiba-tiba garam lenyap di pasaran.

“Alhamdulillah harga garam sekarang naik,” ujar Mang Ujang.

Wah, aneh juga Mang Ujang in, pikir saya. Pada saat orang-orang nyap-nyap mencaci-maki soal kenaikan harga garam, dia malahan tenang-tenang saja bahkan senang.

“Lho kenapa bersyukur begitu, Mang? Bukannya kita malah repot dan mesti keluar uang lebih untuk beli garam?” protesku.

Lha sampean itu gimana to, naiknya harga garam itu jelas menguntungkan petani garam sebagai produsen. Tak kalah penting adalah pertanda bahwa negara kita sudah stop impor garam! Kalaupun mahal karen soal produksi yang berkurang akibat anomali cuaca,” beber Mang Ujang.

“Aih… Mamang kayaknya kebanyakan baca BC… ” celetukku.

“Coba ingat lagi, beberapa tahun lalu kita pernah impor garam dgn harga murah lalu dijual di dalam negeri dgn harga tinggi, coba keuntungannya berapa dan dimakan siapa? Makanya pejabat waktu itu nekat impor garam karena berharap untung besar tanpa memperhatikan nasib petani garam yang mati-matian melawan harga yang teramat murah,” celoteh Mang Ujang berapi-api.

“Jadi, Mang Ujang lebih suka dgn kondisi sekarang? Senang garam hilang di pasaran?” sanggahku.

“Ya, sekali-sekali biarlah petani garam menikmati tingginya harga. Itu lebih baik daripada garam banjir dan murah ternyata hasil impor!” pungkas Mang Ujang sambil pamit mau narik becaknya.